Menyemai Teologia Crucis di Ladang Digital: Aktualisasi Pemikiran A. A. Yewangoe di Era Siber

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)

Teologi.digital – Jakarta, Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe merupakan salah satu tokoh teolog Kristen Protestan Indonesia yang memiliki sumbangsih pemikiran signifikan, terutama dalam upayanya mengkontekstualisasikan iman Kristen dengan realitas sosial dan budaya di Asia.

Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe adalah seorang pendeta, dosen, dan teolog Kristen Protestan yang merupakan salah satu tokoh pemimpin dan pemikir Kristen Indonesia.¹ Ia lahir pada tanggal 31 Maret 1945 di Mamboru, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Merayakan Hari Ulang Tahun Beliau yang ke 80 Tahun, penulis ingin mengupas relevansi pemikiran beliau untuk memahami teologi digital di era serakang ini.

Pemikirannya, yang tercermin dalam karya-karyanya seperti “Teologia Crucis di Asia,” menyoroti pentingnya pemahaman teologi yang responsif terhadap penderitaan, kemiskinan, dan keberagamaan di benua ini. Di era digital yang serba cepat dan transformatif ini, relevansi pemikiran Yewangoe perlu dieksplorasi lebih lanjut, khususnya dalam memahami dan mengembangkan teologi digital.

Beberapa Pemikiran Kunci Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe

Inti pemikiran Yewangoe terletak pada upayanya untuk membawa teologi Kristen lebih dekat dengan realitas konkret kehidupan di Asia. Beberapa poin penting dari pemikirannya meliputi:

  • Teologia Crucis yang Kontekstual: Disertasinya, “Teologia Crucis di Asia,” mengkritisi teologi salib yang cenderung abstrak dan kurang relevan dengan pengalaman penderitaan nyata di Asia. Yewangoe menekankan bahwa salib Kristus harus dipahami dalam konteks kemiskinan, penindasan, dan keberagaman agama yang menjadi ciri khas Asia.
  • Dialog Antaragama: Buku-bukunya seperti “Agama dan Kerukunan” menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap pentingnya dialog dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Ia melihat keberagaman sebagai kekayaan dan tantangan yang harus direspon secara teologis.
  • Relevansi Iman dalam Masyarakat Pancasila: Karya “Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila” mencerminkan pemikirannya tentang bagaimana nilai-nilai iman Kristen dapat dihidupi dan diwujudkan dalam konteks ideologi Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Relevansi Pemikiran Yewangoe dengan Teologi Digital

Di era digital ini, teologi dihadapkan pada tantangan dan peluang baru. Pemikiran Yewangoe menawarkan beberapa perspektif relevan untuk memahami dan mengembangkan teologi digital:

  1. Konteks Digital sebagai Arena Penderitaan dan Ketidakadilan: Sama seperti Yewangoe menyoroti penderitaan dan kemiskinan di Asia, teologi digital perlu menyadari adanya bentuk-bentuk penderitaan dan ketidakadilan baru yang muncul di ruang digital. Ini termasuk isu-isu seperti cyberbullying, penyebaran berita palsu (hoaks) yang merugikan, eksploitasi digital, dan kesenjangan akses digital. Pemikiran Yewangoe mendorong teolog digital untuk melihat realitas ini dan merumuskan respons teologis yang relevan dan membebaskan.
  2. Ruang Digital sebagai Lokus Keberagamaan dan Dialog: Internet dan media sosial telah menjadi ruang di mana berbagai agama dan kepercayaan bertemu dan berinteraksi. Pemikiran Yewangoe tentang dialog antaragama menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Teologi digital perlu mengembangkan pendekatan yang memfasilitasi dialog yang konstruktif, saling menghormati, dan menghindari polarisasi atau konflik berbasis agama di ruang digital.
  3. Pewartaan Iman yang Kontekstual dalam Era Digital: Yewangoe menekankan pentingnya mewujudkan iman Kristen dalam konteks kehidupan nyata. Dalam era digital, ini berarti teologi digital perlu memikirkan cara-cara baru untuk menyampaikan pesan-pesan iman Kristen yang relevan dan menarik bagi audiens digital. Ini melibatkan penggunaan berbagai format media digital, pemahaman tentang budaya digital, dan interaksi yang otentik dengan masyarakat digital.
  4. Etika Digital yang Berakar pada Nilai-nilai Iman: Pemikiran Yewangoe tentang nilai-nilai iman dalam masyarakat Pancasila dapat menjadi landasan untuk mengembangkan etika digital Kristen. Teologi digital perlu merumuskan prinsip-prinsip etis yang membimbing perilaku umat Kristen di ruang digital, termasuk dalam hal penggunaan media sosial, interaksi online, dan partisipasi dalam diskursus digital.

Pemikiran Pdt. Dr. Andreas Anangguru Yewangoe memiliki relevansi yang signifikan untuk memahami dan mengembangkan teologi digital di era sekarang. Penekanannya pada konteks, penderitaan, keberagamaan, dan relevansi iman dalam kehidupan nyata memberikan kerangka kerja yang berharga bagi teolog digital dalam merespons tantangan dan peluang yang dihadirkan oleh ruang digital. Dengan memahami dan mengaplikasikan pemikiran Yewangoe, teologi digital dapat menjadi kekuatan transformatif yang membawa pesan kasih dan keadilan Kristus ke dalam dunia digital.

Sumber :

  • Yewangoe, A. A. (1987). Teologia Crucis di Asia: Pandangan-Pandangan Orang Kristen Asia Mengenai Penderitaan Dalam Kemiskinan dan Keberagamaan di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  • Yewangoe, A. A. (2002). Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  • Yewangoe, A. A. (2002). Iman, Agama dan Masyarakat dalam Negara Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  • Yewangoe, A. A. (2001). Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
  • Yewangoe, A. A. (1983). Pendamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!