Sepuluh Perintah Allah Dan Relevansinya Di Peradaban Digital

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.

I. Pendahuluan: Memahami Dekalog di Tengah Arus Digital

A. Latar Belakang: Era Digital sebagai Lanskap Baru bagi Gereja

Era digital telah mengubah tatanan kehidupan manusia secara fundamental, ditandai oleh peningkatan kecepatan dan aliran pengetahuan yang meresap ke dalam ekonomi dan kehidupan bermasyarakat.1 Teknologi kini sepenuhnya berasimilasi dalam kehidupan sehari-hari, mentransformasi cara manusia berinteraksi, belajar, dan mencari informasi.2 Bagi gereja, pergeseran ini menghadirkan lanskap baru yang disruptif, di mana pertemuan fisik tidak lagi menjadi satu-satunya bentuk ibadah atau komunitas. Gereja-gereja di seluruh dunia telah merespons dengan mengadopsi platform media sosial untuk berbagai aktivitas sehari-hari, termasuk penyebaran Injil dan pelayanan.4

Pergeseran ini bukan sekadar perubahan metode, melainkan redefinisi mendasar terhadap pengalaman spiritual komunal. Ruang sakral dan konsep komunitas tidak lagi terbatas pada aspek fisik semata, tetapi meluas ke ranah digital. Transformasi ini memunculkan pertanyaan teologis yang mendalam tentang “kehadiran” dan “persekutuan” di dunia maya, serta potensi komodifikasi ibadah. Gereja perlu menyeimbangkan jangkauan luas yang ditawarkan teknologi dengan kebutuhan akan kedalaman dan keintiman hubungan, yang seringkali lebih mudah dicapai dalam persekutuan fisik.5 Hal ini menuntut gereja untuk secara sadar membentuk kembali pemahaman jemaat tentang apa artinya menjadi “tubuh Kristus” di era digital.

Selain itu, media sosial telah mengubah dan menantang pemahaman dasar tentang kebenaran dan iman.6 Informasi, termasuk disinformasi dan berita palsu, menyebar dengan sangat cepat dan luas di platform digital.2 Dalam “pasar ide” yang kompetitif ini, gereja dan para pemimpinnya menghadapi tantangan signifikan dalam mempertahankan otoritas mereka sebagai sumber informasi keagamaan yang dapat dipercaya.9 Era digital menuntut gereja untuk tidak hanya beradaptasi secara teknologi, tetapi juga mengembangkan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis di antara jemaatnya.7 Dalam konteks ini, Dekalog, khususnya perintah mengenai kesaksian dusta, menjadi sangat relevan sebagai fondasi bagi integritas komunikasi digital.

B. Tujuan Artikel: Menjelaskan Relevansi Dekalog sebagai Pedoman Moral dan Iman

Sepuluh Perintah Allah, atau Dekalog, adalah inti dari Perjanjian Musa, yang diterima oleh Musa di Gunung Sinai dalam dua loh batu.11 Perintah-perintah ini berfungsi sebagai fondasi moral dan etika yang abadi bagi umat beriman.12 Artikel ini bertujuan untuk menguraikan makna Dekalog dan mempelajarinya untuk kehidupan masa kini, secara khusus menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip ini tetap relevan dengan kehidupan Kristen di tengah tantangan dan peluang era digital.11 Dekalog dipahami sebagai “kabar baik” yang Allah berikan untuk dilaksanakan, di mana di balik setiap larangan terdapat maksud baik Allah untuk kebaikan manusia.15

Dekalog menawarkan kerangka kerja moral yang transenden, yang tidak terikat oleh tren digital yang cepat berubah atau fluktuasi opini publik. Relevansinya terletak pada sifatnya yang mencerminkan karakter Allah yang tidak berubah dan kekal.17 Hal ini menjadikan Dekalog sebagai kompas yang sangat dibutuhkan di era digital, membimbing umat Kristen untuk membuat pilihan etis yang konsisten, bahkan ketika dihadapkan pada tekanan sosial atau anonimitas daring. Sebagai “kabar baik,” Dekalog mendorong umat untuk melihat kepatuhan bukan sebagai beban, melainkan sebagai jalan menuju kehidupan yang selaras dengan kehendak ilahi dan demi kebaikan diri sendiri.

C. Pendekatan: Integrasi Perspektif Teologis, Filosofis, dan Teologi Digital

Untuk mencapai kedalaman analisis yang komprehensif, artikel ini akan mengintegrasikan berbagai perspektif. Pertama, pandangan teolog Perjanjian Lama akan digunakan untuk memahami Dekalog sebagai cerminan karakter Allah yang kekal dan kudus.17 Kedua, pemikiran filsuf akan memberikan kerangka untuk menganalisis nilai-nilai etika universal yang terkandung dalam Dekalog.18 Ketiga, perspektif teologi digital akan membahas tantangan dan peluang konkret yang dihadapi gereja dan individu dalam lanskap teknologi saat ini.20

Sinergi antardisiplin ini menciptakan pemahaman yang lebih kaya dan relevan secara praktis. Teologi Perjanjian Lama menyediakan fondasi ilahi dan keabadian Dekalog, menegaskan otoritasnya yang tak lekang oleh waktu. Filsafat moral memberikan kerangka universal dan rasional untuk memahami etika di luar konteks agama semata, memungkinkan dialog yang lebih luas dengan masyarakat yang semakin sekuler. Teologi digital menjembatani teori dengan praktik, mengidentifikasi manifestasi konkret dari isu-isu moral di dunia maya dan menawarkan strategi adaptasi. Bersama-sama, pendekatan ini menghasilkan panduan moral yang komprehensif, relevan dengan perkembangan zaman, dan sesuai dengan fitrah manusia.21 Ini memungkinkan gereja untuk tidak hanya bereaksi terhadap disrupsi digital, tetapi juga proaktif dalam membentuk budaya digital yang bertanggung jawab dan etis.

 

II. Dekalog: Fondasi Abadi dari Perjanjian Lama

 A. Asal-usul dan Signifikansi Historis Dekalog

Sepuluh Perintah Allah, yang juga dikenal sebagai Dekalog (dari bahasa Yunani deka logoi yang berarti “sepuluh firman”), merupakan inti dari Perjanjian Musa.11 Perintah-perintah ini diterima oleh Musa di Gunung Sinai dalam bentuk dua loh batu.11 Dekalog ini bersifat apodiktif, yaitu perintah dan larangan tanpa syarat, yang secara mendalam mengungkapkan kasih antara Allah dan umat-Nya, serta kasih antar sesama umat Allah.13

Penting untuk dicatat bahwa Dekalog diawali dengan perkenalan diri Allah sebagai TUHAN yang telah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir.13 Pernyataan ini menegaskan hak Allah untuk menentukan tatanan hidup bagi umat-Nya. Konteks historis ini sangat signifikan: hukum diberikan setelah tindakan penyelamatan Allah, bukan sebagai prasyarat untuknya. Ini menunjukkan bahwa ketaatan bukan merupakan syarat untuk mendapatkan kasih Allah atau keselamatan, melainkan sebuah respons terhadap kasih karunia dan kebebasan yang telah diberikan-Nya.13

Di era digital, di mana “kebebasan” sering disalahartikan sebagai ketiadaan batasan atau tanggung jawab, Dekalog mengingatkan bahwa kebebasan sejati ditemukan dalam ketaatan yang berakar pada kasih dan pengakuan akan kedaulatan Allah. Ini menantang narasi digital yang mungkin mempromosikan anarki moral atas nama kebebasan berekspresi, menegaskan bahwa kebebasan tanpa batasan etis dapat mengarah pada kehancuran diri dan komunitas.

Perbedaan Penomoran dalam Tradisi Yahudi, Protestan, dan Katolik

Meskipun inti dari Sepuluh Perintah Allah adalah universal, penomorannya bervariasi di antara tradisi keagamaan. Perlu dipahami bahwa Kitab Suci sendiri tidak secara eksplisit memberikan penomoran pada perintah-perintah ini; pembagian dan penomoran ayat baru dimulai pada Abad Pertengahan.24 Jika setiap perintah diberi nomor secara individual, jumlahnya bisa mencapai sekitar 15 perintah.24 Perbedaan penomoran ini sebagian besar berasal dari interpretasi Bapa Gereja, terutama Origen dan St. Agustinus.24

Berikut adalah perbandingan penomoran dalam tradisi utama:

Tabel 1: Perbedaan Penomoran Sepuluh Perintah Allah dalam Tradisi Utama

PerintahTradisi Yahudi Mayoritas (Mengikuti Keluaran 20)Tradisi Protestan (Mengikuti Origen)Tradisi Katolik & Lutheran (Mengikuti St. Agustinus)
1Akulah Yahweh Allahmu (Prolog)Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-KuAkulah Tuhan, Allahmu: Jangan ada allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat patung untuk disembah.
2Jangan ada allah lain di hadapan-Ku & Jangan membuat patung untuk disembahJangan membuat patung untuk disembahJangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat.
3Jangan menyebut nama Tuhan dengan sembaranganJangan menyebut nama Tuhan dengan sembaranganKuduskanlah hari Tuhan.
4Ingat dan kuduskan hari SabatIngat dan kuduskan hari SabatHormatilah ayahmu dan ibumu.
5Hormati ayahmu dan ibumuHormati ayahmu dan ibumuJangan membunuh.
6Jangan membunuhJangan membunuhJangan berzinah.
7Jangan berzinahJangan berzinahJangan mencuri.
8Jangan mencuriJangan mencuriJangan bersaksi dusta tentang sesamamu.
9Jangan mengucapkan saksi dustaJangan mengucapkan saksi dustaJangan mengingini istri sesamamu.
10Jangan mengingini milik orang lainJangan mengingini milik orang lainJangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.

Catatan: Motivasi Perintah Sabat juga berbeda antara Keluaran 20:8-11 (istirahat Allah pada hari ketujuh penciptaan) dan Ulangan 5:12-15 (pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir).13

Perbedaan penomoran ini menunjukkan bahwa Dekalog tidak hanya sekumpulan aturan kaku, tetapi prinsip-prinsip yang dapat diinterpretasikan dan diterapkan dalam konteks budaya dan teologis yang berbeda, selama inti moralnya dipertahankan.24 Hal ini relevan di era digital, di mana gereja harus mampu menyajikan Dekalog dengan cara yang fleksibel namun tetap setia pada kebenaran inti, mengakomodasi keragaman pemahaman tanpa mengorbankan fondasi etika. Ini juga menyoroti pentingnya hermeneutika yang bertanggung jawab dalam menafsirkan teks-teks kuno untuk konteks modern, memungkinkan umat dari berbagai latar belakang untuk menemukan relevansi Dekalog dalam kehidupan mereka.

B. Struktur dan Pembagian Dekalog: Hubungan Vertikal (dengan Allah) dan Horizontal (dengan Sesama)

Secara tradisional, Dekalog dibagi menjadi dua bagian utama yang mencerminkan dua dimensi fundamental dalam kehidupan manusia: hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama. Perintah pertama hingga keempat secara spesifik mengatur hubungan manusia dengan Allah (dimensi vertikal), sementara perintah kelima hingga kesepuluh mengatur hubungan manusia dengan sesama (dimensi horizontal).11 Pembagian ini secara intrinsik mencerminkan prinsip kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama sebagai inti dari seluruh hukum Taurat, sebagaimana diajarkan oleh Yesus Kristus.14

Pemisahan vertikal-horizontal ini tidak berarti independensi. Pelanggaran terhadap sesama (dimensi horizontal) seringkali merupakan cerminan dari kegagalan dalam hubungan dengan Allah (dimensi vertikal), dan sebaliknya. Di era digital, di mana interaksi seringkali tidak langsung dan bahkan anonim, sangat mudah untuk mengabaikan dampak tindakan seseorang terhadap orang lain. Menekankan bahwa setiap tindakan daring (horizontal) adalah juga cerminan dari hubungan seseorang dengan Allah (vertikal) dapat mendorong tanggung jawab moral yang lebih dalam dan mencegah perilaku negatif seperti ujaran kebencian, penipuan digital, atau penyebaran misinformasi. Hal ini menggarisbawahi bahwa etika digital adalah bagian integral dari spiritualitas Kristen, bukan sekadar seperangkat aturan tambahan. Dengan demikian, pemahaman tentang interdependensi ini memperkuat etika digital, mendorong umat untuk melihat setiap interaksi daring sebagai tindakan yang juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam.

C. Pandangan Teolog Perjanjian Lama tentang Relevansi dan Fungsi Dekalog

Dari perspektif teolog Perjanjian Lama, hukum moral Allah, termasuk Dekalog, adalah refleksi atau cerminan dari karakter Allah yang kekal dan kudus.17 Karena Allah itu kekal, maka hukum-hukum-Nya pun kekal dan tidak berubah.17 Pandangan ini menegaskan bahwa hukum Allah sejajar dengan otoritas-Nya, yang berbeda dari pandangan yang menempatkan otoritas Allah di atas hukum-Nya, atau hukum Allah di atas otoritas-Nya.17 Pemahaman ini sangat penting: ketika manusia berdosa terhadap perintah-Nya, mereka tidak hanya berdosa terhadap hukum itu sendiri, tetapi juga terhadap karakter Allah, karena hukum-Nya mencerminkan sifat-Nya yang kudus dan benar.17

Dengan memahami Dekalog sebagai ekspresi karakter Allah yang tak berubah, gereja dapat menegaskan bahwa standar moral tidak bersifat relatif terhadap tren digital yang cepat berubah atau preferensi budaya yang fluktuatif. Hal ini memberikan jemaat jangkar teologis yang kuat di tengah ketidakpastian dan relativisme nilai yang seringkali muncul di dunia digital.

Ajaran ini harus menekankan bahwa pelanggaran terhadap hukum bukan hanya pelanggaran aturan, tetapi juga pelanggaran terhadap karakter Allah itu sendiri, yang membawa implikasi serius bagi hubungan manusia dengan Penciptanya. Hal ini mendorong ketaatan yang lebih dari sekadar kepatuhan hukum, tetapi sebagai ekspresi kasih dan penghormatan kepada Allah.

Hukum moral ini memiliki tiga fungsi utama yang tetap relevan di era digital:

  1. Mengekang Dosa: Hukum diberikan agar manusia mengetahui batasan-batasan dalam kehidupan.17 Ini berfungsi sebagai pagar pembatas yang jelas, mencegah umat dari perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Di era digital, di mana batasan seringkali kabur (misalnya, dalam hal privasi data atau konten yang tidak pantas), fungsi ini menjadi sangat krusial untuk menetapkan batas-batas yang sehat dalam penggunaan teknologi.
  2. Menghakimi/Menyadarkan Dosa: Hukum berfungsi untuk menyadarkan seseorang akan dosa-dosanya, bertindak sebagai cermin yang menunjukkan betapa berdosa manusia di hadapan Allah yang kudus.17 Fungsi ini membawa manusia pada kesadaran akan kebutuhan akan Kristus sebagai Juruselamat.17 Di dunia maya, anonimitas seringkali mengurangi kesadaran akan dampak dosa (misalnya, cyberbullying atau penyebaran hoaks). Fungsi ini membantu umat mengenali dosa-dosa yang mungkin tersembunyi di balik layar anonimitas, mendorong pertobatan yang tulus.
  3. Mengajar Hidup Benar: Setelah menerima Kristus, hukum menjadi lampu yang menerangi jalan untuk hidup kudus dan benar, sesuai dengan kehendak Allah.17 Ini adalah fungsi normatif atau pedagogis yang membimbing orang percaya dalam anugerah. Fungsi ini memberikan arahan praktis untuk interaksi daring yang etis, seperti kejujuran, kasih, dan tanggung jawab 27, membentuk “warga digital Kristus” yang bertanggung jawab.

Gereja harus mengajarkan Dekalog sebagai alat diagnostik untuk mengidentifikasi “dosa digital” (misalnya, kecanduan media sosial, penyebaran hoaks, cyberbullying, pencurian identitas) dan sebagai panduan konstruktif untuk membangun karakter Kristen di dunia maya. Dengan demikian, ketiga fungsi ini menjadi lebih krusial dan relevan di dunia maya untuk membimbing umat.

 D. Penyempurnaan Dekalog oleh Yesus Kristus: Dari Hukum menjadi Kasih

Kedatangan Yesus Kristus ke dunia bukan untuk meniadakan Hukum Taurat, melainkan untuk melengkapinya dan menyempurnakannya.28 Yesus memperdalam Sepuluh Perintah dengan Khotbah di Bukit (Matius 5), mengajak para pengikut-Nya untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti Dia setiap hari (Lukas 9:23).28 Inti dari penyempurnaan ini adalah perintah kasih: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu… dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.26

Penyempurnaan Dekalog oleh Yesus menjadi hukum kasih berarti etika Kristen di era digital harus melampaui kepatuhan lahiriah. Ini menuntut “kasih yang tidak berkesudahan” (1 Korintus 13:8) sebagai motivasi utama di balik setiap tindakan daring.29 Kasih menjadi “algoritma” yang mengarahkan bagaimana umat Kristen berinteraksi, berbagi informasi, dan menggunakan teknologi. Ini berarti mempraktikkan empati, pengampunan, dan membangun kedamaian, bahkan dalam ruang digital yang seringkali penuh konflik dan polarisasi.31 Roh Kudus memampukan umat untuk hidup sesuai ketetapan dan peraturan Allah (Yesaya 36:26-27), menjadikan kuk yang dikenakan enak dan beban ringan (Matius 11:28-30).28 Roh Kudus adalah daya penggerak untuk mewujudkan kasih ini, memungkinkan umat untuk melampaui kemampuan alami mereka dalam berinteraksi secara etis daring.

Lingkungan digital seringkali mempromosikan interaksi yang dingin, transaksional, anonim, atau bahkan antagonis, di mana kasih seringkali absen. Penerapan kasih menjadi lebih menantang sekaligus lebih penting di dunia maya, karena ia adalah fondasi untuk semua interaksi etis. Gereja dapat mengajarkan kasih sebagai prinsip operasional utama untuk semua interaksi digital, mengubahnya dari sekadar aturan menjadi perilaku yang transformatif, yang membedakan umat Kristen di ruang digital.

 III. Filsafat Moral dan Dekalog: Relevansi Universal

 A. Dekalog sebagai Sumber Nilai Etika Universal (Kejujuran, Keadilan, Kasih Sayang, Tanggung Jawab)

Sepuluh Perintah Allah adalah pedoman hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia, berfungsi sebagai hukum moral yang mengatur perilaku manusia dan membentuk karakter yang baik.19 Perintah-perintah ini mengajarkan nilai-nilai etika yang luhur seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab, yang menjadi dasar bagi perilaku manusia yang baik dan bermoral.19 Nilai-nilai ini bersifat universal dan fundamental, diakui oleh banyak agama dan budaya di dunia.19

Meskipun berakar pada konteks Yahudi-Kristen, nilai-nilai dalam Dekalog (misalnya, larangan membunuh, mencuri) diakui secara luas di berbagai peradaban. Hal ini menunjukkan universalitas dan transkulturalitas Dekalog, yang dapat menjadi dasar bagi etika global. Dengan menyoroti nilai-nilai universal ini, gereja dapat menyajikan fondasi etika yang resonan bahkan bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang Kristen. Ini memungkinkan dialog yang lebih luas tentang perilaku yang bertanggung jawab di ruang digital, melampaui batas-batas denominasi atau agama, dan menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ini sesuai dengan “fitrah” manusia 21 atau hukum moral yang tertulis di hati setiap orang (Roma 2:14-15).17 Hal ini memberikan dasar untuk kolaborasi lintas-iman dalam menghadapi tantangan etika digital, membangun konsensus etis di ruang publik digital.

B. Perbandingan Pemikiran Filsuf tentang Etika dan Hukum Moral (mis. Al-Ghazali vs. Kant)

Filsafat etika, sebagai cabang filsafat yang membahas nilai dan prinsip moral yang mengatur perilaku manusia, memiliki keterkaitan erat dengan Dekalog sebagai pedoman ilahi.19 Pemikir seperti Al-Ghazali dan Immanuel Kant menawarkan perspektif yang berbeda namun saling melengkapi dalam memahami etika. Al-Ghazali, dengan corak religiusnya, sangat mengandalkan etika kewahyuan, menekankan kehendak mutlak Tuhan sebagai sumber moralitas.18 Di sisi lain, Immanuel Kant, dengan corak rasionalnya, menekankan prinsip tugas etis dan hukum universal yang dapat diakses oleh akal budi manusia, tanpa harus bergantung pada wahyu ilahi.18 Meskipun metodologi mereka berbeda, keduanya sepakat bahwa etika adalah cara fundamental untuk menata perilaku manusia.18

Era digital seringkali mengedepankan rasionalitas, data, dan pragmatisme, namun juga menghadapi krisis moral yang tidak dapat diatasi hanya dengan logika. Ada kebutuhan untuk menjembatani jurang antara etika berbasis wahyu dan etika berbasis rasio untuk solusi yang lebih komprehensif. Dekalog dapat dipandang sebagai titik temu antara etika kewahyuan (seperti Al-Ghazali, yang menekankan kehendak mutlak Tuhan) dan etika rasional (seperti Kant, yang menekankan hukum universal). Meskipun berasal dari wahyu ilahi, prinsip-prinsipnya dapat diakui dan diterapkan melalui akal budi, karena mencerminkan karakter Allah yang juga menciptakan akal budi manusia. Hal ini memungkinkan gereja untuk mengajarkan etika digital yang tidak hanya berdasarkan “iman buta” tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, menarik bagi generasi yang kritis dan terbiasa dengan pemikiran logis. Dialog antara kedua pendekatan ini dapat menghasilkan pemahaman etika yang lebih kaya dan aplikatif di dunia digital, memberikan wawasan yang tidak mungkin dicapai oleh satu disiplin saja.

C. Dekalog sebagai Pedoman Perilaku Manusia yang Otentik

Dekalog memberikan panduan berharga untuk menjalani kehidupan yang baik dan bermoral, dengan tujuan menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan penuh kasih.19 Dengan menjalankan kewajiban yang terkandung dalam Dekalog, seseorang diharapkan dapat hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, membangun hubungan yang harmonis dengan sesama, dan menjadi pribadi yang utuh dan seimbang.19 Dalam konteks filsafat, konsep “manusia otentik” (Dasein) seperti yang diungkapkan oleh Martin Heidegger, memiliki kemiripan dengan konsep bahasa roh dalam teologi Pentakosta, di mana keduanya bersifat komunikatif, menyingkapkan, dan dapat dimengerti, serta merupakan karakter dari manusia yang otentik.32

Di era digital, identitas seringkali terfragmentasi, dengan banyak orang menampilkan persona yang berbeda di berbagai platform, menciptakan disonansi antara diri nyata dan diri daring.33 Ini menimbulkan tantangan signifikan untuk mempertahankan otentisitas diri dan integritas pribadi di dunia maya. Dekalog, sebagai pedoman untuk “manusia yang otentik” 32, mendorong integritas diri yang sejati, baik di dunia fisik maupun digital. Ini menantang kecenderungan narsisme dan pembangunan citra diri yang berlebihan di media sosial.34 Gereja dapat menggunakan Dekalog untuk mengajarkan bahwa otentisitas Kristen di dunia digital berarti konsistensi antara nilai-nilai yang dianut secara pribadi dengan perilaku yang ditampilkan secara daring. Hal ini mendorong umat Kristen untuk membangun identitas digital yang otentik dan terintegrasi, yang konsisten dengan karakter Kristus, alih-alih persona yang dibuat-buat atau narsistik yang didorong oleh media sosial. Ini juga membantu umat untuk tidak terjebak dalam perbandingan sosial yang tidak sehat yang sering terjadi di platform digital.35

IV. Relevansi Dekalog di Era Digital: Aplikasi Praktis

A. Perintah Pertama: Jangan Ada Allah Lain di Hadapan-Ku (Monoteisme Digital)

Perintah pertama Dekalog menekankan monoteisme Kristen, melarang penyembahan berhala atau dewa lain selain Allah yang Esa.12 Ini adalah dasar dari kepercayaan pada satu Tuhan yang benar, yang telah membebaskan umat-Nya dan berhak atas penyembahan eksklusif.36 Di era digital, konsep berhala meluas melampaui patung fisik menjadi objek atau nilai-nilai duniawi yang dimutlakkan dan didewakan.36

Teknologi dan media sosial, meskipun netral pada dasarnya dan merupakan karunia dari Allah untuk mempermudah kehidupan 37, dapat menjadi berhala modern jika disalahgunakan.34 Kecanduan teknologi dan media sosial adalah salah satu ciri berhala modern, di mana individu menghabiskan waktu berlebihan di depan layar, mengabaikan doa, kebaktian, atau interaksi keluarga dan komunitas.34 Hal ini mengalihkan perhatian dari hal-hal yang di atas dan menggantikan Tuhan sebagai fokus utama dalam hidup seseorang.34 Ketika teknologi dianggap mampu menjelaskan semua masalah hidup dan memenuhi harapan manusia, ia dapat didewakan, menghilangkan kebutuhan akan Tuhan.37

Gereja harus mengajarkan umat untuk memposisikan diri sebagai “pengguna” teknologi yang bertanggung jawab, bukan “penyembah”nya.16 Ini berarti memanfaatkan teknologi untuk kemuliaan Allah dan penyebaran Injil, bukan untuk diidolakan.37 Keterikatan berlebihan pada benda material dan obsesi dengan status atau kekuasaan di dunia digital juga merupakan manifestasi berhala modern.34 Gereja perlu membimbing umat untuk mengembangkan kendali diri dan menemukan kepuasan sejati dalam hubungan dengan Allah, bukan dalam validasi daring atau kepemilikan materi.34

B. Perintah Kedua: Jangan Menyebut Nama Tuhan dengan Sembarangan (Integritas Digital)

Perintah kedua menuntut penghormatan terhadap nama Allah, mengajarkan pentingnya menghargai sifat suci dan kuasa-Nya dalam segala hal yang dilakukan.12 Nama Allah adalah kudus dan memiliki kuasa, sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan yang sia-sia atau tidak hormat.36 Di era digital, perintah ini relevan dalam konteks ujaran kebencian, misinformasi, dan penggunaan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan yang tidak etis.

Ujaran kebencian daring (hate speech) adalah tantangan signifikan di era digital, yang seringkali menyebabkan kerugian bagi individu dan komunitas.7 Meskipun kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia, ujaran kebencian yang menghasut diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang.7 Menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan ujaran kebencian atau tindakan jahat adalah pelanggaran serius terhadap perintah ini.36 Gereja harus mempromosikan literasi digital dan pemikiran kritis untuk membantu umat mengidentifikasi dan melawan ujaran kebencian, serta mengajarkan empati dan rasa hormat terhadap orang lain, bahkan di ranah digital.7

Misinformasi dan berita palsu (fake news) juga menjadi ancaman besar di dunia digital. Perintah “jangan bersaksi dusta” (Perintah Kesembilan, yang terkait erat dengan ini) melarang kebohongan dalam segala bentuk, bahkan jika tidak merugikan orang lain, diperintahkan oleh atasan, atau dilakukan dengan niat baik.8 Alkitab tidak membedakan antara “dusta putih” dan “dusta hitam”; semua kebohongan adalah dosa.8 Di era digital, penyebaran informasi yang salah atau tidak terverifikasi, gosip, dan fitnah dapat menyebabkan kerugian besar.31 Gereja harus menekankan pentingnya kejujuran, integritas, dan tanggung jawab dalam komunikasi daring.8 Umat Kristen dipanggil untuk menjadi saksi kebenaran, berbicara dengan kasih, dan memastikan bahwa perkataan mereka mencerminkan Kristus.31 Hal ini juga mencakup kehati-hatian dalam berbagi informasi dan tidak cepat percaya pada setiap roh, melainkan memeriksa apakah pengalaman rohani sungguh datang dari Allah.39

C. Perintah Ketiga: Kuduskanlah Hari Sabat (Konektivitas Tanpa Henti dan Hari Sabat Digital)

Perintah ini menetapkan hari Sabat sebagai hari perhentian dan penyembahan yang kudus.12 Bagi umat Kristen Protestan, ini mengajarkan pentingnya mengalokasikan waktu untuk beristirahat dan mengalami kehadiran Allah dalam ibadah.12 Motivasi Sabat dalam Perjanjian Lama bervariasi: Keluaran menekankan istirahat Allah dalam penciptaan, sementara Ulangan menekankan pembebasan Israel dari perbudakan.13 Yesus menegaskan kembali tujuan Sabat sebagai hari pembebasan dan kemanusiaan, bukan beban legalistik.36

Di era digital, tantangan utama adalah “konektivitas tanpa henti” (always-on connectivity) yang mengaburkan batas antara pekerjaan dan istirahat, serta kehidupan pribadi dan publik. Platform digital sering dirancang untuk membuat pengguna tetap terlibat, dengan notifikasi dan fitur yang mendorong penggunaan terus-menerus.35 Ini dapat menyebabkan kecanduan teknologi dan media sosial, mengganggu pola tidur, dan mengurangi waktu untuk interaksi tatap muka serta kegiatan spiritual.1

Gereja perlu mengajarkan konsep “Sabat digital” atau “detoks digital” sebagai cara untuk menguduskan waktu di tengah hiruk pikuk daring. Ini melibatkan penetapan batasan yang disengaja dalam penggunaan teknologi untuk memberi ruang bagi istirahat, refleksi, dan penyembahan.36 Ini juga berarti memprioritaskan ibadah dan persekutuan, baik secara fisik maupun daring, sebagai waktu untuk mengalami kehadiran Allah.12 Konsep Sabat digital tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk keluarga dan komunitas gereja, mendorong mereka untuk secara kolektif mempraktikkan jeda dari dunia digital untuk menyegarkan kembali jiwa dan memperdalam hubungan dengan Tuhan dan sesama.36

D. Perintah Keempat: Hormatilah Orang Tuamu (Hubungan Keluarga di Era Digital)

Perintah ini menekankan kewajiban anak untuk menghormati orang tua mereka, sebuah nilai fundamental dalam ajaran Kristen yang menekankan pentingnya hubungan keluarga dan penghormatan terhadap otoritas yang ditetapkan oleh Allah.12 Di era digital, hubungan keluarga menghadapi tantangan baru. Kehadiran teknologi yang terus-menerus dalam kehidupan anak-anak dapat menginvasi banyak fase perkembangan yang seharusnya dicapai secara alami, dan keluarga seringkali tidak menyadari dampak signifikan dan perubahan gaya hidup yang dibawa oleh teknologi hiburan.1 Orang tua juga menghadapi kesulitan dalam mengawasi anak-anak mereka di dunia digital yang luas.1

Menghormati orang tua di era digital berarti anak-anak perlu memahami peran orang tua dalam membimbing penggunaan teknologi yang bijaksana. Orang tua dituntut untuk terus memperbarui pengetahuan mereka tentang teknologi agar dapat memberikan arahan yang tepat kepada anak-anak.1 Ini juga mencakup peran orang tua sebagai teladan dalam penggunaan teknologi yang bertanggung jawab, serta menciptakan kesepakatan dan konsistensi dalam batasan penggunaan perangkat digital di rumah.1 Bagi anak-anak, menghormati orang tua di era digital berarti menghargai bimbingan mereka dalam menavigasi dunia maya, menghindari perilaku yang tidak pantas secara daring yang dapat mencoreng nama baik keluarga, dan tetap memprioritaskan interaksi tatap muka yang berkualitas. Gereja dapat mendukung keluarga dengan menyediakan pendidikan agama Kristen yang relevan, membantu remaja menghadapi tantangan moral daring, dan membentuk karakter yang kuat berdasarkan nilai-nilai Kristen.10

E. Perintah Kelima: Jangan Membunuh (Kekerasan Daring dan Etika Kehidupan)

Perintah “Jangan membunuh” melarang pengambilan nyawa manusia yang tidak sah dan tidak disengaja, menegaskan pentingnya menghormati kehidupan yang diberikan oleh Allah.12 Ini adalah nilai moral mendasar dalam agama Kristen. Di era digital, perintah ini meluas untuk mencakup berbagai bentuk “kekerasan” yang tidak secara fisik mengambil nyawa, namun merusak martabat, kesehatan mental, atau reputasi seseorang.

Cyberbullying adalah manifestasi kekerasan daring yang dapat memiliki dampak psikologis dan emosional yang parah, bahkan mendorong korban untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.10 Meskipun tidak ada kontak fisik, kata-kata atau tindakan daring yang menyakitkan dapat dianggap sebagai bentuk “pembunuhan” karakter atau jiwa. Gereja harus mengajarkan bahwa perintah ini mencakup perlindungan kehidupan dalam segala bentuknya, termasuk kesejahteraan mental dan emosional di ruang digital.41 Ini berarti melarang ujaran kebencian, ancaman, dan perilaku merendahkan lainnya secara daring.

Selain itu, penyebaran konten kekerasan atau pornografi secara daring juga melanggar prinsip menghormati kehidupan dan martabat manusia. Islam, misalnya, sangat melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan melarang segala bentuk pelecehan.43 Meskipun konteksnya berbeda, prinsip umum untuk tidak melakukan kejahatan atau penganiayaan terhadap sesama manusia tetap relevan secara universal.44 Gereja harus mendorong umat untuk menjadi agen perdamaian dan kebaikan di dunia digital, membela mereka yang rentan, dan menolak segala bentuk kekerasan daring, baik secara langsung maupun tidak langsung.

F. Perintah Keenam: Jangan Berzinah (Kesetiaan dan Kemurnian Digital)

Perintah “Jangan berzinah” menekankan pentingnya kesetiaan dalam pernikahan dan larangan terhadap perzinahan.12 Bagi umat Kristen Protestan, ini mengajarkan nilai kesetiaan dan komitmen dalam hubungan pernikahan.12 Yesus bahkan memperdalam perintah ini dengan menyatakan bahwa keinginan nafsu dalam hati sudah merupakan perzinahan (Matius 5:28).45

Di era digital, perintah ini menjadi semakin relevan dan menantang. Pornografi, yang disajikan secara vulgar melalui internet, mudah diakses kapan saja, berkontribusi pada pembentukan pikiran dan keinginan yang tidak murni.45 Paparan konten semacam ini dapat menyebabkan individu jatuh ke dalam dosa perzinahan dalam hati atau pikiran mereka.45 Selain itu, perselingkuhan daring (online infidelity) melalui aplikasi kencan, media sosial, atau platform komunikasi lainnya, juga merupakan pelanggaran terhadap kesetiaan pernikahan.

Gereja harus menekankan pentingnya menjaga kekudusan hidup dan kesetiaan iman di tengah godaan digital. Ini berarti umat harus memiliki pertahanan iman yang kuat untuk menghindari dosa perzinahan dalam bentuk apa pun, baik secara lahiriah maupun dalam pikiran.45 Komitmen untuk hidup seperti Kristus menjadi fondasi bagi kehidupan yang bebas dari dosa perzinahan. Pendidikan seksual yang sehat dan berbasis Alkitab, serta bimbingan tentang penggunaan media digital yang bertanggung jawab, sangat dibutuhkan untuk membekali umat, terutama generasi muda, agar dapat menjaga kemurnian di era yang penuh godaan ini.

G. Perintah Ketujuh: Jangan Mencuri (Pencurian Digital dan Hak Kekayaan Intelektual)

Perintah “Jangan mencuri” menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam kehidupan Kristen, menuntut umat beriman untuk menghormati kepemilikan orang lain.12 Di era digital, konsep pencurian meluas melampaui barang fisik menjadi aset digital dan informasi.

Pencurian identitas digital adalah tindakan di mana seseorang mencuri dan menggunakan informasi pribadi orang lain untuk melakukan penipuan atau aktivitas ilegal.46 Ini dapat terjadi melalui berbagai metode seperti phishing, malware, serangan Man-in-the-Middle (MitM), skimming, social engineering, dan pelanggaran data (data breaches).46 Informasi yang dicuri dapat digunakan untuk membuka akun, mendapatkan kredit, atau melakukan transaksi yang merugikan korban.46 Selain itu, SQL Injection adalah teknik peretasan yang memungkinkan penjahat siber mencuri, mengubah, atau menghapus data sensitif dari basis data.47

Pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI) juga merupakan bentuk pencurian digital. Ini mencakup pembajakan perangkat lunak, musik, film, buku elektronik, dan konten digital lainnya. Di era digital, pelanggaran hak cipta menjadi sangat mudah dilakukan.10 Gereja perlu mengajarkan umat tentang etika digital yang mencakup penghormatan terhadap HKI, penggunaan data pribadi yang bertanggung jawab, dan perlindungan identitas digital.33 Ini berarti menggunakan kata sandi yang kuat, mengaktifkan otentikasi dua faktor, waspada terhadap phishing dan penipuan, serta menggunakan perangkat lunak keamanan yang terbaru.33 Prinsip kejujuran dan integritas harus diterapkan secara konsisten dalam semua transaksi dan interaksi daring.

H. Perintah Kedelapan: Jangan Bersaksi Dusta (Misinformasi dan Integritas Komunikasi)

Perintah “Jangan bersaksi dusta” menuntut kejujuran dalam kesaksian dan komunikasi, mengajarkan pentingnya integritas dan menjauhi kebohongan.12 Perintah ini melarang kebohongan dalam segala bentuk, bahkan jika tidak merugikan orang lain, diperintahkan oleh otoritas, atau dilakukan dengan niat baik.8 Alkitab tidak membuat pembedaan antara “dusta putih” dan “dusta hitam”; semua kebohongan adalah dosa.8

Di era digital, penyebaran misinformasi dan berita palsu (hoaks) menjadi masalah serius yang dapat merusak reputasi, memecah belah masyarakat, dan bahkan memicu kekerasan.7 Media sosial menjadi platform yang sangat efektif untuk penyebaran hoaks karena kecepatan dan jangkauannya yang luas. Gereja harus secara aktif melawan fenomena ini dengan mengajarkan literasi digital dan pemikiran kritis kepada jemaatnya.7 Umat Kristen dipanggil untuk memverifikasi informasi sebelum membagikannya, menghindari gosip dan fitnah, serta berbicara kebenaran dengan kasih.31

Prinsip ini juga berlaku untuk “citra diri” yang disajikan di media sosial. Banyak orang cenderung menampilkan versi ideal dari diri mereka, yang dapat menyebabkan narsisme dan perbandingan sosial yang tidak sehat.34 Gereja harus mendorong otentisitas dan kerendahan hati dalam representasi diri daring, mengingatkan bahwa nilai sejati seseorang tidak ditentukan oleh “jumlah suka” atau pengikut.35 Integritas komunikasi di dunia digital berarti setiap perkataan dan tindakan daring harus mencerminkan karakter Kristus.31

I. Perintah Kesembilan dan Kesepuluh: Jangan Mengingini Milik Orang Lain (Konsumerisme Digital dan Kecemburuan)

Perintah “Jangan mengingini milik orang lain” melarang sikap iri hati terhadap harta atau keberhasilan orang lain, menekankan pentingnya bersyukur atas apa yang dimiliki dan menghindari hasrat yang tidak sehat.12 Tradisi Katolik memisahkan perintah ini menjadi dua: “Jangan mengingini istri sesamamu” (Perintah Kesembilan) dan “Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil” (Perintah Kesepuluh).24 Ini menunjukkan bahwa keinginan yang tidak sehat dapat berfokus pada hubungan (seksual) atau materi.

Di era digital, konsumerisme dan kecemburuan daring diperkuat oleh platform media sosial dan iklan yang terus-menerus menampilkan gaya hidup ideal, produk terbaru, dan “kehidupan sempurna” orang lain.35 Ini dapat memicu sifat-sifat manusia yang kurang menarik seperti ketamakan, agresi, dan egoisme.48 Iklan tidak hanya mencerminkan kebutuhan, tetapi juga membentuk keinginan, menciptakan identitas konsumen yang didasarkan pada apa yang dimiliki.48

Kecemburuan daring (covetousness) adalah sikap hati yang terfokus pada hal-hal duniawi, yang menurut Paulus, “sama dengan penyembahan berhala” (Kolose 3:5).49 Ini tidak hanya berlaku bagi orang kaya, tetapi juga bagi mereka yang kurang mampu, yang mungkin mengingini apa yang tidak mereka miliki.49 Gereja harus mengajarkan umat untuk mengembangkan rasa syukur dan kepuasan atas apa yang telah Allah berikan.49 Ini melibatkan penolakan terhadap budaya konsumerisme digital yang mendorong ketidakpuasan dan pengejaran materi tanpa akhir.48 Gereja dapat membimbing umat untuk menggunakan media sosial dengan bijaksana, membatasi paparan terhadap konten yang memicu kecemburuan, dan berfokus pada nilai-nilai spiritual yang lebih dalam daripada kepemilikan materi atau status daring.

V. Kesimpulan

Dekalog tetap menjadi fondasi moral dan iman yang tak tergantikan bagi gereja di era digital yang disruptif. Meskipun diberikan ribuan tahun yang lalu, prinsip-prinsipnya yang abadi mencerminkan karakter Allah yang kekal dan kudus, menjadikannya kompas etis yang stabil di tengah perubahan teknologi yang cepat dan relativisme nilai.

Analisis ini menunjukkan bahwa Dekalog tidak hanya relevan, tetapi juga esensial untuk membimbing umat Kristen dalam menavigasi kompleksitas dunia digital. Perintah-perintah yang mengatur hubungan vertikal dengan Allah (monoteisme, penghormatan nama Tuhan, pengudusan Sabat) menjadi dasar bagi integritas spiritual di dunia maya, menantang godaan idolatry digital, ujaran kebencian, dan kecanduan konektivitas. Sementara itu, perintah-perintah yang mengatur hubungan horizontal dengan sesama (menghormati orang tua, larangan membunuh, berzinah, mencuri, bersaksi dusta, dan mengingini) memberikan kerangka kerja untuk etika digital yang bertanggung jawab, mengatasi masalah cyberbullying, perzinahan daring, pencurian identitas, misinformasi, dan konsumerisme digital.

Penyempurnaan Dekalog oleh Yesus Kristus menjadi hukum kasih adalah kunci untuk aplikasi yang transformatif di era digital. Kasih bukan sekadar aturan tambahan, melainkan “algoritma” yang mengarahkan setiap interaksi daring, mendorong empati, pengampunan, dan pembangunan kedamaian bahkan di ruang digital yang paling antagonis. Perbedaan penomoran Dekalog antar tradisi juga menunjukkan fleksibilitas interpretasi yang diperlukan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam konteks yang beragam, tanpa mengorbankan kebenaran inti.

Gereja memiliki peran krusial dalam mendidik umatnya tentang etika digital ini. Ini melibatkan:

  1. Pendidikan Literasi Digital: Membekali jemaat dengan kemampuan untuk memilah informasi, mengenali disinformasi, dan berpikir kritis.
  2. Pembentukan Karakter Digital: Mengajarkan otentisitas, kerendahan hati, dan tanggung jawab dalam representasi diri dan interaksi daring.
  3. Penetapan Batasan Sehat: Mendorong praktik “Sabat digital” dan manajemen waktu yang bijaksana untuk menyeimbangkan kehidupan daring dan luring.
  4. Penekanan pada Kasih: Mengajarkan kasih sebagai motivasi utama di balik setiap tindakan daring, mengubah interaksi digital menjadi ekspresi spiritualitas Kristen.
  5. Kolaborasi Antardisiplin: Mengintegrasikan teologi, filsafat, dan pemikiran teknologi untuk menghasilkan panduan yang komprehensif dan relevan.

Dengan menjadikan Dekalog sebagai fondasi moral dan iman, gereja dapat tidak hanya bertahan di era digital yang disruptif, tetapi juga menjadi terang yang memimpin umatnya untuk hidup secara etis, otentik, dan transformatif di lanskap teknologi yang terus berkembang.

Karya yang dikutip

  1. (PDF) Peran Orang Tua di Era Digital – ResearchGate, diakses Juni 8, 2025, https://www.researchgate.net/publication/346169176_Peran_Orang_Tua_di_Era_Digital
  2. Strategi Keterlibatan Orang Tua dalam Pendidikan Anak di Era Digital, diakses Juni 8, 2025, https://journal.aripafi.or.id/index.php/jbpakk/article/download/551/843/3093
  3. MISI GEREJA DI ERA DIGITAL: PEMANFAATAN TEKNOLOGI …, diakses Juni 8, 2025, https://jkm.my.id/index.php/komunikasi/article/view/14
  4. USE OF SOCIAL MEDIA BY LEADERS OF CHARISMATIC CHURCHES IN GHANA – UNL Digital Commons, diakses Juni 8, 2025, https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=10102&context=libphilprac
  5. TINJAUAN TEOLOGIS: DIGITALISASI DAN … – tentang jurnal, diakses Juni 8, 2025, https://humanisa.my.id/index.php/hms/article/download/287/342
  6. Jason Thacker (ed.), The digital public square: Christian ethics in a technological society, diakses Juni 8, 2025, https://philpapers.org/rec/THATDP
  7. The Ethics of Hate Speech in Digital Communication – Number Analytics, diakses Juni 8, 2025, https://www.numberanalytics.com/blog/ethics-hate-speech-digital-communication
  8. Kebaktian – Golgotha Ministry, diakses Juni 8, 2025, https://golgothaministry.org/fk/fk_27.htm
  9. Social Media and Church Communication The role of modern technology in transformation of church interactions – DUO, diakses Juni 8, 2025, https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/69125/1/CONT-4602-MASTER-THESIS-CAND–NO-114002.pdf
  10. Menyikapi Tantangan Pendidikan Agama … – STAK DIASPORA, diakses Juni 8, 2025, https://e-journal.stakdiaspora.ac.id/index.php/JAK/article/download/171/pdf
  11. Mempelajari Makna Teologis Sepuluh Perintah Allah bagi Umat Kristen (Keluaran 20:1-17) – Journal of Education Research, diakses Juni 8, 2025, https://jer.or.id/index.php/jer/article/download/1896/1037/8866
  12. Mengenal Hukum Taurat 1-10 Kristen Protestan sebagai Perintah …, diakses Juni 8, 2025, https://m.kumparan.com/berita-terkini/mengenal-hukum-taurat-1-10-kristen-protestan-sebagai-perintah-allah-22TxoB6I8nK
  13. DEKALOG DAN PERJANJIAN YANG BARU (UL. 5:6-21; KEL. 20:1-17, diakses Juni 8, 2025, https://journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/download/314/248/
  14. 10 Hukum Taurat, Perintah Allah Kepada Manusia | kumparan.com, diakses Juni 8, 2025, https://kumparan.com/berita-hari-ini/10-hukum-taurat-perintah-allah-kepada-manusia-1v6ZXzVdc7t
  15. (PDF) Aspek Teologis dan Aplikatif Dasa Titah – ResearchGate, diakses Juni 8, 2025, https://www.researchgate.net/publication/340737395_Aspek_Teologis_dan_Aplikatif_Dasa_Titah
  16. Merdeka dari Penyembahan Berhala – Elohim Ministry, diakses Juni 8, 2025, https://elohim.id/merdeka-dari-penyembahan-berhala/
  17. Injil dan hukum Taurat (1) – GBI Danau Bogor Raya, diakses Juni 8, 2025, https://dbr.gbi-bogor.org/wiki/Article:20241208/RK
  18. Telaah buku “Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam” – ejournal UIN Raden Intan Lampung, diakses Juni 8, 2025, https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/ijitp/article/view/22100/7111
  19. Intip 10 Perintah Allah yang Wajib Kamu Ketahui, diakses Juni 8, 2025, https://jurnal.universitaskebangsaan.ac.id/10-perintah-allah/
  20. Peran Roh Kudus dalam Penginjilan Virtual di Era Digital, diakses Juni 8, 2025, https://e-journal.sttharvestsemarang.ac.id/index.php/harvester/article/download/220/pdf
  21. PESAN-PESAN MORAL DALAM ALQURAN, diakses Juni 8, 2025, http://repository.uinsu.ac.id/14861/1/BUKU-PESAN2%20MORAL%20DALAM%20AL-QURAN%20FINAL.pdf
  22. Sepuluh Perintah Allah | PDF | Filsafat – Scribd, diakses Juni 8, 2025, https://id.scribd.com/doc/111807672/Sepuluh-Perintah-Allah
  23. Sepuluh Perintah Allah (Kel. 20:1-17) | Keuskupan Agung Jakarta, diakses Juni 8, 2025, https://www.kaj.or.id/dokumen/pokok-pokok-iman/sepuluh-perintah-allah-kel-201-17
  24. Mengapa Ada Perbedaan 10 Perintah Allah: Versi Katolik dan Versi …, diakses Juni 8, 2025, https://katolisitas.org/mengapa-ada-perbedaan-10-perintah-allah-versi-katolik-dan-versi-non-katolik/
  25. 3 Ways to Number the Ten Commandments (& Which Is Right), diakses Juni 8, 2025, https://www.logos.com/grow/hall-number-ten-commandments/
  26. 10 Perintah Allah untuk Manusia yang Wajib Diketahui Umat Katolik – detikcom, diakses Juni 8, 2025, https://www.detik.com/jogja/berita/d-7521906/10-perintah-allah-untuk-manusia-yang-wajib-diketahui-umat-katolik
  27. 2808-5418 – PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MEMBENTUK …, diakses Juni 8, 2025, https://www.adisampublisher.org/index.php/edu/article/download/1022/1065/2034
  28. Sepuluh Perintah Allah – Dari Kitab Suci sampai Tradisi — WKICU …, diakses Juni 8, 2025, https://www.wkicu.org/bulletin/sharing-dari-romo/2020/6/6/sepuluh-perintah-allah
  29. The Truth About Tongues: What Most Churches Aren’t Telling You – Charisma Magazine, diakses Juni 8, 2025, https://mycharisma.com/spiritled-living/the-truth-about-tongues-what-most-churches-arent-telling-you/
  30. 1 Korintus 13:8-13 TB – Bible.com, diakses Juni 8, 2025, https://www.bible.com/id/bible/306/1CO.13.8-13.TB
  31. A Christian Code of Ethics for Using Social Media – The Anglican Church in North America, diakses Juni 8, 2025, https://anglicanchurch.net/a-christian-code-of-ethics-for-using-social-media/
  32. Beyond the Language: Sebuah Studi Analisis Dan Komparasi antara Konsep Bahasa Roh dalam Teologi Pentakosta dengan Konsep Rede dalam Filsafat Martin Heidegger | Layantara | DUNAMIS, diakses Juni 8, 2025, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/dunamis/article/view/207
  33. Identitas Digital: Jenis, Ancaman, dan Cara Melindunginya, diakses Juni 8, 2025, https://digitalcitizenship.id/pengetahuan-dasar/identitas-digital
  34. 3 Ciri Berhala Modern, Adakah di Hidup Kita? – Gereja GKDI – gkdi.org, diakses Juni 8, 2025, https://gkdi.org/blog/berhala-modern/
  35. Slow to Speak: Biblical Wisdom for Social Media, diakses Juni 8, 2025, https://wm.wts.edu/read/slow-to-speak-biblical-wisdom-for-social-media
  36. Dekalog 10 Perintah Allah | PDF – Scribd, diakses Juni 8, 2025, https://id.scribd.com/doc/285221380/Dekalog-10-Perintah-Allah
  37. EDUKATIF: JURNAL ILMU PENDIDIKAN Penggunaan Teknologi …, diakses Juni 8, 2025, https://edukatif.org/edukatif/article/download/2883/pdf
  38. 1 BAB II LANDASAN TEORI A. Teknologi, Teologi dan Ibadah 1 …, diakses Juni 8, 2025, http://digilib-iakntoraja.ac.id/2363/5/adheline_bab_2.pdf
  39. Artikel Penuntun – BERKATA-KATA DENGAN BAHASA ROH – Alkitab SABDA, diakses Juni 8, 2025, https://alkitab.sabda.org/article.php?id=8450
  40. Gereja Menyikapi Arus Globalisasi Digital – Jurnal STT Iman Jakarta, diakses Juni 8, 2025, https://e-journal.sttiman.ac.id/index.php/efata/article/download/54/41
  41. Thou Shalt Not Kill? – Christ Reformed Church of Alexandria, diakses Juni 8, 2025, https://crcalexandria.org/thou-shalt-not-kill/
  42. Q69. What is forbidden in the sixth commandment? – The Reformed Classicalist, diakses Juni 8, 2025, https://www.reformedclassicalist.com/home/q-69-what-is-forbidden-in-the-sixth-commandment
  43. Islam Melindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual – Jurusan Informatika – Fakultas Teknologi Industri, diakses Juni 8, 2025, https://informatics.uii.ac.id/2021/12/17/islam-melindungi-perempuan-dari-kekerasan-seksual/
  44. AYAT-AYAT ANTI KEKERASAN DALAM SEPULUH PERINTAH …, diakses Juni 8, 2025, https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/el-umdah/article/download/3709/1818
  45. (PDF) Jangan Berzinah (Hukum yang tak pernah lekang oleh waktu), diakses Juni 8, 2025, https://www.researchgate.net/publication/337591557_Jangan_Berzinah_Hukum_yang_tak_pernah_lekang_oleh_waktu
  46. Bagaimana Pencurian Identitas Terjadi di Dunia Digital? – UTI-TTIS, diakses Juni 8, 2025, https://csirt.teknokrat.ac.id/bagaimana-pencurian-identitas-terjadi-di-dunia-digital/
  47. SQL Injection: Mencuri Data dengan Menginjeksi Kode Berbahaya – PuskoMedia Indonesia, diakses Juni 8, 2025, https://www.puskomedia.id/blog/sql-injection-mencuri-data-dengan-menginjeksi-kode-berbahaya/
  48. Discovering Our True Identity – Institute for Faith and Learning, diakses Juni 8, 2025, https://ifl.web.baylor.edu/sites/g/files/ecbvkj771/files/2022-11/consumerismarticlemedley.pdf
  49. Have You Ever Noticed that “Love It” Rhymes with Covet? – Church Bulletin Inserts, diakses Juni 8, 2025, https://bulletininserts.org/have-you-ever-noticed-that-love-it-rhymes-with-covet/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!