Buku “The Threshold of Christianity” : Jejak Langkah Misiologi Gereja Perdana dan Relevansinya di Era Digital

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Teologi.digital – Jakarta, Resensi Buku “The Threshold of Christianity” (Di Ambang Fajar Kekristenan) karya Lawrence E. Toombs tentang pergerakan gereja perdana dan misiologi kekristenan awal bagi misiologi di era digital sangat berguna.
Buku “The Threshold of Christianity” karya Lawrence E. Toombs membuka jendela pemahaman yang mendalam tentang masa transisi krusial dari Yudaisme Perjanjian Lama menuju Kekristenan Perjanjian Baru.
Melalui analisis komprehensif, Toombs menguraikan perubahan filosofis dan teologis yang mendasar, serta menyoroti pengaruh historis dan budaya yang membentuk lanskap keagamaan abad pertama. Pemahaman ini bukan sekadar kajian sejarah, melainkan fondasi penting untuk merefleksikan misiologi kontemporer, terutama di era digital yang serba cepat dan terhubung ini.
Buku ini tidak hanya sekadar menceritakan sejarah, tetapi juga menjelaskan mengapa dan bagaimana perubahan-perubahan mendasar ini terjadi, dengan mempertimbangkan pengaruh historis dan budaya pada masa itu.
Gambaran Lengkap Isi Buku “The Threshold of Christianity” Perbandingan Filosofi Yahudi dan Kristen:
Buku ini secara eksplisit membandingkan konsep-konsep filosofis dan teologis utama dalam Perjanjian Lama (Yudaisme) dengan konsep-konsep dalam Perjanjian Baru (Kekristenan). Ini mungkin mencakup perbedaan dalam pemahaman tentang:
- Allah: Sifat dan atribut Allah, hubungan-Nya dengan manusia dan dunia.
- Hukum: Peran dan interpretasi Hukum Taurat.
- Mesias: Konsep tentang Mesias dan bagaimana Yesus memenuhi peran tersebut.
- Keselamatan: Jalan menuju keselamatan dan hubungan antara kasih karunia dan ketaatan.
- Perjanjian: Perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
- Kerajaan Allah: Pemahaman tentang Kerajaan Allah dalam kedua konteks.
- Pengaruh Historis dan Budaya: Buku ini menelusuri faktor-faktor historis dan budaya yang memengaruhi perkembangan pemikiran keagamaan dari Yudaisme ke Kekristenan. Ini kemungkinan mencakup:
- Pengaruh Helenistik (Yunani): Bagaimana bahasa, filsafat, dan budaya Yunani berinteraksi dengan Yudaisme dan Kekristenan awal.
- Kondisi Politik dan Sosial di Palestina Abad Pertama: Bagaimana kekuasaan Romawi, struktur sosial Yahudi, dan berbagai gerakan politik dan keagamaan memengaruhi munculnya Kekristenan.
- Interpretasi Ulang Kitab Suci: Bagaimana para pengikut Yesus memahami dan menafsirkan kembali kitab-kitab Perjanjian Lama dalam terang kedatangan dan karya Kristus.
- Interaksi dengan Kepercayaan dan Praktik Lain: Bagaimana Kekristenan awal berinteraksi dengan kepercayaan dan praktik keagamaan lain yang ada pada masa itu.
- Detail dan Referensi: Buku ini menyajikan informasi yang mendalam dan didukung oleh referensi. Ini memungkinkan pembaca untuk melakukan studi lebih lanjut jika tertarik pada topik tertentu.
- Gaya Penulisan yang Logis dan Jelas: Komentar tersebut menyoroti bahwa buku ini ditulis dengan alur logika yang baik dan bahasa yang jelas, tanpa penyimpangan yang tidak perlu atau opini pribadi penulis yang mendominasi. Hal ini menunjukkan pendekatan akademis yang sistematis.
Spirit misi gereja mula-mula, yang tercermin dalam catatan Kisah Para Rasul dan surat-surat para rasul, memiliki resonansi yang mengejutkan dengan tantangan dan peluang misi di era digital. Bagaimana mungkin semangat yang lahir di tengah keterbatasan geografis dan komunikasi dapat bergema kuat di dunia yang terhubung secara global melalui internet?
Dasar Teologis yang Abadi:
Sebagaimana diungkapkan Toombs, transisi dari Yudaisme ke Kekristenan didasarkan pada pemahaman baru tentang Allah, Hukum, Mesias, keselamatan, perjanjian, dan Kerajaan Allah. Pesan inti Injil tentang Yesus Kristus sebagai penggenapan janji Allah dan jalan keselamatan bagi semua bangsa menjadi motor penggerak misi gereja perdana. Di era digital, pesan inti ini tetap tidak berubah. Platform daring, media sosial, dan berbagai kanal digital hanyalah medium baru untuk menyampaikan kebenaran abadi ini kepada khalayak yang lebih luas dan beragam. Spirit pemberitaan yang berpusat pada Kristus dan karya penyelamatan-Nya harus tetap menjadi DNA misiologi digital.
Strategi Komunikasi yang Adaptif:
Gereja perdana menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa dalam menyampaikan pesan Injil. Mereka berbicara kepada orang-orang dengan latar belakang Yahudi yang memahami Perjanjian Lama, serta kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi dengan filosofi dan budaya yang berbeda. Paulus, misalnya, piawai berdiskusi di sinagoge maupun di Areopagus Athena. Di era digital, kemampuan beradaptasi menjadi semakin krusial. Gereja harus belajar “berbahasa” digital, memanfaatkan berbagai format konten (tulisan, gambar, video, audio), dan memahami budaya internet yang dinamis untuk menjangkau berbagai kelompok masyarakat dengan efektif. Spirit untuk bertemu orang di “mana mereka berada” secara kultural dan intelektual tetap relevan, hanya saja “tempat” itu kini juga mencakup ruang siber.
Pembentukan Identitas Komunitas yang Inklusif:
Salah satu terobosan besar gereja perdana adalah pembentukan komunitas yang melampaui batas-batas etnis dan sosial. Identitas baru dalam Kristus mempersatukan orang Yahudi dan bukan Yahudi, budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan. Di era digital, gereja memiliki potensi yang lebih besar untuk membangun komunitas yang inklusif secara global. Batasan geografis menjadi kabur, memungkinkan interaksi dan persekutuan antar budaya dan bangsa. Spirit persatuan dalam Kristus harus tercermin dalam bagaimana gereja membangun komunitas daring yang otentik dan saling mendukung.
Respon Terhadap Tantangan Kontekstual:
Gereja perdana tidak terhindar dari tantangan dan penganiayaan. Namun, mereka merespons dengan iman, keberanian, dan strategi yang kreatif. Di era digital, gereja juga menghadapi berbagai tantangan baru, mulai dari disinformasi, polarisasi, hingga persaingan dengan berbagai narasi sekuler dan agama lain di dunia maya. Belajar dari respons gereja perdana, gereja di era digital perlu mengembangkan strategi yang bijaksana dan berlandaskan kebenaran untuk menghadapi tantangan ini, sambil tetap mempertahankan integritas dan kasih Kristus.
Refleksi Misiologi Kontemporer:
Spirit misi gereja mula-mula, yang dipicu oleh pemahaman teologis yang mendalam, diwujudkan melalui strategi komunikasi yang adaptif, pembentukan komunitas yang inklusif, dan respons yang tepat terhadap tantangan kontekstual. Di era digital, prinsip-prinsip ini tetap relevan dan menantang gereja untuk merefleksikan ulang misiologinya:
- Kembali ke Esensi Pesan: Apakah pesan yang kita sampaikan di platform digital tetap berpusat pada Kristus dan Injil yang transformatif?
- Inovasi dalam Penyampaian: Apakah kita memanfaatkan teknologi digital secara kreatif dan relevan untuk menjangkau dan berinteraksi dengan audiens yang beragam?
- Membangun Komunitas yang Otentik: Apakah kehadiran kita di dunia digital sungguh-sungguh membangun komunitas yang saling mengasihi, mendukung, dan bertumbuh dalam iman?
- Bijaksana dalam Menghadapi Tantangan: Bagaimana kita merespons disinformasi, ujaran kebencian, dan berbagai tantangan etis di dunia digital dengan hikmat dan kasih Kristus?
- Melampaui Batas Fisik: Apakah kita memanfaatkan potensi global internet untuk menjangkau orang-orang yang mungkin tidak terjangkau secara fisik?
Warisan gereja perdana, yang dianalisis dengan cermat oleh Lawrence E. Toombs, memberikan kompas yang berharga bagi misiologi di era digital. Spirit pemberitaan yang berani, adaptasi yang cerdas, pembentukan komunitas yang inklusif, dan respons yang bijaksana terhadap tantangan adalah jejak langkah yang abadi. Di tengah gemuruh informasi dan interaksi digital, gema semangat gereja mula-mula dapat terus terdengar nyaring jika kita berakar kuat pada dasar teologis yang sama dan berani berinovasi dalam menyampaikan pesan kasih Kristus kepada dunia yang terus berubah. (Dh.L./Red.)