Ekoteologi Digital: Menjelajahi Mandat Imago Dei dalam Pengelolaan Lingkungan di Era Teknologi

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.

Abstrak

Artikel ini membahas bidang Ekoteologi Digital yang sedang berkembang, mengkaji bagaimana konsep teologis Imago Dei (Gambar Allah) menyediakan mandat fundamental bagi pengelolaan lingkungan oleh manusia di era digital.

Dengan mengacu pada prinsip-prinsip ekologi alkitabiah dan diskursus teologi digital yang terus berkembang, artikel ini menyelidiki potensi sinergis dan tantangan yang melekat dari integrasi iman, etika, dan teknologi digital untuk keberlanjutan lingkungan.

Pembahasan mendalami kapasitas kreatif dan dominasi bertanggung jawab yang diberikan Tuhan kepada manusia, menganalisis panggilan alkitabiah untuk “Earthkeeping” dan “Sabbath” bagi ciptaan, serta secara kritis menilai dampak transformatif teknologi digital terhadap praktik keagamaan dan keterlibatan lingkungan.

Lebih lanjut, artikel ini menyoroti aplikasi praktis alat digital untuk pemantauan lingkungan, pendidikan, dan advokasi, sekaligus membahas pertimbangan etis yang krusial seperti privasi data, bias algoritmik, dan jejak lingkungan digital.

Pada akhirnya, artikel ini mengusulkan kerangka kerja holistik untuk pendekatan yang berlandaskan teologi dan bertanggung jawab secara teknologi terhadap pemeliharaan lingkungan, menganjurkan tindakan kolaboratif di antara berbagai pemangku kepentingan untuk mendorong masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil.

1. Pendahuluan: Membingkai Ekoteologi Digital dalam Konteks Krisis Lingkungan dan Transformasi Digital

Dunia saat ini dihadapkan pada krisis lingkungan yang kompleks, ditandai oleh fenomena global seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi ekosistem yang meluas. Krisis ini menuntut respons multidimensional yang melampaui batas-batas disipliner tradisional, termasuk dari perspektif teologis dan etis. Secara paralel, revolusi digital telah mengubah lanskap sosial, ekonomi, dan bahkan spiritual manusia secara fundamental, menciptakan “era baru di mana kekuatan teknologi menempatkan kita di persimpangan jalan”.1

Perubahan ini menghadirkan baik peluang maupun tantangan yang belum pernah ada sebelumnya bagi hubungan manusia dengan lingkungan dan pemahaman mereka tentang peran ilahi mereka di dalamnya.

Dalam konteks inilah Ekoteologi Digital muncul sebagai bidang studi yang krusial. Bidang ini berupaya memahami “hubungan antara agama, etika, dan teknologi digital dalam konteks lingkungan dan keberlanjutan” .

Ini melibatkan pemahaman mendalam tentang bagaimana teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan, serta bagaimana nilai-nilai agama dan etika dapat membimbing penggunaan teknologi yang bertanggung jawab untuk menjaga bumi . Ekoteologi Digital, sebagai bagian dari ekologi digital yang lebih luas, secara khusus menekankan dimensi etika dan agama dalam interaksi antara sistem digital dan lingkungan alam .

Integrasi perspektif teologis, ekologis, dan digital sangat penting untuk mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif dalam mengatasi tantangan lingkungan. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada solusi teknis semata, tetapi juga pada transformasi nilai dan perilaku manusia.

Pendekatan berbasis agama, khususnya, memiliki potensi untuk memberikan “motivasi moral dan spiritual yang kuat untuk tindakan lingkungan” 2, menginspirasi komunitas untuk berpartisipasi aktif dalam konservasi.2

Analisis ini akan mengeksplorasi bagaimana konsep Imago Dei, sebagai fondasi teologis identitas dan tujuan manusia, dapat diartikulasikan kembali dalam konteks ekologi dan teologi digital untuk mendorong pengelolaan bumi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

Kebutuhan akan kerangka etis-teologis yang komprehensif di era Antroposen digital menjadi semakin mendesak. Teknologi digital memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memfasilitasi komunikasi, analisis data, dan manajemen.3 Namun, pada saat yang sama, teknologi ini juga memiliki jejak lingkungan yang signifikan 4 dan menimbulkan tantangan etis yang serius, termasuk masalah privasi data, aksesibilitas, bias algoritmik, dan dampak sosial yang luas.10

Ajaran agama, di sisi lain, telah lama menyediakan dasar etika yang kokoh untuk tanggung jawab lingkungan.2 Konvergensi krisis lingkungan dan transformasi digital menempatkan umat manusia dalam apa yang dapat disebut sebagai “Antroposen digital.”

Dalam kondisi ini, jika tidak dipandu oleh kerangka kerja etis dan teologis yang kuat, alat-alat digital yang seharusnya membantu keberlanjutan lingkungan justru dapat memperburuk masalah, misalnya melalui peningkatan konsumsi energi, produksi limbah elektronik, atau bias algoritmik yang berdampak pada keadilan lingkungan.

Oleh karena itu, pendekatan yang hanya mengandalkan solusi teknologi tidaklah memadai. Ekoteologi Digital tidak hanya tentang bagaimana menggunakan teknologi untuk lingkungan, tetapi yang lebih penting, bagaimana membimbing secara etis penggunaannya, memastikan bahwa teknologi selaras dengan nilai-nilai agama yang mendalam tentang pengelolaan dan keadilan. Ini menuntut keterlibatan teologis yang proaktif dengan teknologi itu sendiri, bukan sekadar respons reaktif, untuk membentuk masa depan digital yang bertanggung jawab bagi planet ini.

2. Imago Dei: Fondasi Teologis Mandat Manusia atas Ciptaan

Konsep Imago Dei, atau Gambar Allah, yang berakar dalam Kitab Kejadian 1:26-27, merupakan doktrin fundamental dalam teologi Kristen dengan implikasi yang mendalam bagi pemahaman tentang identitas, nilai, dan tujuan manusia.13 Konsep ini menekankan martabat inheren manusia, kapasitas unik untuk menjalin hubungan, dan anugerah kreativitas yang diberikan oleh Tuhan.13

Manusia diciptakan “dalam gambar dan rupa Allah” (b’tselem elohim), yang menandakan bahwa Pencipta telah menganugerahkan pada manusia fakultas rasional, moral, dan kreatif yang membedakan mereka dari ciptaan lainnya.14

Sebagai pemegang Imago Dei, manusia diberi peran istimewa sebagai wakil, duta, dan pengelola (steward) ciptaan Tuhan di bumi.13 Mandat ini tidak memberikan lisensi untuk eksploitasi tanpa batas, melainkan menuntut refleksi karakter moral Allah dalam pengelolaan bumi.13

Manusia dipercayakan dengan tanggung jawab untuk mengelola dan memelihara ciptaan, bertindak sebagai agen atau duta Allah, serta mencerminkan dominasi-Nya yang bijaksana.14 Ini juga menggarisbawahi kapasitas unik manusia untuk berada dalam hubungan perjanjian yang intim, tidak hanya dengan Sang Pencipta tetapi juga dengan sesama manusia.14

Implikasi teologis dari Imago Dei sangat luas. Pertama, konsep ini menetapkan kesucian hidup manusia, memberikan dasar yang kuat untuk etika kehidupan. Kedua, Imago Dei menjadi landasan bagi perilaku etis secara umum. Ketiga, dan yang paling relevan untuk pembahasan ini, konsep ini memotivasi manusia—terutama manusia yang telah ditebus—untuk menjadi pengelola ciptaan yang setia dan bertanggung jawab.13

Pada dasarnya, Imago Dei menanamkan makna dan tujuan inheren pada umat manusia: untuk mengenal Allah, mengelola ciptaan-Nya secara bertanggung jawab, dan memanifestasikan karakter-Nya yang kudus di dunia.14

Dalam konteks pengelolaan bumi, Imago Dei dapat dipahami melalui dua interpretasi utama yang saling melengkapi:

  • Interpretasi Fungsional/Representasional: Pandangan ini mengartikan “gambar Allah” sebagai peran dan fungsi manusia sebagai wakil Allah di bumi. Manusia dipercayakan dengan tanggung jawab untuk mengelola dan memelihara ciptaan, di mana mereka bertindak sebagai agen atau duta Allah, serta mencerminkan dominasi-Nya. Dalam pandangan ini, “gambar” lebih mengacu pada peran atau fungsi daripada penampilan fisik.14
  • Interpretasi Substantif: Pandangan ini menekankan “keserupaan” dengan Allah dalam atribut non-fisik. Ini menunjukkan bahwa manusia berbagi kualitas tertentu dengan Allah, seperti akal, kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreativitas. “Keserupaan” ini mencerminkan sifat non-jasmani Allah, meskipun manusia adalah jiwa yang berwujud.14

Kedua pandangan ini saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Fungsi dan kemampuan manusia, seperti akal dan kreativitas, melengkapi mereka untuk menjadi pengelola yang cakap. Kemampuan untuk merencanakan, memecahkan masalah, dan mengelola dunia ciptaan sesuai dengan tujuan Allah adalah cerminan dari atribut ilahi ini.14 Hubungan manusia dengan Tuhan membentuk kompas moral mereka, yang pada gilirannya membimbing bagaimana mereka mengelola ciptaan dengan bijaksana dan bertanggung jawab.14

Meskipun Imago Dei tercemar oleh dosa, ia tidak hancur.14 Perjanjian Baru menegaskan bahwa Kristus, yang adalah gambar Allah yang sempurna, memulihkan dalam manusia yang ditebus apa yang terdistorsi pada Kejatuhan.14 Ketika orang percaya diubah menjadi serupa dengan Kristus oleh Roh Kudus, tujuan asli untuk mencerminkan gambar Allah menemukan pemenuhan yang lebih besar dan tertinggi.14

Ini menjadi konsep pemersatu yang kuat untuk teologi Kristen, etika, dan pemahaman tentang identitas serta panggilan manusia.14 Restorasi ini sangat relevan bagi tindakan ekologis yang bertanggung jawab, karena ia mengembalikan kapasitas manusia untuk memenuhi mandat pengelolaan mereka dengan integritas dan tujuan ilahi.

Pemahaman tentang Imago Dei sebagai sumber otoritas dan tanggung jawab, bukan dominasi eksploitatif, adalah inti dari etika lingkungan. Konsep-konsep seperti “dominasi,” “wakil,” “duta,” dan “pengelola” yang sering muncul dalam pembahasan Imago Dei 13 dapat disalahartikan sebagai izin untuk eksploitasi. Namun, interpretasi yang lebih dalam menunjukkan bahwa “dominasi” (radah) mengacu pada peran atau fungsi, bukan penampilan fisik, dan bersama dengan “menjaga” (shamar), menekankan peran pemeliharaan yang seimbang dan penuh perhatian, jauh dari dukungan terhadap dominasi eksploitatif.14

Martabat inheren, rasionalitas, dan kreativitas yang dianugerahkan melalui Imago Dei 14 tidak dimaksudkan untuk eksploitasi diri sendiri, tetapi untuk mencerminkan karakter Allah dalam pemeliharaan dan pengelolaan ciptaan.13

Interpretasi fungsional Imago Dei secara langsung menghubungkan identitas manusia dengan peran pengelolaan ini. Oleh karena itu, pemahaman yang kuat tentang Imago Dei memberikan narasi teologis yang berlawanan dengan eksploitasi antroposentris. Ini menetapkan bahwa otoritas manusia atas ciptaan adalah tanggung jawab yang didelegasikan, bersifat keimamatan, dan kerajaan untuk melayani dan menjaga bumi, mencerminkan pemeliharaan Allah sendiri yang berkelanjutan.16 Prinsip ini membentuk dasar etika yang kokoh untuk tindakan ekoteologis, menggeser paradigma dari ‘mendominasi’ menjadi ‘mengelola demi’ ciptaan.

3. Ekologi dalam Perspektif Alkitabiah: Prinsip-prinsip Pengelolaan Lingkungan yang Bertanggung Jawab

Alkitab menyediakan prinsip-prinsip yang kaya dan mendalam mengenai hubungan manusia dengan lingkungan, membentuk dasar bagi etika pengelolaan yang bertanggung jawab. Dua prinsip utama yang menonjol adalah “Earthkeeping” dan “Sabbath.”

Prinsip “Earthkeeping” (Shamar)

Prinsip “Earthkeeping” berakar pada Kejadian 2:15, di mana Adam diperintahkan untuk “melayani dan menjaga taman”.16 Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “menjaga” adalah “shamar,” yang memiliki makna pemeliharaan yang penuh kasih, peduli, dan berkelanjutan.16 Konsep ini tidak sekadar berarti menjaga agar sesuatu tetap utuh, tetapi lebih pada memelihara vitalitas, energi, dan keindahan, serta semua hubungan yang menopang kehidupan—dengan keluarga, tetangga, tanah, makhluk hidup, udara, air, dan Tuhan.16 Sebagai contoh, berkat Harun dalam Bilangan 6:24, “Tuhan memberkati dan menjaga engkau,” menggunakan kata “shamar” untuk menggambarkan pemeliharaan Allah yang aktif dan penuh kehidupan.16

Dalam konteks ciptaan, “shamar” berarti memastikan bahwa makhluk dan ekosistem di bawah pemeliharaan manusia dijaga dengan koneksi yang tepat. Ini mencakup hubungan antar anggota spesies yang sama, dengan berbagai spesies lain yang berinteraksi, serta dengan tanah, udara, dan air yang menjadi sandaran mereka.16 Pemeliharaan yang diharapkan dari manusia terhadap ciptaan harus mencerminkan pemeliharaan yang kaya dan penuh yang diharapkan dari Allah terhadap umat-Nya, menjadikannya tindakan yang memuliakan Sang Pencipta.16

Prinsip “Sabbath”

Prinsip “Sabbath” meluas melampaui istirahat mingguan bagi manusia dan hewan, mencakup juga istirahat bagi tanah. Keluaran 20 dan Ulangan 5 mensyaratkan satu hari dalam tujuh untuk istirahat bagi manusia dan hewan, sementara Keluaran 23 secara spesifik memerintahkan tanah untuk beristirahat dan dibiarkan kosong pada tahun ketujuh.16 Pada tahun ketujuh ini, tanah dibiarkan tidak ditanami dan hasilnya dapat dimakan oleh orang miskin dan binatang liar.16 Imamat 25 dan 26 lebih lanjut meyakinkan bahwa Allah akan menyediakan berkat yang cukup pada tahun keenam untuk tiga tahun, sehingga tidak perlu khawatir tentang kekurangan makanan selama tahun Sabat.16

Prinsip Sabat ini melindungi tanah dari eksploitasi tanpa henti, memungkinkannya untuk beregenerasi, memulihkan diri, dan mendapatkan kembali keseimbangannya.16 Ini bukan sekadar persyaratan legalistik, melainkan prinsip yang mendalam yang berlaku untuk seluruh ciptaan.16 Imamat 26 memperingatkan konsekuensi jika perintah ini tidak diikuti, menyatakan bahwa tanah akan menjadi tandus dan akan “menikmati tahun-tahun sabatnya” selama ia terlantar, mendapatkan istirahat yang tidak didapatnya selama manusia hidup di atasnya.16

Prinsip Sabat ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan batas ekologis dan kedaulatan ilahi atas ciptaan. Mandat istirahat bagi tanah menyiratkan bahwa ciptaan memiliki hak inheren untuk beristirahat dan memulihkan diri, terlepas dari kegunaannya bagi manusia.16

Hal ini menantang pandangan antroposentris yang melihat alam semata-mata sebagai sumber daya untuk eksploitasi manusia. Gagasan bahwa tanah akan “menikmati tahun-tahun sabatnya” 16 menunjukkan tujuan teleologis bagi ciptaan di luar penggunaan manusia. Oleh karena itu, Prinsip Sabat berfungsi sebagai mekanisme teologis yang mendalam untuk menetapkan batas-batas ekologis dan mengakui kepemilikan dan kedaulatan tertinggi Allah atas ciptaan (“bumi adalah milik Tuhan, dan segala isinya,” Mazmur 24:1, dikutip dalam 15).

Prinsip ini menyerukan kerendahan hati dalam interaksi manusia dengan lingkungan, mengakui bahwa eksploitasi tanpa henti tidak hanya merugikan alam tetapi juga melanggar ketetapan ilahi, yang pada akhirnya menyebabkan konsekuensi yang ditimbulkan sendiri, sebagaimana digambarkan dalam Imamat.16 Prinsip ini sangat penting untuk mengembangkan ekoteologi berkelanjutan yang menghormati nilai intrinsik dan kapasitas regeneratif alam.

Konsep “Creation Care” dan Teologi Dua Buku

“Creation Care” (Pemeliharaan Ciptaan) adalah pandangan teologis yang menolak gagasan bahwa lingkungan adalah komoditas yang dapat dieksploitasi sesuka hati.17 Fondasi teologisnya adalah pengakuan akan Allah sebagai pencipta, pemelihara, dan penebus segala sesuatu.17 Injil Yohanes 1:1-3 dan Kolose 1:19-20 menegaskan peran Yesus Kristus sebagai pencipta, pemelihara, dan penebus segala sesuatu.17 Mencintai Allah dan Yesus berarti tidak menghancurkan ciptaan-Nya yang telah dinyatakan baik dan ada untuk memuliakan-Nya.17

Konsep “Two Books Theology” (Teologi Dua Buku) semakin banyak dibahas dalam literatur, media, dan lingkungan akademik.17 Paradigma ini menyatakan bahwa Allah dapat dikenal tidak hanya melalui Firman-Nya yang tertulis (Alkitab) tetapi juga melalui karya-karya-Nya (alam semesta).17 Rasul Paulus dalam Roma 1:20 dengan jelas menyatakan bahwa kuasa kekal dan sifat ilahi Allah, meskipun tidak terlihat, telah dipahami dan dilihat melalui hal-hal yang telah Ia buat sejak penciptaan dunia.17 Bapa-bapa Gereja awal seperti Ireneus (ca. 120 – 200 M) dan Agustinus (ca. 354 – 430 M) juga menganjurkan apresiasi terhadap ciptaan Allah sebagai jalan menuju pengetahuan tentang Tuhan, dengan Agustinus menyatakan, “Beberapa orang, untuk menemukan Tuhan, membaca buku. Tetapi ada sebuah buku besar: penampilan ciptaan itu sendiri. Lihatlah di atasmu! Lihatlah di bawahmu! Bacalah itu”.17

Meskipun prinsip-prinsip alkitabiah ini jelas, terdapat ketegangan antara teologi alkitabiah dan praktik Kristen kontemporer. Banyak orang Kristen saat ini berpandangan bahwa lingkungan (ciptaan Allah) adalah komoditas yang dapat dieksploitasi, yang diberikan kepada manusia untuk digunakan sesuka hati.17 Pandangan ini secara langsung bertentangan dengan Prinsip “Earthkeeping” dan “Sabbath” 16, konsep “Creation Care” 17, dan esensi Imago Dei sebagai pengelolaan yang bertanggung jawab.13

Adanya perbedaan ini menyoroti kesenjangan signifikan antara prinsip-prinsip dasar alkitabiah dan teologis tentang tanggung jawab lingkungan dengan keyakinan dan praktik yang berlaku di beberapa segmen Kekristenan. Kesenjangan ini dapat menyebabkan kelambanan atau bahkan praktik lingkungan yang merugikan.

“Teologi Dua Buku” 17 disajikan sebagai cara untuk menjembatani kesenjangan ini dengan menekankan wahyu Allah melalui ciptaan, yang seharusnya mengarah pada apresiasi dan pemeliharaan yang lebih besar. Tantangan bagi Ekoteologi Digital bukan hanya memperkenalkan solusi teknologi baru, tetapi juga mengatasi inkonsistensi teologis dan etis yang mendasari dalam komunitas iman.

Ini berarti secara aktif harus mengedukasi ulang dan menyadarkan kembali orang percaya akan mandat alkitabiah mereka untuk pengelolaan, memanfaatkan alat digital tidak hanya untuk tindakan, tetapi juga untuk pembentukan teologis dan pergeseran paradigma dari antroposentrisme eksploitatif menuju “Creation Care” yang lebih selaras dengan Alkitab. Ini menyiratkan bahwa platform digital dapat digunakan untuk menyebarkan prinsip-prinsip alkitabiah inti ini secara lebih luas dan efektif.

4. Teologi Digital: Memahami Realitas Keagamaan di Era Digital

Teologi Digital adalah bidang studi yang muncul sebagai respons terhadap transformasi lanskap sosial dan spiritual manusia oleh teknologi digital, khususnya Internet of Things (IoT).

Bidang ini berupaya menafsirkan kembali “hal-hal yang berkaitan dengan keilahian, manusia, dan gereja sebagai sarana regulasi diri dan peningkatan” dalam konteks digital.3 Teknologi digital secara fundamental mengubah makna menjadi manusia, dan lebih spesifik lagi, menjadi manusia religius atau spiritual, dalam sebuah proses yang dianggap “tidak dapat diubah”.18

Ini melibatkan pemahaman bagaimana Allah telah menyatakan Diri-Nya baik secara spesifik maupun umum melalui Firman-Nya dan dunia ciptaan, termasuk dalam pengembangan teknologi dan kecerdasan manusia.3

Pergeseran Paradigma dalam Interaksi Manusia dan Komunitas Keagamaan secara Virtual

Sifat jaringan manusia secara virtual di dunia saat ini menuntut pergeseran paradigma karena secara fundamental berbeda dari interaksi sosial konvensional dan langsung.3 Jaringan hubungan manusia yang terintegrasi ini, yang umum dalam IoT, telah menarik perhatian para teolog klasik.3

Gereja-gereja juga semakin melihat internet sebagai ruang dan sarana evangelisasi.1 Akses tak terbatas dan cepat terhadap informasi yang ditawarkan internet 3 serta efisiensi yang ditingkatkan oleh IoT dalam manajemen kerja 3 menyajikan peluang signifikan bagi praktik keagamaan.

Tantangan dan Peluang Teologi Digital terhadap Konsep Tradisional

Teologi Digital menghadapi berbagai tantangan dan peluang dalam menafsirkan ulang konsep-konsep teologis tradisional:

  • Persekutuan (Koinonia): Teologi digital mempertanyakan bagaimana “persekutuan” dapat direalisasikan dalam pengalaman sehari-hari di era internet, menuntut pergeseran persepsi.3 Meskipun komunitas
    offline yang sudah ada dapat memperkuat ikatan jika mereka juga memiliki hubungan online (misalnya, grup Facebook), bentuk persekutuan digital baru tidak dapat sepenuhnya menggantikan interaksi normatif yang dapat diamati dalam Kitab Suci.1
  • Identitas Gereja: IoT mendorong gereja untuk mendefinisikan ulang makna teologis di balik identitas mereka sebagai “gereja” dan mempertimbangkan bagaimana mereka akan berfungsi di dunia saat ini.3 Pertanyaan serius muncul mengenai administrasi sakramen atau tata ibadah secara
    online atau virtual, yang menimbulkan banyak pertanyaan mengenai kepatutan dan kebenaban alkitabiah.3
  • Otoritas Moral dan Antropologi Kristen: Kehadiran internet dan IoT menimbulkan masalah moral dan etika yang berpotensi bertentangan dengan pandangan dunia Kristen.3 Ada kekhawatiran tentang “kemiskinan spiritual” dan fragmentasi online yang tidak memberi makan komunitas kemanusiaan yang nyata.1 Paus Fransiskus dalam ensikliknya Laudato Si’ (2015) menekankan bahwa objek yang dihasilkan teknologi tidak netral dan dapat mengkondisikan gaya hidup, bahkan mendominasi logika kita.1 Dokumen Vatikan Antiqua et nova (Pope Francis 2025) memperingatkan bahwa Kecerdasan Buatan (AI) tidak boleh memperdalam ketidaksetaraan sosial dan bukan agen moral, sehingga tidak boleh menggantikan manusia dalam pengambilan keputusan karena akan menjauhkan kita dari etika.1
  • Peluang: Di sisi lain, internet menawarkan akses informasi yang tak terbatas dan cepat.3 IoT memudahkan orang untuk menjadi produktif melalui jaringan dan pendekatan manajemen kerja yang lebih efisien.3 Teknologi digital dapat digunakan untuk “proklamasi atau dukungan dalam iman (misalnya, aplikasi untuk berdoa)”.1

Paradoks digital, yang mempertemukan kemudahan akses dengan potensi kemiskinan spiritual dan fragmentasi komunitas, merupakan isu sentral dalam Teologi Digital. Teknologi digital memang menawarkan “akses informasi yang tak terbatas dan cepat” dan meningkatkan produktivitas.3 Selain itu, teknologi ini dipandang sebagai “ruang dan sarana evangelisasi”.1

Namun, di sisi lain, terdapat kekhawatiran yang diungkapkan dalam berbagai sumber mengenai “kemiskinan spiritual,” “fragmentasi online,” serta “dispersi, superfisialitas, dan kurangnya otentisitas”.1 Muncul pula pertanyaan tentang validitas teologis sakramen digital dan potensi penggantian otoritas alkitabiah dengan otoritas internet.3 Pergeseran fokus dari “Apa yang telah Tuhan lakukan untuk saya?” menjadi “Apa yang dapat internet lakukan untuk saya?” 3 juga menunjukkan potensi reorientasi tujuan manusia dari hubungan ilahi ke utilitas teknologi.

Paradoks ini menunjukkan bahwa Teologi Digital tidak hanya harus beradaptasi dengan era digital, tetapi juga harus terlibat secara kritis dengan kecenderungan inherennya.

Bagi Ekoteologi Digital, ini berarti mengakui bahwa meskipun alat digital dapat memfasilitasi tindakan lingkungan, alat tersebut harus digunakan sedemikian rupa sehingga memelihara komunitas yang tulus dan nilai-nilai spiritual yang mendalam (yang berakar pada Imago Dei dan Pemeliharaan Ciptaan), daripada mengikisnya. Komunitas iman yang terfragmentasi dan dangkal mungkin tidak memiliki keyakinan moral kolektif dan komitmen berkelanjutan yang diperlukan untuk pengelolaan lingkungan yang bermakna.

Dampak Lingkungan dari Teknologi Digital

Meskipun teknologi digital menawarkan banyak solusi, jejak ekologisnya sendiri merupakan masalah signifikan yang harus dipertimbangkan dalam Ekoteologi Digital.

  • Jejak Karbon dan Konsumsi Energi: Pangsa emisi CO2 global dari teknologi digital meningkat dari 2,5% pada tahun 2013 menjadi 3,7% pada tahun 2018, bahkan melebihi emisi seluruh industri penerbangan.4 Konsumsi rata-rata global dari penjelajahan web, media sosial,
    streaming video dan musik, serta konferensi video dapat menyumbang sekitar 40% dari anggaran karbon per kapita yang konsisten dengan pembatasan pemanasan global hingga 1,5 °C.9
  • Penyebab Konsumsi Energi Tinggi: Aktivitas digital yang paling banyak mengonsumsi energi termasuk pencarian web (sekitar 1,45 gram CO2 per pencarian), streaming video (lebih dari 300 juta ton CO2 per tahun pada tahun 2018, setara dengan emisi seluruh Spanyol), dan cloud computing. Pusat data, tulang punggung infrastruktur digital global, diperkirakan mengonsumsi antara 200 hingga 500 miliar kilowatt jam per tahun, yang setara dengan sekitar 1% dari total listrik dunia.4 Sistem pendingin mekanis saja menyumbang sekitar 25% dari total konsumsi daya pusat data.4
  • Limbah Elektronik (E-waste): Ketergantungan yang meningkat pada perangkat pintar seperti ponsel, tablet, dan komputer berkontribusi pada masalah sampah yang paling cepat berkembang di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bahwa 50 juta ton limbah elektronik dihasilkan secara global setiap tahun, dan tren ini terus meningkat.4 Lebih dari separuh limbah elektronik ini sering dikirim ke negara-negara di Global Selatan, di mana bahan baku berharga diekstraksi dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi dan tidak sehat, menyebabkan polusi lingkungan lokal yang parah.4

Jejak ekologis digital ini memperlihatkan bahwa teknologi yang diusulkan sebagai solusi lingkungan justru menjadi bagian dari masalah lingkungan itu sendiri. Berbagai sumber menekankan potensi teknologi digital untuk pemantauan lingkungan, analisis data, pendidikan, dan advokasi.3

Namun, data yang sama juga menunjukkan jejak lingkungan yang signifikan dari teknologi digital itu sendiri, termasuk emisi CO2 yang tinggi dari produksi dan konsumsi (seperti streaming, pencarian, dan kripto), tuntutan energi besar dari pusat data, dan masalah limbah elektronik yang terus meningkat.4

Hal ini mengungkapkan ketegangan kritis: alat-alat yang diusulkan sebagai solusi untuk masalah lingkungan, dalam bentuknya saat ini, merupakan kontributor signifikan terhadap masalah tersebut. Pertumbuhan dan konsumsi digital yang tidak terkendali memperburuk perubahan iklim dan penipisan sumber daya.

Oleh karena itu, Ekoteologi Digital tidak dapat hanya menganjurkanpenerapan alat digital, tetapi juga harus mengatasi keberlanjutan infrastruktur digital itu sendiri. Ini menyerukan praktik “IT hijau,” desain hemat energi, pengelolaan limbah elektronik yang bertanggung jawab, dan evaluasi kritis terhadap kebutuhan dan skala konsumsi digital. Pengelolaan digital yang benar-benar bertanggung jawab, yang berakar pada panggilan Imago Dei untuk pemeliharaan, harus meluas ke ranah digital itu sendiri, memastikan bahwa “taman digital” juga dipelihara secara berkelanjutan.

Pertimbangan Etis dalam Teknologi Digital

Etika digital adalah bidang studi dan praktik yang membahas isu-isu moral, etika, dan hukum terkait dengan penggunaan dan pengembangan teknologi digital.10 Ini mencakup berbagai topik, termasuk privasi data, keamanan siber, inklusi digital, dan dampak lingkungan dari teknologi.10

Penting untuk diakui bahwa bias yang ada dalam masyarakat dapat diperkuat di lingkungan digital, yang dapat membatasi akses ke peluang dan memperkuat stereotip negatif.10 Sebagai contoh, analisis menunjukkan bahwa 44,2% sistem AI yang diperiksa menunjukkan bias gender, seperti sistem pengenalan suara yang kurang akurat untuk wanita atau sistem perekrutan yang memprioritaskan aplikasi pria.10

Integritas informasi juga sangat penting dalam upaya memerangi misinformasi dan berita palsu, dengan penekanan pada jaminan akurasi dan keandalan data online.10 Algoritma, yang menjadi inti banyak teknologi digital, tidaklah netral; mereka diciptakan oleh manusia dan dapat mencerminkan bias yang ada dalam data dan desain.11

Hal ini dapat memiliki implikasi etis yang signifikan, terutama dalam pengambilan keputusan lingkungan. Misalnya, jika algoritma yang digunakan untuk mengalokasikan sumber daya untuk adaptasi iklim bias terhadap komunitas tertentu, itu dapat menyebabkan hasil yang tidak adil.11

Oleh karena itu, sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi digital digunakan secara bertanggung jawab dan berkontribusi pada masa depan yang benar-benar berkelanjutan.11 Ini termasuk mempromosikan literasi digital yang melampaui keterampilan teknis untuk mencakup kesadaran etis, mendorong pendekatan partisipatif dan demokratis terhadap tata kelola lingkungan digital, dan secara aktif membentuk ruang digital yang menumbuhkan nilai-nilai lingkungan dan perilaku yang bertanggung jawab.11

Paus Fransiskus dalamLaudato Si’ (2015) menekankan bahwa teknologi tidak netral dan dapat mendominasi.1 Dokumen Vatikan Antiqua et nova (Pope Francis 2025) lebih lanjut memperingatkan bahwa AI tidak boleh memperdalam ketidaksetaraan sosial dan bukan agen moral, sehingga tidak boleh menggantikan manusia dalam pengambilan keputusan karena akan menjauhkan kita dari etika.1

5. Ekoteologi Digital: Sinergi Teologi, Ekologi, dan Teknologi untuk Keberlanjutan

Ekoteologi Digital adalah bidang interdisipliner yang mengkaji hubungan antara agama, etika, dan teknologi digital dalam konteks lingkungan dan keberlanjutan . Bidang ini berupaya memahami bagaimana teknologi digital dapat digunakan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan, dan bagaimana nilai-nilai agama serta etika dapat membimbing penggunaan teknologi yang bertanggung jawab untuk menjaga bumi . Ekoteologi digital merupakan bagian dari ekologi digital yang lebih luas, namun dengan penekanan pada dimensi etika dan agama .

Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Lingkungan

Teknologi digital menawarkan berbagai aplikasi yang berpotensi transformatif dalam upaya pelestarian lingkungan:

  • Pemantauan Lingkungan Berbasis Sensor, Analisis Data Iklim, dan Pemodelan: Teknologi digital seperti pemantauan lingkungan berbasis sensor dan analisis data iklim dapat digunakan untuk mengatasi tantangan lingkungan . Sistem Internet of Things (IoT) mengintegrasikan sensor ke dalam jaringan yang saling terhubung, memanfaatkan cloud computing dan kecerdasan buatan (AI) untuk analisis real-time, pengambilan keputusan, dan pemantauan lingkungan yang efisien.7 Contohnya termasuk pemantauan kualitas udara, polusi air, kondisi tanah, dan iklim.7 Perusahaan seperti Davids Engineering menggunakan peralatan canggih untuk mengumpulkan data air, melakukan analisis data, dan menyediakan layanan aplikasi untuk membantu klien menafsirkan dan menggunakan data mereka sepenuhnya, mulai dari penetapan
    baseline historis hingga pengembangan model numerik.19
  • Platform Pendidikan Lingkungan, Advokasi, dan Sains Warga (Citizen Science): Teknologi digital digunakan dalam pengaturan alam untuk pendidikan lingkungan, advokasi, aktivisme, sains warga, dan observasi satwa liar.5 Alat digital dapat meningkatkan pembelajaran lingkungan dan menumbuhkan kesadaran keberlanjutan di kalangan siswa, dengan alat realitas virtual (VR) dan topik perubahan iklim menjadi yang paling tren dalam penelitian di bidang ini.6 Contoh aplikasi sains warga termasuk iNaturalist, sebuah aplikasi yang memungkinkan pengguna mencatat dan mencari penampakan satwa liar lokal.20 Organisasi keagamaan juga menggunakan media sosial dan alat digital lainnya untuk memperkuat upaya advokasi mereka, menjangkau audiens yang lebih luas, memobilisasi dukungan, dan memperkuat pesan mereka.21
  • Peran Kecerdasan Buatan (AI) dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Optimalisasi Kebijakan Lingkungan: AI menawarkan peluang untuk mempercepat tindakan konservasi keanekaragaman hayati, seperti klasifikasi spesies otomatis dari ilmuwan warga, pemantauan perubahan penggunaan lahan, dan pemantauan kapal penangkap ikan.8 AI dapat mendukung pengembangan sistem pemantauan keanekaragaman hayati yang efektif, otomatis, dan terdistribusi secara global yang menyediakan informasi terverifikasi tentang keadaan biosfer secara real-time.8 Selain itu, AI dapat membantu menganalisis bagaimana perusahaan berdampak dan bergantung pada keanekaragaman hayati dan alam, misalnya dengan meningkatkan pemetaan rantai pasokan.8

Tabel 1 merangkum beberapa aplikasi teknologi digital dalam Ekoteologi, menyoroti fungsi dan relevansi ekoteologisnya:

Tabel 1: Aplikasi Teknologi Digital dalam Ekoteologi (Contoh dan Fungsi)

Kategori AplikasiContoh Teknologi/PlatformFungsi/Peran dalam LingkunganRelevansi EkoteologisSumber
Pemantauan & AnalisisSensor IoT, Cloud Computing, AIPengumpulan data real-time (kualitas udara, air, tanah, iklim), analisis data, pemodelan lingkungan, deteksi polusi diniMendukung prinsip “Earthkeeping” (shamar) melalui pemahaman dan pengelolaan ciptaan yang lebih baik7
Pendidikan & KesadaranRealitas Virtual (VR), Realitas Berimbuh (AR), Aplikasi Seluler, Video KonferensiSimulasi dampak iklim, pengalaman alam virtual, peningkatan kesadaran keberlanjutan, pembelajaran interaktifMeningkatkan kesadaran “Creation Care” dan memfasilitasi pemahaman Imago Dei sebagai pengelola yang berpengetahuan5
Advokasi & MobilisasiMedia Sosial, Platform Kampanye DigitalMobilisasi komunitas, penyebaran informasi, penggalangan dukungan, memperkuat pesan lingkungan dari organisasi keagamaanMengaktualisasikan peran manusia sebagai duta dan wakil Allah dalam menyuarakan keadilan lingkungan dan memobilisasi tindakan kolektif21
Sains WargaAplikasi seperti iNaturalist, LitteratiPengumpulan data keanekaragaman hayati oleh masyarakat, pelaporan sampah, pemetaan sumber daya alam lokalMelibatkan partisipasi aktif manusia sebagai pemegang Imago Dei dalam memantau dan merawat lingkungan sekitar mereka20
Optimalisasi & KonservasiAI dalam Konservasi, Sistem Pertanian PintarKlasifikasi spesies otomatis, pemantauan perubahan lahan, optimalisasi sumber daya pertanian, prediksi lingkunganMendukung pengelolaan ciptaan yang lebih efisien dan berkelanjutan, mencerminkan kebijaksanaan ilahi dalam penggunaan sumber daya7

Tabel ini menunjukkan bagaimana Ekoteologi Digital berfungsi sebagai jembatan antara kapasitas teknologi dan imperatif etis-teologis. Berbagai sumber menunjukkan kemampuan teknologi digital untuk pemantauan lingkungan, analisis data, pendidikan, dan advokasi.6

Pada saat yang sama, nilai-nilai agama memberikan dasar etika yang kuat untuk tanggung jawab lingkungan 2, dan Imago Dei memberikan mandat pengelolaan yang bertanggung jawab.13 Ekoteologi Digital secara unik diposisikan untuk menjembatani kesenjangan antara kemampuan teknologi (apa yang dapat dilakukan alat digital) dan keharusan teologis (apa yang harus dilakukan manusia sebagai pemegang gambar Allah dan pengelola).

Ini memberikan kompas moral untuk memandu penerapan alat digital yang kuat, memastikan bahwa alat tersebut digunakan tidak hanya secara efisien, tetapi juga secara adil dan berkelanjutan. Tanpa lensa etis-teologis ini, solusi teknologi berisiko melanggengkan atau menciptakan bentuk-bentuk ketidakadilan dan kerusakan lingkungan yang baru.

Oleh karena itu, kontribusi utama Ekoteologi Digital bukanlah sekadar adopsi teknologi, tetapi integrasi yang cermat teknologi dalam kerangka kerja etika yang digerakkan oleh Imago Dei dan ekologi alkitabiah yang komprehensif. Ini menyerukan “teologi teknologi” 3 yang memberikan “makna, arah, dan batasan yang sehat” 3 untuk penggunaannya, memastikan bahwa kemajuan digital benar-benar melayani kesejahteraan seluruh ciptaan, daripada menjadi instrumen eksploitasi atau keterasingan spiritual lainnya.

Etika Teknologi dalam Ekoteologi Digital

Ekoteologi digital secara khusus membahas etika penggunaan teknologi digital, termasuk masalah privasi, aksesibilitas, dan dampak sosial dari perkembangan teknologi . Penting untuk memastikan bahwa teknologi digital digunakan secara bertanggung jawab dan berkontribusi pada masa depan yang benar-benar berkelanjutan.11 Ini mencakup promosi literasi digital yang melampaui keterampilan teknis untuk mencakup kesadaran etis, mendorong pendekatan partisipatif dan demokratis terhadap tata kelola lingkungan digital, dan secara aktif membentuk ruang digital yang menumbuhkan nilai-nilai lingkungan dan perilaku yang bertanggung jawab.11

Paus Fransiskus, dalam ensikliknya Laudato Si’ (2015), menekankan bahwa teknologi tidak netral dan memiliki potensi untuk mendominasi cara hidup kita.1 Dokumen Vatikan Antiqua et nova (Pope Francis 2025) lebih lanjut memperingatkan bahwa AI tidak boleh memperdalam ketidaksetaraan sosial dan bukan agen moral, sehingga tidak boleh menggantikan manusia dalam pengambilan keputusan, karena hal itu akan menjauhkan kita dari etika.1 Pertimbangan etis ini adalah inti dari Ekoteologi Digital, memastikan bahwa inovasi teknologi selaras dengan prinsip-prinsip moral dan keadilan.

Peran Nilai-nilai Agama

Ekoteologi digital menggabungkan prinsip-prinsip agama tentang tanggung jawab manusia terhadap alam dengan kesadaran akan potensi dan tantangan teknologi digital . Ajaran agama memberikan dasar etika yang kuat untuk tanggung jawab lingkungan.2

Konsep-konsep seperti “Khalifah” dalam Islam, “stewardship” dalam Kristen, dan “Dharma” dalam Hindu dan Buddha semuanya menekankan tanggung jawab manusia terhadap alam.2 Agama memiliki kapasitas yang signifikan untuk membentuk perilaku kolektif yang pro-lingkungan.2 Organisasi berbasis agama (FBOs) telah secara aktif terlibat dalam inisiatif keberlanjutan, termasuk kampanye reboisasi, program pengurangan emisi karbon, dan pendidikan kesadaran ekologis.2

Ekologi Digital sebagai Bidang Studi yang Lebih Luas

Ekologi digital adalah bidang studi yang lebih luas yang membahas interaksi antara sistem digital dan lingkungan alam, termasuk dampak lingkungan dari produksi dan konsumsi teknologi . Bidang ini juga mencakup penyelidikan tentang bagaimana orang mengalami alam dengan teknologi, dan efeknya pada sikap terhadap satwa liar dan lingkungan.5 Pemahaman tentang ekologi digital memberikan konteks yang lebih luas bagi Ekoteologi Digital, mengakui bahwa teknologi adalah bagian integral dari ekosistem modern.

Gerakan Bersama: Mendorong Kolaborasi untuk Solusi Berkelanjutan

Ekoteologi digital mendorong gerakan bersama antara berbagai pihak, termasuk lembaga agama, pemerintah, organisasi lingkungan, dan masyarakat umum, untuk menciptakan solusi berkelanjutan bagi masalah lingkungan . Organisasi berbasis agama (FBOs) telah muncul sebagai pemain penting dalam aktivisme lingkungan, memanfaatkan otoritas moral, jaringan komunitas, dan sumber daya mereka.22

Contoh inisiatif yang berhasil mencakup Laudato Si’ Movement dari Gereja Katolik, kampanye Greening Ramadan dari Islamic Relief, Jewish Climate Initiative, dan Hindu Declaration on Climate Change.22 FBOs juga menggunakan kekuatan pembelian kelompok untuk mengakses produk dan teknologi ramah lingkungan dengan harga terjangkau, seperti pencahayaan hemat energi, kertas daur ulang, dan sistem HVAC hemat energi.23 Mereka juga menyediakan sumber daya dan program pelatihan tentang praktik berkelanjutan.23

Tabel 2 menyajikan contoh peran organisasi keagamaan dalam inisiatif lingkungan, termasuk penggunaan alat digital:

Tabel 2: Peran Organisasi Keagamaan dalam Inisiatif Lingkungan Digital (Contoh dan Dampak)

Organisasi KeagamaanInisiatif Lingkungan/DigitalDeskripsi Singkat (Fokus inisiatif, penggunaan alat digital jika ada)Dampak/TujuanSumber
Gereja KatolikLaudato Si’ MovementKampanye global yang mempromosikan keberlanjutan lingkungan dan aksi iklim, terinspirasi oleh ensiklik Paus Fransiskus Laudato Si’. Menggunakan platform digital untuk mobilisasi dan pendidikan.Mengurangi jejak karbon, meningkatkan kesadaran, memobilisasi komunitas global untuk aksi iklim.1
Islamic ReliefGreening RamadanKampanye yang mempromosikan praktik berkelanjutan selama Ramadan, termasuk mengurangi limbah makanan dan menghemat air.Mengurangi limbah, konservasi sumber daya, pendidikan lingkungan dalam konteks keagamaan.22
Komunitas YahudiJewish Climate InitiativeKoalisi organisasi Yahudi yang mengadvokasi aksi iklim dan keberlanjutan lingkungan.Advokasi kebijakan, pendidikan, mobilisasi komunitas untuk isu iklim.22
Nahdlatul Ulama (NU)Program Eco PesantrenMendorong siswa mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan melalui daur ulang sampah, penghematan air, dan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai.Membentuk perilaku pro-lingkungan sejak dini, pendidikan lingkungan berbasis komunitas.2
MuhammadiyahProgram Green SchoolMengajarkan siswa untuk lebih peduli terhadap lingkungan sejak usia dini.Meningkatkan kesadaran lingkungan, membentuk kebiasaan berkelanjutan di kalangan pelajar.2
Berbagai FBO di ASPenggunaan Media Sosial untuk AdvokasiOrganisasi seperti Islamic Circle of North America menggunakan Twitter dan Facebook untuk meningkatkan kesadaran tentang isu-isu yang mempengaruhi komunitas Muslim, termasuk isu lingkungan.Menjangkau audiens yang lebih luas, memobilisasi dukungan, memperkuat pesan advokasi lingkungan.21

Sinergi antara komunitas keagamaan dan alat digital memiliki potensi transformasi perilaku yang besar. Organisasi keagamaan adalah “juara lingkungan” 23 dan mampu “memobilisasi komunitas” 21 seputar isu-isu lingkungan.

Mereka juga menggunakan alat digital untuk advokasi 21 dan operasi internal.1 Ajaran agama memberikan “motivasi moral dan spiritual” 2 untuk tindakan lingkungan. Alat digital, seperti aplikasi untuk penanaman pohon (Treeapp, Ecosia), pengurangan limbah (Good2Go), dan sains warga (iNaturalist) 20, menawarkan jalur praktis dan mudah diakses untuk tindakan individu dan kolektif. Ketika otoritas moral inheren dan jaringan komunitas organisasi berbasis agama 21 digabungkan dengan jangkauan dan kemampuan interaktif alat digital, ada potensi besar untuk meningkatkan perilaku pro-lingkungan.

Platform digital dapat memfasilitasi pendidikan, peningkatan kesadaran, dan partisipasi langsung dalam inisiatif (misalnya, program penghijauan, pengurangan emisi karbon, programeco-pesantren, program sekolah hijau 2).

Sinergi ini menunjukkan bahwa Ekoteologi Digital dapat mendorong “perilaku kolektif pro-lingkungan” 2 dengan menerjemahkan prinsip-prinsip teologis abstrak menjadi tindakan konkret yang didukung secara digital. Ini memungkinkan “evangelisasi benua digital” 1 untuk memasukkan pesan pemeliharaan ciptaan, membuat tanggung jawab lingkungan lebih mudah diakses dan dapat ditindaklanjuti oleh audiens yang lebih luas, sehingga memenuhi mandate Imago Dei untuk pengelolaan dalam konteks kontemporer.

6. Implikasi dan Rekomendasi: Menuju Antroposen yang Bertanggung Jawab Secara Teologis dan Ekologis

Analisis Ekoteologi Digital ini mengungkapkan bahwa konsep Imago Dei merupakan dasar etika ekologis digital yang komprehensif. Imago Dei, dengan penekanannya pada martabat inheren manusia, kapasitas rasional, kreativitas, dan kemampuan relasional, menyediakan fondasi teologis yang tak tergoyahkan untuk etika ekologis di era digital.

Manusia, sebagai wakil Allah di bumi, dipanggil untuk mencerminkan karakter ilahi dalam setiap aspek pengelolaan ciptaan, termasuk dalam ranah digital. Ini berarti bahwa penggunaan teknologi harus mencerminkan keadilan, kasih, dan kebijaksanaan Allah. Restorasi Imago Dei melalui Kristus memulihkan kapasitas manusia untuk menjadi pengelola yang setia, memberikan harapan dan dorongan untuk tindakan ekologis yang transformatif di era digital.

Tantangan dan Peluang dalam Mengembangkan Ekoteologi Digital yang Holistik dan Berkelanjutan

Pengembangan Ekoteologi Digital yang holistik dan berkelanjutan menghadapi berbagai tantangan sekaligus menawarkan peluang signifikan:

Tantangan:

  • Jejak Karbon dan Limbah Elektronik: Teknologi digital itu sendiri memiliki jejak karbon yang besar dan menghasilkan limbah elektronik yang terus meningkat.4 Mengatasi dampak lingkungan internal ini adalah tantangan yang mendesak.
  • Etika Digital: Masalah seperti privasi data, bias algoritmik, dan kesenjangan digital dapat memperburuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan lingkungan jika tidak ditangani secara etis.10
  • Kemiskinan Spiritual dan Fragmentasi Komunitas: Interaksi digital yang berlebihan atau dangkal berpotensi menyebabkan “kemiskinan spiritual” dan fragmentasi komunitas, melemahkan ikatan sosial yang penting untuk aksi kolektif.1
  • Kesenjangan antara Teologi dan Praktik: Terdapat kesenjangan antara ajaran teologis yang kuat mengenai pengelolaan lingkungan dan praktik aktual dalam banyak komunitas beriman.17

Peluang:

  • Pemantauan dan Analisis Lingkungan: Teknologi digital memungkinkan pemantauan lingkungan yang lebih akurat dan real-time, analisis data yang canggih, dan pemodelan iklim yang lebih baik.7
  • Pendidikan dan Kesadaran: Platform digital interaktif dapat meningkatkan pendidikan lingkungan dan kesadaran keberlanjutan secara luas.6
  • Sains Warga dan Advokasi: Teknologi digital memfasilitasi sains warga dan advokasi lingkungan berskala besar, memungkinkan partisipasi yang lebih luas.5
  • Kolaborasi Lintas Sektor: Ekoteologi Digital mendorong kolaborasi antara lembaga agama, pemerintah, organisasi lingkungan, dan masyarakat umum, menciptakan solusi yang lebih komprehensif.22

Rekomendasi untuk Praktik Keagamaan, Pengembangan Teknologi, Kebijakan Lingkungan, dan Pendidikan

Untuk mewujudkan potensi Ekoteologi Digital dan mengatasi tantangannya, rekomendasi berikut diusulkan:

Untuk Komunitas Keagamaan:

  • Integrasi Kurikulum: Mengintegrasikan Ekoteologi Digital ke dalam kurikulum pendidikan keagamaan dan khotbah untuk menumbuhkan kesadaran dan motivasi yang mendalam di kalangan jemaat.2
  • Pedoman Etis Digital: Mengembangkan pedoman etis yang jelas untuk penggunaan teknologi digital dalam pelayanan dan advokasi lingkungan, memastikan privasi data, inklusi, dan keadilan.10
  • Praktik IT Hijau: Mendorong praktik “hijau” dalam penggunaan teknologi digital, seperti mengurangi konsumsi energi, mendaur ulang limbah elektronik, dan mendukung penyedia layanan digital yang menggunakan energi terbarukan.4
  • Mobilisasi Digital: Memanfaatkan platform digital untuk memobilisasi komunitas dalam inisiatif lingkungan yang konkret, seperti kampanye penanaman pohon, pengurangan limbah, atau advokasi kebijakan.20

Untuk Pengembang Teknologi dan Industri:

  • Desain Berkelanjutan: Mendesain teknologi dengan prinsip “hijau” sejak awal, berfokus pada efisiensi energi, penggunaan bahan yang dapat didaur ulang, dan siklus hidup produk yang diperpanjang.4
  • Algoritma yang Adil: Mengembangkan algoritma yang transparan, dapat diaudit, dan adil, menghindari bias yang dapat memperburuk ketidaksetaraan lingkungan atau sosial.10
  • Investasi dalam Keberlanjutan: Berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi yang secara eksplisit mendukung keberlanjutan lingkungan dan etika digital, seperti solusi energi terbarukan untuk pusat data atau teknologi rendah karbon.

Untuk Pembuat Kebijakan:

  • Kerangka Regulasi Etis: Menciptakan kerangka regulasi yang kuat yang mempromosikan etika digital, privasi data, dan inklusi digital dalam aplikasi lingkungan, memastikan bahwa teknologi melayani kepentingan publik.10
  • Infrastruktur Berkelanjutan: Mendorong investasi dalam infrastruktur digital yang berkelanjutan dan energi terbarukan untuk pusat data, serta kebijakan yang mengurangi limbah elektronik.4
  • Integrasi Data dan AI: Mengintegrasikan data dan analisis berbasis AI ke dalam perumusan dan penegakan kebijakan lingkungan yang efektif, memastikan bahwa keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan komprehensif.8

Untuk Pendidikan:

  • Literasi Digital Etis-Lingkungan: Mengembangkan kurikulum pendidikan yang mencakup literasi digital yang komprehensif, tidak hanya keterampilan teknis tetapi juga kesadaran etis dan lingkungan.11
  • Penelitian Interdisipliner: Mendorong penelitian interdisipliner lebih lanjut di bidang Ekoteologi Digital untuk memperdalam pemahaman, mengidentifikasi praktik terbaik, dan menemukan solusi inovatif untuk tantangan lingkungan di era digital.

Pergeseran dari “digitalisasi gereja” menjadi “teologi digital yang beretika ekologis” adalah sebuah keharusan. Berbagai sumber menunjukkan bahwa gereja-gereja mengadopsi alat digital untuk berbagai fungsi, mulai dari evangelisasi hingga administrasi.1

Namun, adopsi ini seringkali bersifat reaktif, misalnya karena pandemi 24, dan menimbulkan kekhawatiran tentang kemiskinan spiritual, otentisitas, dan validitas teologis praktik digital.1 Digitalisasi fungsi gereja atau inisiatif lingkungan tanpa kerangka teologis dan etis yang kuat berisiko menghasilkan superfisialitas atau bahkan kerugian yang tidak disengaja. Mandat

Imago Dei untuk pengelolaan yang bertanggung jawab 13 dan panggilan alkitabiah untuk “Earthkeeping” 16 menuntut lebih dari sekadar adopsi teknologi; mereka memerlukan lensa teologis kritis terhadap teknologi itu sendiri. Oleh karena itu, rekomendasi bukan hanya untuk “digitalisasi” lembaga keagamaan untuk tujuan lingkungan, tetapi untuk pengembangan “Teologi Digital yang Beretika Ekologis.”

Ini berarti secara proaktif membentuk bagaimana alat digital dirancang, digunakan, dan diintegrasikan ke dalam praktik iman dan lingkungan, memastikan bahwa alat tersebut selaras dengan nilai-nilai inti martabat manusia, pemeliharaan ciptaan, dan keadilan, daripada hanya mereplikasi pola yang ada atau memperburuk tren negatif. Ini adalah tentang refleksi teologis yang disengaja yang menginformasikan keterlibatan teknologi, bukan hanya tentang kemudahan teknologi.

7. Kesimpulan

Artikel ini telah mengkaji Ekoteologi Digital sebagai bidang interdisipliner yang vital, menyatukan konsep Imago Dei, ekologi alkitabiah, dan teologi digital untuk merumuskan pendekatan komprehensif terhadap pengelolaan lingkungan di era teknologi. Analisis menunjukkan bahwa Imago Dei menetapkan mandat ilahi bagi manusia sebagai pengelola yang bertanggung jawab, yang diperlengkapi dengan kapasitas kreatif dan rasional untuk merawat ciptaan. Prinsip-prinsip alkitabiah seperti “Earthkeeping” dan “Sabbath” memberikan kerangka etis yang kuat untuk interaksi manusia dengan alam, menekankan pemeliharaan yang penuh kasih dan pengakuan akan batas-batas ekologis.

Di sisi lain, teologi digital menyoroti bagaimana teknologi telah mengubah lanskap keagamaan, menawarkan peluang baru untuk persekutuan dan evangelisasi, namun juga menimbulkan tantangan etis dan spiritual, termasuk jejak lingkungan digital yang signifikan. Jejak ini mencakup konsumsi energi yang besar dari pusat data dan streaming, serta masalah limbah elektronik yang terus meningkat. Ekoteologi Digital berfungsi sebagai jembatan, memanfaatkan potensi teknologi digital untuk pemantauan lingkungan, pendidikan, dan advokasi, sementara secara kritis mengatasi implikasi etis dan ekologisnya.

Pada akhirnya, Ekoteologi Digital menyerukan pendekatan yang bijaksana dan bertanggung jawab terhadap teknologi, yang berakar pada pemahaman yang mendalam tentang Imago Dei dan mandat pengelolaan. Ini bukan hanya tentang menggunakan teknologi untuk lingkungan, tetapi tentang menggunakannya secara etis dan berkelanjutan, memastikan bahwa inovasi digital benar-benar melayani kesejahteraan seluruh ciptaan dan memuliakan Sang Pencipta. Melalui kolaborasi antaragama dan lintas sektor, kita dapat menavigasi Antroposen digital menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan adil, di mana teknologi menjadi alat untuk pemeliharaan, bukan eksploitasi.

Daftar Pustaka

Karya yang dikutip

  1. Use of Digital Tools in the Religious and Spiritual Sphere: Impact and Barrier Analysis, diakses Juni 15, 2025, https://www.mdpi.com/2077-1444/16/6/772
  2. SOCIO POLITICA – Holy Earth: Harnessing Religious Ethics and …, diakses Juni 15, 2025, https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/socio-politica/article/download/44852/13693/126613
  3. Contemporary Theology in the Internet of Things – Atlantis Press, diakses Juni 15, 2025, https://www.atlantis-press.com/article/125995212.pdf
  4. Our Digital Carbon Footprint: What’s the Environmental Impact of the …, diakses Juni 15, 2025, https://en.reset.org/our-digital-carbon-footprint-environmental-impact-living-life-online-12272019/
  5. Digital nature: Human-Computer Interaction, The University of …, diakses Juni 15, 2025, https://cis.unimelb.edu.au/research/hci/research/digital-nature
  6. Environmental Education: A Systematic Review on the Use of Digital Tools for Fostering Sustainability Awareness – MDPI, diakses Juni 15, 2025, https://www.mdpi.com/2071-1050/16/9/3733
  7. Smart agriculture monitoring system using IoT devices and sensors. – ResearchGate, diakses Juni 15, 2025, https://www.researchgate.net/figure/Smart-agriculture-monitoring-system-using-IoT-devices-and-sensors_fig3_341842975
  8. Biodiversity and Artificial Intelligence, diakses Juni 15, 2025, https://gpai.ai/projects/responsible-ai/environment/biodiversity-and-AI-opportunities-recommendations-for-action.pdf
  9. The environmental sustainability of digital content consumption – PMC, diakses Juni 15, 2025, https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC11066053/
  10. DIGITAL ETHICS – IADB Publications, diakses Juni 15, 2025, https://publications.iadb.org/publications/english/document/Tech-Report-Digital-Ethics.pdf
  11. What Are the Ethical Implications of Digital Technologies? → Question – Climate → Sustainability Directory, diakses Juni 15, 2025, https://climate.sustainability-directory.com/question/what-are-the-ethical-implications-of-digital-technologies/
  12. (PDF) Sustainability and Ethics in Information Systems – ResearchGate, diakses Juni 15, 2025, https://www.researchgate.net/publication/389505951_Sustainability_and_Ethics_in_Information_Systems
  13. The Imago Dei: Biblical Foundations, Theological Implications, and Enduring Significance, diakses Juni 15, 2025, https://verba-vitae.org/index.php/vvj/article/view/25
  14. The Imago Dei: Biblical Foundations, Theological … – Verba Vitae, diakses Juni 15, 2025, https://verba-vitae.org/index.php/vvj/article/download/25/33/116
  15. Template-Jurnal-EC-HCMR EDIT – Journal Fakultas Teologi Ukit, diakses Juni 15, 2025, https://ejournal.teologi-ukit.ac.id/index.php/educatio-christi/article/download/215/144/
  16. Three Biblical Principles For Environmental Stewardship, diakses Juni 15, 2025, https://www.leaderu.com/theology/environment.html
  17. Biblical Foundations for Christian Environmental Stewardship – Wayland Baptist University, diakses Juni 15, 2025, https://www.wbu.edu/about/green-initiative/biblical-foundations.htm
  18. Religion in the Digital Age: An Irreversible Process – MDPI, diakses Juni 15, 2025, https://www.mdpi.com/2077-1444/14/1/108
  19. Technology plays vital role in environmental monitoring – Davids Engineering, diakses Juni 15, 2025, https://davidsengineering.com/technology-plays-vital-role-in-environmental-monitoring/
  20. Any eco-friendly apps to recommend? : r/ZeroWaste – Reddit, diakses Juni 15, 2025, https://www.reddit.com/r/ZeroWaste/comments/1kg7kny/any_ecofriendly_apps_to_recommend/
  21. Faith in Action: Advocacy in American Religion – Number Analytics, diakses Juni 15, 2025, https://www.numberanalytics.com/blog/faith-in-action-advocacy-in-american-religion
  22. Greening Faith – Number Analytics, diakses Juni 15, 2025, https://www.numberanalytics.com/blog/greening-faith
  23. Faith-based organizations: Champions of environmental sustainability, diakses Juni 15, 2025, https://www.entegraps.com/articles-and-insights/news-and-insights/faith-based-organizations-champions-environmental
  24. Full article: Implications of digital church for Christian leaders, diakses Juni 15, 2025, https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/23311983.2024.2408868
  25. (PDF) Special Issue: Green Pedagogies – Ecology, Green Education, and the Classroom, diakses Juni 15, 2025, https://www.researchgate.net/publication/388861730_Special_Issue_Green_Pedagogies_-_Ecology_Green_Education_and_the_Classroom
  26. Natural Interaction, diakses Juni 15, 2025, https://rauterberg.employee.id.tue.nl/movies/NotesOnNaturalInteraction.pdf
  27. External Faith-Based Environmental Stewardship Organizations | ENERGY STAR, diakses Juni 15, 2025, https://www.energystar.gov/buildings/resources-audience/congregations/external-faith-based-organizations

Modernizing Your Church for the 21st Century – Playlister, diakses Juni 15, 2025, https://www.playlister.app/blog/modernizing-your-church-for-the-21st-century

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!