Apa itu Fundamentalisme ? Menelisik Akar Kepercayaan Literal dalam Era Digital

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartwan Gereja Indonesia (PWGI)

Jakarta, Fundamentalisme bukan sekadar istilah usang dalam diskursus sosial dan keagamaan. Di era digital yang serba cepat dan penuh disrupsi ini, semangat fundamentalisme justru menemukan lahan subur untuk bertransformasi dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk spiritualitas dan praktik keagamaan di dunia maya. Secara esensial, fundamentalisme merujuk pada keyakinan teguh terhadap interpretasi literal atau harfiah dari suatu doktrin atau teks suci, disertai dengan upaya aktif untuk kembali ke “dasar-dasar” (fundamenta) yang dianggap murni dan autentik dari kepercayaan tersebut. Meskipun seringkali diasosiasikan dengan agama, fundamentalisme sebagai sebuah fenomena dapat merasuki ideologi dan gerakan di berbagai bidang, dari politik hingga lingkungan hidup.

Memahami Lebih Dalam Karakteristik Fundamentalisme:

  1. Interpretasi Literal yang Mutlak: Jantung dari fundamentalisme adalah keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa teks suci (misalnya, Alkitab, Al-Qur’an, Tripitaka) harus dipahami secara apa adanya, tanpa perlu mempertimbangkan konteks historis, budaya, linguistik, atau genre sastra. Bagi seorang fundamentalis, setiap kata dianggap memiliki makna tunggal dan absolut, yang berlaku lintas zaman dan konteks.
    • Contoh: Dalam teologi Kristen fundamentalis, kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian seringkali diyakini sebagai catatan sejarah literal mengenai bagaimana dunia diciptakan dalam enam hari 24 jam. Mereka mungkin menolak teori evolusi sebagai pandangan yang bertentangan dengan kebenaran Alkitab. Di era digital, hal ini tercermin dalam perdebatan sengit di media sosial atau forum daring mengenai interpretasi ayat-ayat tertentu, di mana penafsiran harfiah dianggap sebagai satu-satunya yang valid.
  2. Kembali ke “Fundamenta” dengan Rigiditas: Fundamentalisme ditandai dengan kerinduan yang kuat untuk merevitalisasi dan memurnikan kembali kepercayaan atau tradisi dari pengaruh modernitas, sekularisasi, dan interpretasi yang dianggap “menyimpang” atau “terkontaminasi.” Mereka meyakini bahwa bentuk awal dari kepercayaan mereka adalah yang paling otentik dan benar.
    • Contoh: Beberapa gerakan fundamentalis Islam menyerukan kembali kepada praktik Islam di masa awal kejayaan Islam, menolak inovasi-inovasi modern yang dianggap bid’ah. Dalam konteks teologi digital, hal ini dapat terlihat dalam upaya untuk mereplikasi praktik ibadah atau struktur gereja abad pertama melalui platform daring, dengan penolakan terhadap bentuk-bentuk ibadah kontemporer.
  3. Reaksi Defensif terhadap Modernitas dan Sekularisasi: Kemunculan fundamentalisme seringkali dipicu oleh rasa terancam terhadap nilai-nilai tradisional dan keyakinan agama akibat pengaruh modernitas (kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, perubahan sosial) dan sekularisasi (menurunnya peran agama dalam kehidupan publik).
    • Contoh: Gerakan fundamentalis Kristen di awal abad ke-20 muncul sebagai respons terhadap teologi liberal yang mulai mempertanyakan keabsahan historis dan keilahian Alkitab secara literal. Di era digital, hal ini termanifestasi dalam penolakan terhadap nilai-nilai liberal seperti pluralisme, relativisme moral, dan kebebasan berekspresi tanpa batas di platform media sosial. Fundamentalis mungkin aktif menyebarkan konten yang mengecam pandangan atau gaya hidup yang dianggap bertentangan dengan keyakinan mereka.
  4. Mentalitas “Hitam dan Putih” yang Eksklusif: Fundamentalisme cenderung memandang dunia secara dikotomis, membaginya secara tegas menjadi “benar” dan “salah,” “baik” dan “jahat,” “kami” dan “mereka.” Tidak ada ruang untuk ambiguitas, nuansa, atau perspektif yang berbeda. Mereka meyakini bahwa pandangan mereka adalah kebenaran mutlak dan tunggal.
    • Contoh: Dalam fundamentalisme agama, orang-orang di luar kelompok mereka seringkali dianggap sebagai “kafir” atau “tersesat.” Dalam konteks teologi digital, hal ini dapat menciptakan polarisasi dan permusuhan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda di platform daring. Algoritma media sosial bahkan dapat memperkuat mentalitas ini melalui filter bubble dan echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang mengkonfirmasi keyakinan mereka sendiri.
  5. Fundamentalisme di Luar Ranah Agama: Penting untuk disadari bahwa fundamentalisme bukanlah fenomena yang terbatas pada agama. Prinsip-prinsip dasarnya dapat ditemukan dalam berbagai ideologi dan gerakan lain.
    • Contoh:
      • Fundamentalisme Pasar Bebas: Keyakinan dogmatis bahwa pasar bebas tanpa regulasi adalah satu-satunya cara yang benar untuk mencapai kemakmuran ekonomi.
      • Fundamentalisme Lingkungan: Pandangan ekstrem yang menolak segala bentuk intervensi manusia terhadap alam dan berpegang pada interpretasi literal dari prinsip-prinsip ekologis tertentu.
      • Fundamentalisme Nasionalis: Kepercayaan yang tidak fleksibel terhadap superioritas bangsa sendiri dan penolakan terhadap pengaruh asing.
      • Dalam teologi digital, kita juga dapat melihat apa yang bisa disebut sebagai “Fundamentalisme Teknologi”, yaitu keyakinan yang tidak kritis dan berlebihan terhadap kemampuan teknologi untuk menyelesaikan semua masalah manusia, dengan mengabaikan implikasi etis, sosial, dan spiritual yang mungkin timbul.

Relevansi Fundamentalisme dengan Teologi Digital:

Era digital memberikan konteks baru yang menarik untuk memahami fundamentalisme dalam teologi:

  • Akses Tak Terbatas dan Interpretasi Tanpa Otoritas: Internet memungkinkan individu untuk mengakses berbagai interpretasi teks suci secara langsung, tanpa melalui mediasi otoritas tradisional seperti pendeta atau teolog. Hal ini dapat memperkuat kecenderungan interpretasi literal karena individu merasa memiliki akses langsung ke “kebenaran.”
  • Komunitas Daring dan Penguatan Keyakinan: Platform media sosial dan forum daring memungkinkan fundamentalis untuk terhubung dengan individu lain yang memiliki pandangan serupa, menciptakan komunitas yang saling menguatkan keyakinan literal mereka dan memperkuat penolakan terhadap pandangan yang berbeda.
  • Algoritma dan Polarisasi: Algoritma media sosial dapat secara tidak sengaja mempromosikan konten fundamentalis kepada pengguna yang menunjukkan minat pada topik serupa, menciptakan echo chamber dan memperdalam pandangan “hitam dan putih.”
  • Disinformasi dan Misinformasi: Fundamentalisme, dengan penolakannya terhadap interpretasi kritis, dapat rentan terhadap penyebaran disinformasi dan misinformasi yang mengklaim sebagai “kebenaran” literal dari teks suci atau prinsip-prinsip dasar ideologi mereka.
  • Tantangan terhadap Otoritas Teologis Tradisional: Kemunculan interpretasi fundamentalis yang didukung oleh komunitas daring dapat menantang otoritas teologis tradisional dan menciptakan perpecahan dalam kelompok-kelompok agama.

Last but Not least, Fundamentalisme adalah fenomena kompleks yang menekankan interpretasi literal dan kembali ke “dasar-dasar” sebagai respons terhadap modernitas. Meskipun sering dikaitkan dengan agama, prinsip-prinsipnya dapat ditemukan dalam berbagai konteks ideologis. Di era digital, karakteristik fundamentalisme menemukan cara-cara baru untuk bermanifestasi dan memengaruhi teologi serta spiritualitas. Memahami dinamika ini sangat penting bagi Gereja dan komunitas keagamaan lainnya untuk dapat berdialog secara efektif, mengatasi polarisasi, dan mempromosikan pemahaman yang lebih kontekstual dan inklusif terhadap iman dan kepercayaan di tengah lanskap digital yang terus berkembang. (Dh.L./Red.***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!