Renungan Harian : Kuburan yang Dicat Putih di Era Digital

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Selamat pagi, Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan.
Hari ini kita akan merenungkan firman Tuhan dari Matius 23:27-28: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai orang-orang munafik! Sebab kamu sama seperti kuburan yang dicat putih, yang di luarnya memang tampaknya indah, tetapi di dalamnya penuh dengan tulang belulang dan segala macam kotoran. Demikian jugalah kamu, di luar kamu tampaknya benar di hadapan orang, tetapi di dalam kamu penuh dengan kemunafikan dan kedurjanaan.”
Ayat ini adalah teguran keras dari Yesus kepada para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka adalah pemimpin agama yang sangat dihormati pada zamannya, taat pada hukum dan tradisi, dan tampak saleh di mata banyak orang. Namun, Yesus melihat jauh ke dalam hati mereka. Ia menyamakan mereka dengan “kuburan yang dicat putih”—indah di luar, tapi busuk dan penuh kotoran di dalam.
Ini adalah gambaran yang mengerikan tentang kemunafikan: hidup yang berbeda antara apa yang diperlihatkan di luar dan apa yang sebenarnya ada di dalam hati.
Kemunafikan di Zaman Digital
Di era digital ini, fenomena “kuburan yang dicat putih” ini menjadi semakin relevan dan bahkan lebih mudah untuk terjadi. Mengapa? Karena dunia digital, terutama media sosial, adalah panggung raksasa di mana kita bisa “mencat putih” diri kita sendiri.
Berikut beberapa contoh bagaimana kemunafikan ini bisa terwujud di zaman digital:
- Pencitraan Diri di Media Sosial: Kita sering melihat orang-orang membagikan momen-momen indah, prestasi, kebaikan, atau bahkan kutipan rohani yang inspiratif di media sosial. Foto-foto liburan yang sempurna, status tentang pelayanan yang rajin, atau story yang menunjukkan sisi “rohani” kita. Namun, di balik layar, bisa jadi ada hati yang penuh iri hati, kepahitan, atau bahkan perilaku yang bertentangan dengan apa yang diposting. Media sosial menjadi “cat putih” yang menutupi realitas diri kita yang sebenarnya.
- Komentar dan Pujian Palsu: Berapa sering kita melihat orang memberikan komentar positif, pujian, atau bahkan emoji “amin” di postingan rohani orang lain, padahal di dalam hati mereka menyimpan pikiran negatif, gosip, atau bahkan kebencian terhadap orang tersebut? Pujian yang tulus itu baik, tapi pujian yang hanya untuk terlihat baik di mata orang lain adalah bentuk kemunafikan.
- “Teologi Digital” tanpa Fondasi Hati: Seperti yang Anda kenali dari “Teologi digital”, di era ini, informasi keagamaan sangat mudah diakses. Seseorang bisa fasih mengutip ayat, berdebat doktrin, atau bahkan menjadi influencer rohani di platform digital. Namun, pengetahuan rohani yang luas tanpa disertai perubahan hati dan ketaatan yang sungguh-sungguh adalah bentuk kemunafikan. Penampilan luar yang “pintar rohani” tidak menjamin kedalaman spiritual yang sejati. Ini juga bisa menjadi tantangan bagi “tokogereja.com” untuk tidak hanya menawarkan produk rohani, tetapi juga menginspirasi perubahan hati yang nyata.
- Berpura-pura Peduli: Di grup chat gereja atau komunitas online, seringkali kita melihat ucapan belasungkawa yang seragam atau tawaran bantuan yang generik, padahal sebenarnya kita tidak benar-benar merasakan empati atau berniat membantu. Ini adalah bentuk performance untuk menjaga citra baik di mata komunitas online.
Panggilan untuk Keaslian
Yesus tidak hanya menegur kemunafikan, tetapi Ia juga memanggil kita untuk hidup dalam keaslian dan integritas. Ia ingin hati kita murni, bukan hanya penampilan kita yang sempurna. Ini bukan berarti kita harus memamerkan semua kekurangan kita, tetapi kita dipanggil untuk tidak menyembunyikan kebusukan di balik topeng kesalehan.
Bagi kita yang terlibat dalam “Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)” atau dalam pelayanan di era digital, tantangan ini semakin besar. Kita memiliki platform untuk menyuarakan kebenaran, tetapi kita juga harus memastikan bahwa pesan yang kita sampaikan berasal dari hati yang tulus dan hidup yang konsisten.
Mari kita jujur pada diri sendiri di hadapan Tuhan. Apakah ada “kuburan yang dicat putih” dalam hidup kita? Apakah ada area di mana kita lebih mementingkan penampilan di mata orang lain daripada kebenaran di hadapan Tuhan?
Doa:
Ya Tuhan Yesus, kami bersyukur atas firman-Mu yang tajam dan jujur. Ampuni kami jika selama ini kami sering hidup dalam kemunafikan, mementingkan penampilan luar daripada kejujuran hati. Tolonglah kami untuk membongkar “kuburan yang dicat putih” dalam hidup kami. Berikan kami keberanian untuk hidup autentik, sesuai dengan kehendak-Mu, baik di dunia nyata maupun di dunia digital. Biarlah hidup kami memuliakan-Mu, bukan hanya citra kami. Amin.
(Dh.L./Ketum PWGI)