Teologi Digital dalam Perspektif Etika Dietrich Bonhoeffer

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.

Teologi.digitalJakarta, Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan sebuah ranah baru bagi interaksi manusia: ruang digital. Fenomena ini memunculkan bidang studi Teologi Digital, yang merefleksikan bagaimana iman, praktik keagamaan, dan pemikiran teologis berinteraksi, dibentuk, dan ditantang oleh budaya serta teknologi digital (Campbell & Tsuria, 2022). Salah satu tantangan utama dalam Teologi Digital adalah isu etika komunikasi, khususnya terkait konsep kebenaran di tengah maraknya disinformasi, hoax, ujaran kebencian, dan pembentukan identitas digital yang terfragmentasi.

Dalam konteks ini, pemikiran Dietrich Bonhoeffer (1906-1945), seorang teolog Lutheran Jerman yang dikenal karena keterlibatannya dalam perlawanan terhadap Nazi dan karya-karyanya tentang etika Kristen, menawarkan perspektif yang relevan dan mendalam. Meskipun Bonhoeffer hidup jauh sebelum era internet, pergulatannya dengan isu kebenaran, tanggung jawab, dan tindakan etis dalam konteks sosial-politik yang ekstrem (rezim Nazi) memberikan wawasan berharga. Karyanya, terutama Ethics (1955) dan Letters and Papers from Prison (1951), menyajikan refleksi mendalam tentang apa artinya berkata dan bertindak benar di hadapan Tuhan dan sesama dalam situasi konkret.

Dalam tulisan artikel ini penulis bertujuan untuk menganalisis bagaimana prinsip-prinsip etika Dietrich Bonhoeffer tentang berkata benar dapat diaktualisasikan dalam kerangka Teologi Digital.

Pertanyaan utama yang akan dijawab adalah: Bagaimana pemahaman Bonhoeffer tentang kompleksitas kebenaran, kejujuran kontekstual, dan tanggung jawab etis dapat memberikan panduan bagi individu dan komunitas Kristen dalam berkomunikasi dan berinteraksi secara etis di ruang digital?

Penulis akan menguraikan pokok-pokok pemikiran etis Bonhoeffer mengenai kebenaran, kemudian mendiskusikannya dalam relevansinya dengan tantangan spesifik di era digital, dan akhirnya menyimpulkan implikasinya bagi praktik Teologi Digital.

Kerangka Teoretis: Etika Berkata Benar Dietrich Bonhoeffer

Pemikiran Bonhoeffer tentang etika, khususnya mengenai berkata benar, tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan teologi dan pengalaman hidupnya. Ia menolak pendekatan etika yang bersifat abstrak atau legalistik semata, dan lebih menekankan pada tindakan yang bertanggung jawab dalam situasi konkret sebagai respons terhadap panggilan Allah. Beberapa pokok pemikirannya yang relevan adalah:

  1. Kebenaran sebagai Konsep Relasional dan Kompleks: Bonhoeffer menolak pandangan simplistis bahwa kebenaran hanyalah kesesuaian antara pernyataan dan fakta objektif. Baginya, kebenaran yang sejati berakar pada realitas Allah dan terwujud dalam hubungan yang benar dengan Tuhan dan sesama (Bonhoeffer, 1955, “What is Meant by ‘Telling the Truth’?”). Kebenaran tidak dapat dipisahkan dari konteks relasional dan situasional di mana ia diucapkan. Mengatakan “fakta” bisa jadi tidak benar jika tujuannya jahat atau mengabaikan dampaknya pada orang lain.
  2. Etika Berbicara yang Jujur dan Bertanggung Jawab: Kejujuran (honesty) bagi Bonhoeffer bukan sekadar tidak berbohong, melainkan bagian integral dari hidup yang otentik di hadapan Tuhan. Namun, kejujuran ini harus disertai tanggung jawab. Dalam Ethics, ia bergulat dengan situasi di mana mengatakan fakta secara harfiah justru dapat membahayakan nyawa orang lain (misalnya dalam konteks menyembunyikan orang Yahudi dari Nazi). Ini menunjukkan bahwa tuntutan etis tertinggi adalah kasih dan tanggung jawab kepada sesama, yang terkadang menuntut cara berbicara yang bijaksana dan tidak harfiah (Bonhoeffer, 1955).
  3. Pentingnya Konteks dan Situasi: Bonhoeffer sangat menekankan bahwa tindakan etis, termasuk berkata benar, harus selalu mempertimbangkan konteks spesifik. Apa yang benar untuk dikatakan dalam satu situasi mungkin tidak benar dalam situasi lain. Ini bukan relativisme etis, melainkan pengakuan bahwa kehendak Allah harus dicari dan ditanggapi dalam kekonkretan situasi historis dan relasional (Bonhoeffer, 1955). Keputusan etis lahir dari perjumpaan antara Firman Tuhan dan realitas dunia.
  4. Tanggung Jawab dan Akuntabilitas: Setiap perkataan dan tindakan membawa konsekuensi. Bonhoeffer menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas dampak perkataannya. Tanggung jawab ini bukan hanya kepada sesama manusia tetapi terutama kepada Allah. Konsep “tanggung jawab” (responsibility) menjadi kunci dalam etika Bonhoeffer, menggantikan etika yang berfokus pada prinsip abstrak atau kesalehan pribadi semata (Bonhoeffer, 1955). Akuntabilitas ini mendorong pertimbangan matang sebelum berbicara atau bertindak.
  5. Keterlibatan dengan Tuhan sebagai Sumber Kebenaran: Pada akhirnya, bagi Bonhoeffer, kebenaran sejati berakar pada Yesus Kristus, yang adalah “Jalan, Kebenaran, dan Hidup” (Yohanes 14:6). Berkata benar berarti hidup dan berbicara dalam keselarasan dengan realitas Allah yang dinyatakan dalam Kristus. Ini melibatkan doa, pembacaan Firman (Meditating on the Word, 1985), dan partisipasi dalam komunitas iman (Life Together, 1939; Sanctorum Communio, 1930) sebagai sarana untuk memahami dan menanggapi panggilan Tuhan dalam setiap situasi (Bonhoeffer, 1937, The Cost of Discipleship).
Gambar : Screen shoot dari Google search

Diskusi: Relevansi Etika Bonhoeffer dalam Teologi Digital

Prinsip-prinsip etika Bonhoeffer menawarkan lensa kritis untuk mengevaluasi praktik komunikasi di era digital:

  1. Menantang Simplifikasi Kebenaran di Ruang Digital: Di platform digital, informasi seringkali disajikan secara terfragmentasi, tanpa konteks, dan cenderung biner (benar/salah, suka/tidak suka). Pendekatan Bonhoeffer tentang kompleksitas kebenaran mengingatkan kita bahwa verifikasi fakta saja tidak cukup. Kita perlu bertanya: Apa konteks informasi ini? Siapa yang diuntungkan atau dirugikan oleh penyebarannya? Bagaimana informasi ini memengaruhi hubungan kita dengan Tuhan dan sesama? Etika Bonhoeffer mendorong kita melampaui sekadar “tidak menyebar hoax” menuju partisipasi dalam diskursus digital yang lebih bertanggung jawab dan relasional.
  2. Kejujuran dan Integritas Identitas Digital: Anonimitas dan kemampuan mengkurasi citra diri secara online menimbulkan pertanyaan tentang kejujuran. Bonhoeffer akan menantang kita untuk melihat identitas digital bukan sebagai topeng, melainkan sebagai perpanjangan dari diri kita yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Berbicara “jujur” secara digital berarti mengkomunikasikan sesuatu yang selaras dengan integritas diri dan iman kita, bahkan ketika tidak ada yang melihat. Ini juga mencakup keberanian untuk berbicara kebenaran profetik melawan ketidakadilan yang mungkin kita saksikan secara online, sebuah gema dari perlawanan Bonhoeffer sendiri (Letters and Papers from Prison, 1951).
  3. Menyadari Konteks yang Runtuh (Context Collapse): Media sosial seringkali mengalami “context collapse,” di mana pesan yang ditujukan untuk audiens tertentu dapat dilihat oleh audiens yang jauh lebih luas dan beragam (Marwick & boyd, 2011). Pemikiran Bonhoeffer tentang pentingnya konteks menjadi sangat relevan. Kita perlu lebih berhati-hati dalam merumuskan pesan, menyadari potensi kesalahpahaman, dan mempertimbangkan bagaimana kata-kata kita akan diterima dalam berbagai konteks yang tak terduga. Kebijaksanaan dalam berbicara, yang ditekankan Bonhoeffer, menjadi krusial.
  4. Akuntabilitas di Era Amplifikasi Digital: Algoritma media sosial dapat mengamplifikasi pesan secara eksponensial, membuat dampak satu unggahan (post) menjadi sangat besar. Prinsip tanggung jawab dan akuntabilitas Bonhoeffer mendesak kita untuk mempertimbangkan konsekuensi potensial dari apa yang kita bagikan, sukai, atau komentari. Apakah kita berkontribusi pada penyebaran kebencian, polarisasi, atau justru membangun pemahaman dan komunitas (Life Together)? Tanggung jawab ini meluas tidak hanya pada konten yang kita buat, tetapi juga pada konten yang kita konsumsi dan sebarkan.
  5. Mencari Keterlibatan dengan Tuhan di Tengah Kebisingan Digital: Ruang digital penuh dengan distraksi dan informasi yang melimpah. Penekanan Bonhoeffer pada keterlibatan dengan Tuhan sebagai pusat kebenaran mengingatkan pentingnya disiplin rohani (doa, meditasi Firman – Meditating on the Word) untuk menjaga fokus pada Tuhan di tengah kebisingan digital. Komunitas iman online, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi perwujudan Sanctorum Communio (komunitas orang kudus) di era digital, tempat anggota saling mendukung dalam mencari dan menghidupi kebenaran Allah. Namun, hal ini membutuhkan kesengajaan untuk membedakan antara konektivitas digital dan persekutuan rohani yang sejati.

Dari diskusi dengan Pemikiran etika Dietrich Bonhoeffer, khususnya tentang berkata benar, memberikan fondasi teologis-etis yang kokoh bagi Teologi Digital. Jauh dari sekadar aturan “jangan berbohong,” Bonhoeffer menawarkan pemahaman yang kaya dan kontekstual tentang kebenaran sebagai realitas relasional yang berakar pada Allah dan diwujudkan dalam tindakan yang bertanggung jawab kepada sesama.

Last but not least, dalam konteks digital, pendekatan Bonhoeffer menantang kita untuk:

  • Memandang kebenaran melampaui verifikasi fakta, menuju pemahaman yang relasional dan kontekstual.
  • Mengartikulasikan kejujuran dan integritas dalam identitas dan interaksi digital kita.
  • Menyadari dan menavigasi kompleksitas konteks dalam komunikasi online.
  • Mengambil tanggung jawab penuh atas dampak perkataan dan tindakan kita di ruang digital.
  • Menjaga keterpusatan pada Tuhan sebagai sumber kebenaran di tengah arus informasi digital.

Dengan mengadopsi perspektif Bonhoeffer, individu dan komunitas Kristen dapat mengembangkan literasi digital yang kritis dan etis, menggunakan teknologi bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai ruang untuk menghidupi panggilan menjadi murid Kristus (The Cost of Discipleship) yang bertanggung jawab dan berkata benar dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dunia maya.

Pemikiran Bonhoeffer tetap bergema kuat, mengingatkan bahwa etika sejati selalu menuntut keberanian untuk bertindak benar dalam situasi konkret, sebuah tantangan yang kini meluas ke lanskap digital yang kompleks. Penelitian lebih lanjut dapat mengeksplorasi aplikasi spesifik etika Bonhoeffer pada isu-isu seperti kecerdasan buatan, privasi data, dan pembentukan komunitas iman hibrida (fisik dan digital).

Daftar Pustaka

  • Bonhoeffer, Dietrich. (1930). Sanctorum Communio: A Theological Study of the Sociology of the Church. Fortress Press.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1937). The Cost of Discipleship. SCM Press.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1937). Creation and Fall. Fortress Press.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1939). Life Together. Harper & Row.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1951). Letters and Papers from Prison. SCM Press.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1955). Ethics. SCM Press. (Terutama bagian “What is Meant by ‘Telling the Truth’?”)
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1960). Christ the Center. Harper & Row.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1985). Meditating on the Word. Cowley Publications.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1990). A Testament to Freedom: The Essential Writings of Dietrich Bonhoeffer. Harper San Francisco.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (1992). Love Letters From Cell 92. HarperCollins.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (2005). A Year with Dietrich Bonhoeffer: Daily Meditations from His Letters, Writings, and Sermons. HarperSanFrancisco.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (2005). I Want to Live These Days with You: A Year of Daily Devotions. Augsburg Fortress Publishers.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (2012). God Is on the Cross: Reflections on Lent and Easter. Westminster John Knox Press.
  • Bonhoeffer, Dietrich. (2012). The Collected Sermons of Dietrich Bonhoeffer. Fortress Press.
  • Campbell, Heidi A., and Tsuria, Ruth. (Eds.). (2022). Digital Theology: Understanding Religious Practice in Digital Culture. Routledge.
  • Marwick, Alice E., and boyd, danah. (2011). “I tweet honestly, I tweet passionately: Twitter users, context collapse, and the imagined audience.” New Media & Society, 13(1), 114–133.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!