Tokogereja.com dalam Perspektif Teologi Wirausaha: Membangun Misiologi Etis di Era Digital

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Pendiri Marketplace Tokogereja.com

Teologi.digital – Jakarta, Artikel ini menyajikan analisis mendalam mengenai Tokogereja.com dari perspektif teologi wirausaha, mengidentifikasinya sebagai studi kasus yang relevan untuk penerapan praktis teologi wirausaha di era digital.

Pembahasan dimulai dengan penyajian definisi multidimensi mengenai kewirausahaan dan teologi wirausaha, diikuti dengan penetapan landasan teologis yang kokoh dari berbagai pemikir Kristen terkemuka.

Artikel ini kemudian menyelidiki integrasi etis antara prinsip-prinsip teologis dan praktik kewirausahaan dalam lanskap digital, khususnya dalam konteks pengembangan misiologi. Analisis mendalam tentang Tokogereja.com sebagai manifestasi konkret dari prinsip-prinsip ini akan disajikan, menyoroti kontribusinya terhadap misi digital.

Lebih lanjut, artikel ini membahas peran krusial gereja dan umat Kristen dalam mendukung inisiatif semacam ini serta menekankan urgensi yang mendesak untuk merangkul teologi wirausaha sebagai gerakan transformatif untuk keterlibatan Kristen yang holistik dalam masyarakat kontemporer.

1. Pendahuluan

Latar Belakang dan Konteks

Era digital telah secara fundamental mengubah lanskap ekonomi dan sosial global, menghadirkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya sekaligus tantangan etika yang kompleks. Platform digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari perdagangan, komunikasi, dan pembangunan komunitas. Dalam konteks ini, muncul bidang studi yang berkembang pesat yang dikenal sebagai “teologi wirausaha.” Kerangka kerja ini berupaya untuk mengartikulasikan bagaimana iman Kristen dapat secara mendalam menginformasikan, membentuk, dan mentransformasi aktivitas ekonomi, melampaui persepsi dualistik tradisional yang sering memisahkan yang sakral dari yang sekuler.

Secara historis, terdapat keengganan dan bahkan “alergi” dalam tradisi gereja tertentu terhadap keterlibatan langsung dalam bisnis atau aktivitas mencari keuntungan. Pemahaman yang keliru ini, bahwa “Gereja tidak boleh berbisnis, tidak boleh mengejar keuntungan atau laba,” telah mengakar dalam masyarakat.1 Akibatnya, pemikiran gereja sering kali tertinggal jauh di belakang perkembangan pesat dunia bisnis.1 Meskipun gereja Kristen pada awalnya mengadopsi sikap positif terhadap kepemilikan materi 2, pandangan dualistik seringkali mendominasi, menciptakan pemisahan antara kehidupan spiritual dan ekonomi.

Persepsi tradisional yang memisahkan ranah “sakral” (gereja, pelayanan) dari ranah “sekuler” (bisnis, keuntungan) telah menciptakan kesenjangan yang signifikan dalam pemahaman dan keterlibatan gereja terhadap realitas ekonomi yang terus berubah. Kedatangan era digital, dengan laju yang dipercepat dan jangkauan yang meresap, semakin memperlebar kesenjangan ini, membuat ketidak-keterlibatan gereja menjadi lebih mencolok dan berpotensi merugikan misinya. Ini menunjukkan bahwa tantangan bagi teologi wirausaha bukan hanya memperkenalkan konsep-konsep baru, tetapi juga secara fundamental mendekonstruksi dan merekonstruksi persepsi teologis dan budaya yang sangat mengakar tentang pekerjaan, kekayaan, dan tujuan dalam komunitas Kristen. Ranah digital, dengan sifatnya yang mengaburkan batas dan mempercepat perubahan, menjadikan evaluasi ulang ini tidak hanya diinginkan tetapi juga sangat mendesak demi relevansi dan efektivitas gereja di abad ke-21. Konteks historis ini berfungsi sebagai faktor penyebab “kesenjangan misi” saat ini di era digital.

Maka, muncul desakan yang semakin besar bagi gereja untuk secara proaktif terlibat dengan realitas ekonomi, tidak hanya untuk keberlanjutan finansialnya sendiri tetapi juga untuk dampak misi yang lebih luas dan terwujudnya shalom (kesejahteraan holistik) bagi masyarakat.

Tujuan dan Ruang Lingkup Artikel

Artikel ini memiliki beberapa tujuan utama: (1) memberikan definisi komprehensif tentang kewirausahaan dan teologi wirausaha; (2) menetapkan landasan biblika dan teologis yang kuat untuk keterlibatan Kristen dalam aktivitas ekonomi; (3) menganalisis integrasi etis prinsip-prinsip teologis dengan praktik kewirausahaan, khususnya dalam lanskap digital, untuk kemajuan misiologi; (4) mengkaji Tokogereja.com sebagai manifestasi nyata dan model praktis teologi wirausaha digital; (5) mengeksplorasi berbagai jalur di mana gereja dan individu Kristen dapat mendukung inisiatif semacam itu; dan (6) menggarisbawahi urgensi yang mendesak bagi komunitas Kristen untuk merangkul teologi wirausaha sebagai gerakan transformatif di era digital.

Pendekatan sistematis dan analitis akan digunakan untuk membahas sifat komprehensif dari pertanyaan pengguna, memastikan eksplorasi topik yang menyeluruh dan mendalam.

2. Memahami Wirausaha dan Teologi Wirausaha

Definisi Wirausaha dari Berbagai Perspektif

Kewirausahaan adalah konsep multidimensi yang melampaui sekadar pencarian keuntungan. Berbagai ahli dan institusi telah memberikan definisi yang memperkaya pemahaman tentang fenomena ini.

Wiji Lestari menjelaskan kewirausahaan sebagai “proses mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi ke dalam kehidupan”.2 Visi ini dapat berupa ide inovatif, peluang, atau cara yang lebih baik dalam menjalankan sesuatu, yang pada akhirnya mengarah pada penciptaan usaha baru dalam kondisi risiko atau ketidakpastian.2 Secara lebih luas, Lestari mengkarakterisasi kewirausahaan sebagai kegiatan bisnis yang berfokus pada pembukaan lapangan kerja dan pengorganisasian sumber daya untuk menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan.2 Ciri-ciri budaya wirausaha yang esensial meliputi rasa percaya diri, kesediaan mengambil risiko, dan semangat inovatif yang berakar pada optimisme terhadap perubahan. Seorang pengusaha, dalam pandangan ini, tidak pernah puas dengan status quo dan senantiasa mencari celah untuk melakukan perubahan melalui inovasi.2

Joseph Schumpeter (1934) memandang wirausaha sebagai individu yang “mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa baru, dengan menciptakan bentuk organisasi baru, atau dengan mengolah bahan baku baru”.4 Definisi ini menyoroti sifat transformatif dan inovatif dari kewirausahaan. Sementara itu,

Filion menggambarkan wirausaha sebagai individu yang imajinatif, ditandai oleh kemampuannya dalam menetapkan dan mencapai sasaran-sasaran yang ambisius.4

Kasmir menambahkan bahwa wirausaha adalah seseorang yang memiliki keberanian untuk mengambil risiko dalam membuka usaha di berbagai kesempatan.4

Robbin & Coulter (2002) mendefinisikan kewirausahaan sebagai proses di mana individu atau kelompok menggunakan upaya dan sarana terorganisir untuk mengejar peluang, menciptakan nilai, dan menumbuhkan usaha dengan memenuhi keinginan dan kebutuhan melalui inovasi dan keunikan, terlepas dari sumber daya yang saat ini dikendalikan.4 Definisi ini menekankan eksploitasi peluang dan penciptaan nilai.

Di Indonesia, Lampiran Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995 mendefinisikan “wirausaha” sebagai orang yang memiliki semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan kewirausahaan.4

Senada dengan itu, Geoffrey G. Meredith et al. (1995) menyatakan bahwa wirausaha adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil keuntungan daripadanya, serta mengambil tindakan yang tepat guna memastikan kesuksesan.5

Jika kewirausahaan dipahami hanya sebagai pengejaran kekayaan, integrasinya dengan iman bisa menjadi problematis. Namun, dengan mengakui kapasitas intrinsiknya untuk pencarian makna pribadi dan sosial, kontribusi sosial, dan manifestasi nilai-nilai, kewirausahaan dapat selaras dengan konsep teologis seperti penatalayanan, panggilan, kebaikan bersama, dan pengejaran shalom.

Sedwick (seperti dikutip dalam 3) secara eksplisit menyatakan bahwa bagi pengusaha, “bisnis adalah masalah pencarian makna personal dan sosial.” Hal ini melampaui keuntungan finansial, mencakup tantangan untuk membuktikan kecakapan profesional dan mengekspresikan nilai-nilai seperti kebebasan, keadilan, fleksibilitas, dan kreativitas.3 Penekanan pada “mengidentifikasi, mengembangkan, dan membawa visi ke dalam kehidupan” 2 serta “menciptakan nilai” 4 semakin menggarisbawahi tujuan yang lebih dalam ini. Pemahaman yang lebih luas ini mengubah persepsi bisnis dari aktivitas yang netral atau mencurigakan secara moral menjadi upaya yang berpotensi sakral.

Konsep dan Interpretasi Teologi Wirausaha

Teologi wirausaha adalah bidang interdisipliner yang secara aktif berupaya mengintegrasikan prinsip-prinsip teologis yang mendalam dengan realitas praktis dari usaha kewirausahaan. Ini adalah “upaya analisis dan dialog untuk mendiskusikan pengalaman, menafsirkan pengalaman, berefleksi atas pengalaman serta menginisiasi sebuah praktik dalam bidang kewirausahaan terlihat dari prespektif agama”.6 Definisi ini menyoroti sifat reflektif dan berorientasi tindakan dari teologi wirausaha, dengan fokus pada motivasi, gairah, persepsi, emosi, nilai-nilai, sikap, perilaku para pelaku bisnis dan gereja itu sendiri, serta karakter individu yang terlibat dalam dunia bisnis.6

Secara krusial, teologi wirausaha juga disajikan sebagai strategi pragmatis bagi gereja untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan pelayanannya “di luar persembahan”.3 Ini menandakan pergeseran menuju kemandirian dan diversifikasi sumber pendapatan untuk kegiatan gereja.

Buku “Teologi Kewirausahan: Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan dengan Landasan Teologis” oleh Hengki Irawan Setia Budi diidentifikasi sebagai sumber daya penting, dirancang khusus untuk “Hamba Tuhan dan pengajar akademis yang ingin memiliki landasan bangunan struktural teologis yang baik”.7 Tujuannya adalah untuk menyediakan fondasi teologis yang kuat yang dapat berfungsi sebagai referensi untuk pengajaran dan pemuridan jemaat, menumbuhkan pola pikir yang benar dan semangat kewirausahaan yang praktis.7

Pernyataan eksplisit bahwa “Teologi kewirausahaan merupakan sebuah upaya gereja untuk mendapatkan pemasukan di luar persembahan dengan cara berwirausaha untuk bertumbuh secara ekonomi dan menunjang pelayanan gereja” 3 mengungkapkan adanya motivasi pragmatis, bahkan hampir bersifat bertahan hidup, di balik perkembangan teologis ini. Hal ini semakin dikontekstualisasikan oleh “ketertinggalan pemikiran gereja tentang bisnis” secara historis.1 Kebutuhan akan “kemandirian” juga disoroti dalam konteks gereja yang terlibat dalam kewirausahaan.1

Hal ini menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat di mana perubahan realitas ekonomi dan keterbatasan model pendanaan tradisional (penyebab) memerlukan kerangka teologis baru (akibat) yang melegitimasi dan mendorong aktivitas kewirausahaan dalam gereja. Ini mengisyaratkan bahwa teologi wirausaha bukan hanya konsep akademis tetapi juga keharusan strategis bagi kesehatan finansial gereja dan kemampuannya untuk mempertahankan serta memperluas misinya di dunia yang terbatas sumber daya. Ini juga menyoroti tren yang lebih luas di mana gereja-gereja mencari cara-cara inovatif untuk mendanai pelayanan di luar persembahan tradisional.

Tabel 1: Perbandingan Definisi Wirausaha

Sumber/AhliFokus DefinisiCiri Khas/Implikasi
Wiji Lestari 2Proses identifikasi, pengembangan, dan membawa visi ke dalam kehidupan; kegiatan bisnis dengan membuka lapangan kerja dan mengorganisasikan sumber daya untuk keuntungan.Penciptaan usaha baru, optimisme perubahan, pencarian makna personal/sosial, percaya diri, mau mengambil risiko, inovatif.
Joseph Schumpeter 4Orang yang mendobrak sistem ekonomi yang ada dengan memperkenalkan barang dan jasa baru, menciptakan bentuk organisasi baru, atau mengolah bahan baku baru.Transformasi, inovasi, perusakan kreatif.
Filion 4Orang yang imajinatif, ditandai oleh kemampuannya dalam menetapkan sasaran serta dapat mencapai sasaran-sasaran itu.Penetapan dan pencapaian tujuan yang ambisius.
Kasmir 4Orang yang berjiwa berani mengambil risiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan.Keberanian mengambil risiko, inisiatif.
Robbin & Coulter 4Proses di mana seorang individu atau kelompok individu menggunakan upaya terorganisir untuk mengejar peluang untuk menciptakan nilai dan tumbuh dengan memenuhi keinginan dan kebutuhan melalui inovasi dan keunikan, terlepas dari sumber daya yang saat ini dikendalikan.Penciptaan nilai, pertumbuhan, inovasi, keunikan, pengelolaan sumber daya.
Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil 4Orang yang mempunyai semangat, sikap, perilaku dan kemampuan kewirausahaan.Semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan.
Geoffrey G. Meredith et al. 5Orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan daripadanya serta mengambil tindakan yang tepat, guna memastikan kesuksesan.Melihat dan menilai peluang, mobilisasi sumber daya, tindakan tepat untuk sukses.

3. Landasan Teologis Kuat untuk Kewirausahaan Kristen

Mandat Ilahi dan Panggilan Kerja

Keterlibatan Kristen dalam aktivitas ekonomi memiliki dasar biblika yang mendalam, yang menantang pandangan dualistik sempit tentang pekerjaan “spiritual” versus “sekuler”.

Mandat Penciptaan (Kejadian 1:26-28; 2:5, 15): Manusia diberikan mandat ilahi untuk “menguasai dan melestarikan ciptaan”.6 Istilah Ibrani “kavash” (menaklukkan) dan “radah” (menguasai) dalam Kejadian 1:26,28 menyiratkan penatalayanan yang bersifat raja namun penuh kebajikan, yang dijalankan demi kesejahteraan seluruh ciptaan dan umat manusia, bukan untuk keuntungan egois.10 Mandat ini secara inheren mencakup tanggung jawab untuk mencari nafkah dan memastikan pelestarian lingkungan.10 Oleh karena itu, kegiatan bisnis yang menunjukkan kesadaran lingkungan dan keberlanjutan dipandang sebagai tindakan ketaatan langsung terhadap perintah asli Allah.9 Kewirausahaan, dengan penekanannya pada inovasi, pemecahan masalah, dan penciptaan nilai 2, adalah pemenuhan langsung mandat ini dalam konteks ekonomi modern. Ini adalah tentang membentuk dan mengolah dunia, bukan hanya mengonsumsi dari dunia. Hal ini mengangkat aktivitas kewirausahaan dari sekadar sarana penghidupan menjadi panggilan suci, suatu bentuk penciptaan bersama dengan Tuhan. Ini menunjukkan bahwa pengusaha Kristen tidak hanya mencari keuntungan, tetapi secara aktif berpartisipasi dalam pekerjaan penebusan Allah dengan mengatasi kebutuhan manusia, menciptakan solusi yang berkelanjutan, dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat. Ini memberikan tujuan teologis yang mendalam bagi bisnis, mengalihkannya melampaui fungsi yang murni utilitarian.

Pekerjaan sebagai Panggilan dan Pelayanan (Kejadian 3:17-19; 2 Tesalonika 3:10): Pekerjaan disajikan bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai “anugerah” dan panggilan ilahi, sebuah kebenaran yang tetap berlaku bahkan setelah Kejatuhan.9 Orang Kristen didorong untuk mendekati pekerjaan mereka dengan ketekunan, kecerdasan, ketulusan, dan ketuntasan 10, menggemakan nasihat Paulus: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tesalonika 3:10b). Pekerjaan digambarkan sebagai hal yang fundamental bagi keberadaan dan karakter manusia, bukan sekadar pilihan diskresioner tetapi keharusan moral, yang secara intrinsik terkait dengan pelayanan.9

Dorothy Sayers dengan kuat mengartikulasikan hal ini, berpendapat bahwa pekerjaan harus dilakukan demi nilai intrinsiknya, sebagai “aktivitas kreatif yang dilakukan demi kecintaan pada pekerjaan itu sendiri,” sehingga mencerminkan penciptaan manusia dalam gambar Allah sebagai “pembuat”.11 Bagi Sayers, “pekerjaan yang dilakukan dengan baik adalah ibadah” 12, mengangkat semua pekerjaan menjadi tindakan yang sakral.

Memuliakan Tuhan dan Melayani Sesama (Mazmur 150; Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Matius 5:13-14): Tujuan utama dari semua upaya Kristen, termasuk bisnis, adalah untuk memuliakan Tuhan dan melayani sesama manusia.9

Larry Burkett secara eksplisit menyatakan, “Maksud dari sebuah bisnis Kristen ialah memuliakan Allah”.9 Orang Kristen dipanggil untuk menjadi “garam dan terang” (Matius 5:13-14) di semua bidang kehidupan, termasuk sektor ekonomi dan bisnis.9 Ini menyiratkan bahwa bisnis adalah “alat” untuk tujuan Allah, bukan tujuan itu sendiri.9

Rasul Paulus sebagai Teladan: Contoh panggilan Rasul Paulus, yang terlibat dalam pembuatan tenda (Kisah Para Rasul 18:1-3) untuk mendukung pelayanannya dan menghindari membebani gereja mula-mula, memberikan preseden biblika yang kuat bagi para pemimpin spiritual dan orang percaya untuk terlibat dalam kegiatan kewirausahaan.9

Kontribusi Teolog Terkemuka

Berbagai pemikir Kristen terkemuka telah memberikan kontribusi teologis yang signifikan yang menjadi dasar bagi teologi wirausaha, menunjukkan warisan intelektual yang kaya.

John Calvin:

Calvin merevolusi konsep “panggilan” dengan memperluasnya melampaui klerus untuk mencakup semua pekerjaan manusia yang sah.14 Ia memberikan martabat dan makna yang mendalam pada pekerjaan sehari-hari, memandangnya sebagai sarana utama untuk melayani Tuhan di setiap bidang keberadaan manusia.15 Ketekunan dan dedikasi dalam pekerjaan seseorang dianggap sebagai respons yang tepat dan setia kepada Tuhan.15 Calvin juga merumuskan doktrin “anugerah umum,” yang menyatakan bahwa anugerah Allah meluas kepada seluruh umat manusia, memungkinkan orang Kristen untuk berkolaborasi dengan non-Kristen demi kebaikan bersama dalam berbagai bidang masyarakat—baik politik, ekonomi, atau budaya.15 Anugerah ini adalah sumber kompetensi manusia dalam seni dan sains, yang melayani kepentingan umat manusia.15 Calvin percaya bahwa kesuksesan duniawi, ketika dikejar dengan tekun dan etis, dapat menjadi tanda lahiriah berkat Allah.14 Ia menganjurkan reinvestasi keuntungan ke dalam usaha-usaha selanjutnya daripada untuk hidup mewah, dan secara khusus, ia membenarkan pengenaan bunga moderat atas pinjaman yang digunakan untuk tujuan bisnis.14

Abraham Kuyper:

Konsep seminal Kuyper tentang “kedaulatan lingkup” (sphere sovereignty) menyatakan bahwa berbagai lingkup masyarakat (misalnya, keluarga, gereja, negara, pendidikan, perdagangan) memiliki otoritasnya sendiri yang berbeda dan ditetapkan oleh Allah, beroperasi langsung di bawah kedaulatan mutlak Kristus, tanpa campur tangan yang tidak semestinya dari lingkup lain.17 Dalam kerangka ini, lingkup ekonomi (perdagangan) dipahami memiliki integritas dan tujuan inherennya sendiri, yang bertanggung jawab langsung kepada Tuhan. Ini menyiratkan bahwa bisnis harus bebas untuk mengejar kemakmuran ekonomi secara etis, berkontribusi pada kebaikan bersama dalam domain spesifik mereka, tanpa didikte oleh negara atau bahkan gereja dalam prinsip-prinsip operasional internal mereka.17 Doktrin anugerah umum Calvin dan kedaulatan lingkup Kuyper memberikan dasar teologis yang kuat bagi orang Kristen untuk terlibat dalam pasar yang lebih luas tanpa merasa terkompromi atau perlu secara eksplisit “meng-Kristen-kan” setiap aspek bisnis mereka. Anugerah umum menegaskan bahwa anugerah dan kompetensi Allah meluas kepada seluruh umat manusia, memungkinkan kolaborasi untuk kebaikan bersama, sementara kedaulatan lingkup melegitimasi ranah ekonomi sebagai memiliki integritas yang diberikan Allah, tidak tunduk pada kendali gerejawi. Hal ini membebaskan pengusaha Kristen dari beban untuk beroperasi semata-mata dalam “gelembung Kristen” atau merasa bahwa bisnis mereka harus menjadi “pelayanan” langsung dalam pengertian tradisional. Sebaliknya, ini memberdayakan mereka untuk menjadi “garam dan terang” 9 dengan mencontohkan nilai-nilai Kristen, integritas, dan keunggulan dalam struktur ekonomi yang ada, sehingga memengaruhi budaya dan berkontribusi pada kebaikan bersama dari dalam ke luar. Ini adalah pergeseran krusial dari pendekatan yang terisolasi ke pendekatan yang terintegrasi dalam keterlibatan ekonomi Kristen.

Dorothy Sayers:

Sayers sangat menekankan pekerjaan sebagai aktivitas kreatif, sarana fundamental bagi manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, untuk menemukan pemenuhan diri dan memuliakan Tuhan.11 Ia dengan penuh semangat menentang gagasan yang berlaku tentang bekerja semata-mata untuk keuntungan moneter, sebaliknya menganjurkan nilai intrinsik dan kegembiraan yang ditemukan dalam pekerjaan itu sendiri.11 Ia juga memberikan kritik tajam terhadap masyarakat yang didorong oleh “iri hati dan keserakahan” dan dicirikan oleh “pengeluaran konsumen yang boros,” menyerukan “pemahaman Kristen tentang pekerjaan” yang memprioritaskan penciptaan dan pembuatan yang bertujuan daripada sekadar konsumsi.12

Paus Yohanes Paulus II (Centesimus Annus):

Dalam ensikliknya Centesimus Annus (1991), Paus Yohanes Paulus II mengakui “peran sah keuntungan sebagai indikasi bahwa suatu bisnis berfungsi dengan baik,” asalkan itu menandakan penggunaan faktor-faktor produktif yang tepat dan pemenuhan kebutuhan manusia yang sejati.21 Ia menekankan bahwa profitabilitas bukanlah satu-satunya indikator kondisi suatu perusahaan; faktor-faktor manusia dan moral, seperti martabat dan perlakuan etis terhadap karyawan, sama pentingnya, jika tidak lebih, dalam jangka panjang.21 Ensiklik ini menganjurkan pendekatan yang seimbang, menegaskan kepemilikan pribadi dan tindakan kewirausahaan dalam kerangka moral yang kuat, sambil mengkritik ekses kapitalisme yang tidak terkendali dan kegagalan sosialisme.22 Ia menekankan peran negara dalam mendukung partisipasi ekonomi tanpa menghambat inisiatif individu, mempromosikan tanggung jawab sosial dan martabat manusia.22

Larry Burkett:

Karya berpengaruh Burkett, “Business By The Book,” memberikan panduan praktis tentang integrasi prinsip-prinsip biblika ke dalam tempat kerja.23 Ia secara konsisten menekankan bahwa tujuan utama bisnis Kristen adalah untuk memuliakan Allah.9

Tabel 2: Landasan Teologis Kewirausahaan Kristen

Landasan TeologisAyat Alkitab/Konsep KunciImplikasi bagi Kewirausahaan
Mandat PenciptaanKejadian 1:26-28; 2:5,15Mengelola ciptaan secara bijaksana, menciptakan lapangan kerja, menghasilkan shalom (kesejahteraan holistik), memperhatikan lingkungan.
Pekerjaan sebagai Panggilan & PelayananKejadian 3:17-19; 2 Tesalonika 3:10Bekerja keras, cerdas, ikhlas sebagai anugerah dan panggilan; bisnis adalah bagian integral dari kehidupan dan karakter manusia.
Memuliakan Tuhan & Melayani SesamaMazmur 150; Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Matius 5:13-14Tujuan bisnis adalah bagi kemuliaan Allah dan pelayanan kepada sesama; menjadi “garam dan terang” di pilar bisnis dan ekonomi.
Teladan Rasul PaulusKisah Para Rasul 18:1-3Spiritualitas tidak terpisah dari kemampuan mencari nafkah; kemandirian finansial untuk mendukung pelayanan.
Pengelolaan Harta BendaAmsal 11:28; Lukas 16:10Bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan, mempertimbangkan untung rugi, menghadapi konsekuensi; mengelola harta benda secara bijaksana.

Tabel 3: Kontribusi Teolog Kunci terhadap Teologi Wirausaha

TeologKontribusi UtamaImplikasi bagi Kewirausahaan
John Calvin 14Doktrin Panggilan (Vocation), Anugerah Umum (Common Grace)Pekerjaan biasa adalah pelayanan kepada Tuhan; kolaborasi dengan non-Kristen untuk kebaikan bersama; legitimasi keuntungan moderat dan reinvestasi.
Abraham Kuyper 17Kedaulatan Lingkup (Sphere Sovereignty)Otonomi etis ranah bisnis di bawah Tuhan; bisnis memiliki integritasnya sendiri, tidak tunduk pada kontrol berlebihan dari negara atau gereja.
Dorothy Sayers 11Kerja sebagai Aktivitas Kreatif, Kritik KonsumerismeKerja adalah pemenuhan citra Allah dan sumber kepuasan; menentang kerja hanya untuk uang dan konsumerisme boros; mendorong pembuatan yang bertujuan.
Paus Yohanes Paulus II 21Legitimasi Laba & Etika Sosial (Centesimus Annus)Laba adalah indikator kesehatan bisnis, tetapi bukan satu-satunya; martabat manusia dan perlakuan etis terhadap karyawan sama pentingnya; kapitalisme etis dengan tanggung jawab sosial.
Larry Burkett 9Prinsip Keuangan AlkitabiahTujuan utama bisnis Kristen adalah memuliakan Allah; panduan praktis untuk mengintegrasikan prinsip biblika di tempat kerja.

4. Integrasi Etis Teologi dan Wirausaha untuk Misiologi Digital

Prinsip Etika Bisnis Kristen di Era Digital

Integrasi etis antara teologi dan kewirausahaan, khususnya dalam ranah digital, menuntut kepatuhan pada prinsip-prinsip fundamental yang mencerminkan karakter Allah dan panggilan Kristen.

Integritas dan Kejujuran: Para pemimpin Kristen diwajibkan untuk menjaga integritas dan kejujuran yang tak tercela dalam semua urusan mereka, secara ketat menghindari kebenaran yang setengah-setengah, embellishment, atau representasi yang keliru.24 Prinsip ini meluas secara komprehensif ke semua interaksi dan komunikasi digital.25 Amsal 11:13 secara eksplisit menggarisbawahi nilai kepercayaan dalam menjaga informasi rahasia.26

Keadilan dan Perlakuan Baik: Aturan Emas (Matius 7:12) berfungsi sebagai landasan untuk memperlakukan semua individu—karyawan, pelanggan, dan mitra—dengan kasih, rasa hormat, dan kebaikan.25 Ini mencakup memastikan perlakuan yang adil terhadap karyawan, pembayaran upah dan sewa tepat waktu, dan penyediaan tunjangan tambahan yang sesuai.27

Penatalayanan dan Tanggung Jawab:

  • Lingkungan: Mengakui bahwa “Bumi adalah milik Tuhan” (Mazmur 24:1) menuntut penggunaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dan kepatuhan pada praktik bisnis yang berkelanjutan.29 Operasi bisnis harus secara sadar mempertimbangkan dan meminimalkan dampak lingkungannya.9
  • Sumber Daya: Prinsip ini menyerukan keputusan investasi yang bijaksana dan pengelolaan yang rajin dan bertanggung jawab atas semua sumber daya yang dipercayakan.27
  • Data: Sebagai penatalayan informasi, orang Kristen dipanggil untuk melindungi data pribadi orang lain dengan ketekunan yang sama seperti mereka menjaga data mereka sendiri (Amsal 11:13, Efesus 4:25).26 Penghargaan terhadap martabat individu, yang berakar pada
    Imago Dei (Kejadian 1:27), sangat penting dalam menangani data pribadi, memastikan privasi dan keamanan.26 Persetujuan yang diinformasikan adalah prasyarat etis yang krusial untuk pengumpulan data.30

Tujuan Melampaui Laba: Meskipun keuntungan diakui sebagai indikator yang sah dari bisnis yang berfungsi dengan baik 21, secara eksplisit dinyatakan bahwa itu bukan satu-satunya ukuran keberhasilan. Faktor-faktor manusia dan moral dianggap sama pentingnya, jika tidak lebih, dalam jangka panjang.21 Bisnis didorong untuk mencari makna pribadi dan sosial yang lebih dalam di luar keuntungan finansial.3

Filantropi dan Dampak Sosial: Komitmen untuk menyumbang kepada tujuan yang layak 27 dan menyisihkan sebagian keuntungan untuk inisiatif amal 31 tidak hanya memperkuat kepatuhan pada ajaran iman tetapi juga mempererat ikatan komunitas. Bisnis Kristen harus secara aktif bertujuan untuk berkontribusi membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.28

Transparansi dan Akuntabilitas: Konsumen di era digital mengharapkan transparansi dalam sumber produk, penetapan harga, dan pemasaran.31 Para pemimpin Kristen diharapkan menjaga reputasi yang tak tercela dalam pengambilan keputusan etis, sehingga menetapkan nada yang berprinsip bagi seluruh organisasi mereka.24

Prinsip bahwa para pemimpin Kristen memiliki “standar yang lebih tinggi” untuk perilaku etis karena mereka “mewakili Kristus” 24 menjadi sangat penting di era digital. Karakteristik ekonomi digital—skalabilitasnya yang besar, keterkaitan global, sifatnya yang berbasis data, dan ketergantungan pada tata kelola algoritmik 32—berarti bahwa pelanggaran atau kelalaian etis dapat memiliki konsekuensi negatif yang jauh lebih besar dan luas. Satu kesalahan dalam privasi data 30 atau algoritma yang tidak adil 32 dapat memengaruhi jutaan orang secara global, mengikis kepercayaan dan menodai kesaksian Kristen.25 Hal ini menuntut pendekatan proaktif dan reflektif yang mendalam terhadap etika digital bagi pengusaha Kristen. Tidak cukup hanya menghindari “dosa” yang jelas; ada kewajiban positif untuk mencontohkan “kekudusan, keadilan, dan kasih” 34 dalam desain platform digital, dalam protokol penanganan data, dan dalam keadilan penetapan harga dan akses. Ini menyiratkan keterlibatan yang berkelanjutan dan dinamis dengan tantangan etika yang muncul yang ditimbulkan oleh teknologi baru, membutuhkan refleksi teologis yang berkelanjutan dan adaptasi praktis.

Tantangan dan Peluang Etika Digital (Privasi, Keadilan Data)

Lanskap etika yang unik yang disajikan oleh ekonomi digital menghadirkan tantangan dan peluang transformatif.

Privasi dan Keamanan Data: Gereja dan bisnis digital yang mengumpulkan informasi pribadi menghadapi risiko tinggi pelanggaran data, penggunaan tidak sah, dan potensi kewajiban hukum.30 Prinsip-prinsip biblika, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan “privasi,” menyiratkan kepentingannya dari bagian-bagian yang menekankan batasan pribadi (misalnya, Matius 6:6, Kejadian 9:20-27) dan komunikasi rahasia.26 Penatalayanan informasi yang etis mewajibkan perlindungan data pribadi orang lain dengan ketekunan yang sama seperti menjaga data sendiri (Amsal 11:13, Efesus 4:25).26 Persetujuan yang diinformasikan disorot sebagai prasyarat etis yang krusial untuk setiap pengumpulan data.30 Enkripsi disajikan sebagai alat teknologi vital untuk memastikan keamanan data.30

Keadilan Digital dan Harga: Ekonomi digital global menimbulkan kekhawatiran signifikan mengenai keadilan sosio-ekonomi dan politik, dengan potensi memperburuk ketimpangan global.33 Penetapan harga algoritmik, meskipun mampu menawarkan manfaat bagi sebagian konsumen, juga membawa risiko praktik yang tidak adil atau diskriminatif.33 Konsep Keadilan Ekonomi Digital secara kritis bertanya apakah semua individu memiliki peluang yang adil untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari alat dan sistem digital, meneliti dinamika kekuasaan dan bias yang melekat dalam algoritma.32

Misinformasi dan Integritas Digital: Proliferasi cepat alat digital dapat secara tidak sengaja berkontribusi pada penyebaran misinformasi, berpotensi merusak integritas doktrinal dalam komunitas iman.30 Oleh karena itu, menjaga “kesaksian digital” yang konsisten yang selaras dengan nilai-nilai Kristen dan secara aktif menghindari konflik atau negativitas daring adalah penting.25

Peluang: Terlepas dari tantangan ini, teknologi menawarkan peluang besar untuk memberdayakan gereja demi pelayanan yang berdampak.36 Platform media sosial, misalnya, menyediakan jalur yang kuat untuk berbagi iman, menawarkan dorongan, dan menghubungkan orang percaya secara global.25 Era digital kaya akan “peluang pemuridan digital” melalui studi Alkitab daring, podcast Kristen, dan layanan gereja virtual.25 Teknologi juga memungkinkan orang Kristen untuk secara aktif “menebus teknologi” untuk tujuan positif yang berorientasi pada Kerajaan Allah.37

Data menunjukkan bahwa ekonomi digital, meskipun menawarkan peluang besar untuk koneksi dan misi, juga menghadirkan tantangan etika yang mendalam terkait privasi, keamanan data, dan keadilan algoritmik.26 Konsep biblika tentang  shalom (kesejahteraan holistik, perdamaian, keadilan) adalah tujuan inti dari kerajaan Allah.2

Menerapkan shalom ke ranah digital menyiratkan memastikan bahwa sistem dan praktik digital berkontribusi pada kemajuan semua orang, terutama yang rentan, dan tidak melanggengkan ketidakadilan atau eksploitasi. Ini berarti bahwa teologi wirausaha Kristen di era digital harus secara aktif mengejar “shalom digital.”

Ini adalah keharusan misi yang melampaui pilihan etika individu untuk mengadvokasi dan membangun struktur digital sistemik yang adil, merata, dan melindungi martabat manusia. Ini menyiratkan bahwa pasar digital Kristen seperti Tokogereja.com harus tidak hanya menguntungkan tetapi juga secara aktif mengatasi masalah keadilan data dan perlindungan pengguna, menjadi model untuk keterlibatan digital yang etis. Ini adalah hubungan sebab-akibat: risiko etika inheren dari ekonomi digital (penyebab) memerlukan pengejaran proaktif keadilan/shalom digital (akibat) sebagai tujuan misi.

Kewirausahaan Misioner dan Strategi Digital

Konsep “kewirausahaan misioner” dan bagaimana keterlibatan digital strategis dapat secara signifikan meningkatkan dampak dan jangkauannya.

Definisi Kewirausahaan Misioner: Bisnis misioner pada dasarnya adalah bisnis yang secara sengaja memanfaatkan sumber dayanya untuk terlibat dalam “pekerjaan Kerajaan Allah”.13 Ini dicirikan oleh integrasi mendalam antara tujuan dan keuntungan, mewakili “sikap, bukan promosi”.13 Keberhasilan dalam konteks ini tidak hanya diukur dengan metrik finansial (“angka”) tetapi dengan dampak transformatif pada “nama—orang sungguhan, kisah nyata, transformasi nyata”.13 Bisnis semacam itu memengaruhi pelanggan, karyawan, dan komunitas yang lebih luas secara positif, menyelaraskan semua operasi dengan pernyataan misi intinya.38

Manifestasi Praktis: Kewirausahaan misioner terwujud dalam berbagai cara: manajer proyek yang dipimpin Roh Kudus yang berhenti sejenak untuk berdoa bersama rekan kerja; anggota staf yang menggunakan waktu liburan untuk perjalanan misi; bisnis yang memberikan secara murah hati tidak hanya dari keuntungan mereka tetapi dari tujuan inti mereka; dan perwujudan kemurahan hati, keramahan, integritas, dan kreativitas yang memuliakan Sang Pencipta.13

Contoh konkret termasuk agen real estate yang menyumbangkan sebagian dari setiap penjualan kepada pelayanan lokal, kedai kopi yang menyelenggarakan malam ibadah dan melayani tunawisma, dan agensi desain yang membantu gereja-gereja meningkatkan jangkauan daring mereka.13

Digitalisasi Misi: Era digital menyajikan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk perluasan Injil, membuat “penyebaran Kabar Baik semudah menyalakan perangkat digital terdekat Anda”.36 Transformasi digital, dalam konteks ini, melibatkan adopsi strategis teknologi digital untuk inovasi, meningkatkan pengalaman pengguna, dan meningkatkan efisiensi di berbagai aspek pelayanan, komunikasi, dan evangelisme.37 Ini dapat menyederhanakan tugas operasional, menghasilkan penghematan sumber daya yang signifikan seperti waktu dan uang.37

Peran Teknologi: Teknologi berfungsi sebagai pendorong yang kuat, memberdayakan gereja untuk memenuhi misinya secara lebih efektif.36 Alat-alat yang muncul, termasuk aplikasi kecerdasan buatan, tren media sosial yang berkembang, dan ruang realitas virtual, membuka jalan baru untuk penyebaran dan keterlibatan Injil.37 Orang Kristen dipanggil untuk secara aktif “menebus teknologi” untuk tujuan positif yang berorientasi pada Kerajaan Allah.37

Aktivasi Gereja dan Umat Awam: “99 persen” dari gereja—mereka yang tidak terlibat dalam pelayanan kejuruan penuh waktu—juga dipanggil untuk beradaptasi dan merangkul transformasi digital di tempat kerja mereka dan untuk usaha misioner.37 Inovasi dalam misi menyiratkan menggerakkan orang melampaui kesadaran belaka ke dalam tindakan nyata, memanfaatkan keahlian pasar dan teknologi mereka di luar empat dinding bangunan gereja tradisional.37

Kewirausahaan misioner berfungsi sebagai katalisator untuk transformasi digital holistik. Ini mengintegrasikan iman, bisnis, dan teknologi untuk mengatasi kebutuhan masyarakat, bergerak melampaui evangelisme tradisional menuju dampak Kerajaan Allah yang lebih luas. Ini adalah pendekatan yang memungkinkan gereja untuk tidak hanya beradaptasi dengan era digital tetapi juga untuk secara proaktif membentuknya, memastikan bahwa teknologi digunakan untuk kemuliaan Allah dan kebaikan sesama.

5. Tokogereja.com sebagai Manifestasi Teologi Wirausaha di Era Digital

Tokogereja.com, sebagai marketplace daring yang berfokus pada komunitas Kristen, dapat dianalisis sebagai manifestasi konkret dari teologi wirausaha di era digital. Platform ini, meskipun detail spesifik mengenai visi dan misinya tidak sepenuhnya tersedia dalam materi yang diberikan 39, dapat diasumsikan beroperasi dengan tujuan memfasilitasi aktivitas ekonomi Kristen, mendukung pelayanan, dan mempromosikan perdagangan yang etis dalam komunitas iman.

Analisis Manifestasi Prinsip Teologi Wirausaha

Penerapan Mandat Penciptaan dan Panggilan Kerja: Tokogereja.com memungkinkan umat Kristen untuk secara aktif memenuhi mandat penciptaan dengan menggunakan talenta dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai melalui produksi barang dan jasa.2 Dengan menyediakan platform bagi individu untuk berwirausaha, situs ini memfasilitasi penciptaan lapangan kerja dan pengelolaan sumber daya yang bijaksana, yang pada gilirannya dapat menghasilkan shalom dalam komunitas.2

Ini juga mendukung gagasan Dorothy Sayers bahwa pekerjaan adalah aktivitas kreatif yang memungkinkan manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, untuk menemukan makna dan memuliakan Tuhan.11 Melalui Tokogereja.com, pekerjaan sehari-hari para penjual dan pembeli diangkat menjadi bagian dari panggilan ilahi mereka.

Refleksi Kontribusi Teolog:

  • John Calvin: Tokogereja.com mencerminkan doktrin panggilan Calvin dengan memberikan martabat pada semua jenis pekerjaan, baik itu menjual buku rohani, kerajinan tangan, atau layanan digital. Ini menunjukkan bahwa setiap aktivitas ekonomi yang dilakukan dengan integritas dapat menjadi sarana pelayanan kepada Tuhan.15 Konsep anugerah umum Calvin juga relevan, karena platform ini dapat memungkinkan kolaborasi antara orang Kristen dan non-Kristen dalam rantai pasok atau layanan teknis, semuanya demi kebaikan bersama.15
  • Abraham Kuyper: Dalam kerangka kedaulatan lingkup Kuyper, Tokogereja.com beroperasi sebagai entitas dalam lingkup ekonomi yang memiliki integritas dan otoritasnya sendiri di bawah kedaulatan Kristus.17 Ini berarti platform tersebut dapat mengejar tujuan ekonominya secara etis tanpa campur tangan yang tidak semestinya dari gereja atau negara dalam operasional internalnya, selama tetap selaras dengan prinsip-prinsip ilahi.18
  • Dorothy Sayers: Platform ini mendorong kewirausahaan sebagai aktivitas kreatif, di mana para penjual dapat mengekspresikan bakat dan inovasi mereka dalam membuat produk atau layanan, melampaui sekadar motif keuntungan.11 Ini juga dapat menjadi antitesis terhadap konsumerisme boros dengan mempromosikan produk yang bermakna dan etis.
  • Paus Yohanes Paulus II: Tokogereja.com dapat mengadopsi pandangan Paus Yohanes Paulus II yang mengakui legitimasi keuntungan sebagai indikator efisiensi bisnis, tetapi juga menekankan pentingnya faktor-faktor manusia dan moral, seperti perlakuan adil terhadap penjual dan pembeli, serta transparansi.21

Integrasi Etika Digital: Sebagai marketplace daring, Tokogereja.com memiliki tanggung jawab besar untuk menerapkan etika digital Kristen. Ini mencakup:

  • Privasi dan Keamanan Data: Platform ini harus memastikan perlindungan data pribadi pengguna (penjual dan pembeli) dengan standar keamanan yang tinggi, termasuk penggunaan enkripsi, dan mendapatkan persetujuan yang diinformasikan untuk pengumpulan data.26 Prinsip penatalayanan informasi yang etis, yang berakar pada penghargaan terhadap
    Imago Dei, menuntut penanganan data yang penuh kehati-hatian.26
  • Keadilan Harga dan Transparansi: Tokogereja.com harus berupaya memastikan keadilan dalam penetapan harga dan menghindari praktik diskriminatif yang dapat muncul dari algoritma.32 Transparansi dalam sumber produk, harga, dan pemasaran sangat penting untuk membangun kepercayaan konsumen.31
  • Integritas Digital: Platform ini harus mempromosikan interaksi yang jujur dan berintegritas, mencegah penyebaran misinformasi, dan memastikan bahwa semua transaksi dan komunikasi mencerminkan nilai-nilai Kristen.24

Misiologi Digital melalui Marketplace: Tokogereja.com memiliki potensi besar untuk memajukan misiologi di era digital.

  • Ini dapat memfasilitasi pemuridan digital dengan menyediakan akses ke produk-produk rohani, bahan studi Alkitab, atau bahkan layanan konseling daring.
  • Platform ini dapat menjadi sarana pembangunan komunitas dengan menghubungkan penjual dan pembeli Kristen, menciptakan ekosistem ekonomi yang saling mendukung.
  • Melalui penjualan produk yang mendukung pelayanan atau misi tertentu, Tokogereja.com dapat menjadi alat mobilisasi sumber daya untuk pekerjaan Kerajaan Allah.13
  • Platform ini dapat memberdayakan “99 persen” umat Kristen untuk terlibat dalam misi melalui keahlian pasar dan teknologi mereka, melampaui batasan fisik gereja.37

Tokogereja.com dapat dipandang sebagai mikrokosmos dari ekonomi Kerajaan Allah digital. Ini mengoperasionalkan prinsip-prinsip teologis secara nyata dan terukur, menunjukkan potensi ekosistem ekonomi baru di mana aktivitas ekonomi tidak hanya bertujuan untuk keuntungan tetapi juga untuk tujuan ilahi. Dengan mencontohkan prinsip-prinsip teologi wirausaha, platform ini dapat menjadi model bagi bisnis lain untuk mengintegrasikan iman dan praktik ekonomi, berkontribusi pada transformasi masyarakat secara lebih luas.

6. Dukungan Gereja dan Umat Kristen terhadap Tokogereja.com

Peran Gereja sebagai Pendukung dan Katalis

Secara historis, gereja seringkali memiliki “alergi” terhadap keterlibatan langsung dalam bisnis, memandang pengejaran keuntungan sebagai sesuatu yang tabu.1 Namun, ada pengakuan yang berkembang bahwa gereja tidak boleh tertinggal dalam pemikirannya tentang bisnis.1 Sebagaimana diungkapkan oleh Pendeta P.K. Rumambi dari GPIB, gereja perlu mengembangkan upaya-upaya ekonomi jemaat, bahkan dapat mengelola unit usaha seperti supermarket dengan tujuan yang jelas, asalkan dilandasi Firman Tuhan sehingga menjadi “Kristiani” dalam praktiknya.2

Gereja memegang peran sentral dalam kekristenan, tidak hanya sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai pusat kegiatan rohani, pendidikan, dan pelayanan sosial.41 Ketika konsep kewirausahaan diintegrasikan ke dalam dunia kekristenan, hal itu membuka peluang baru dan tantangan yang perlu dihadapi oleh gereja dalam memahami dan merespons fenomena ini.41 Gereja dapat menjadi agen penyadaran dan pembinaan bagi wirausaha rohaniwan, memberikan dukungan spiritual, etika, dan bimbingan untuk membantu mereka memahami peran mereka secara lebih mendalam dan mengintegrasikan prinsip-prinsip kekristenan ke dalam praktik bisnis mereka.41 Dengan demikian, gereja dapat menjadi pusat inovasi dan transformasi yang membawa dampak positif pada pelayanan gereja dan misi Kristen.41

Gereja dapat bertindak sebagai pendorong ekosistem bagi kewirausahaan Kristen. Ini berarti gereja dapat bergerak dari penerimaan pasif menjadi pembinaan aktif, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi bisnis misioner. Ini bukan hanya tentang memberikan persetujuan, tetapi secara aktif menyediakan sumber daya, bimbingan, dan jaringan yang diperlukan bagi umat Kristen untuk memulai dan mengembangkan usaha yang selaras dengan nilai-nilai iman. Gereja dapat menjadi fondasi yang kuat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi bagi jemaat dan masyarakat sekitar.1

Partisipasi Umat Kristen (Investor, Penjual, Pembeli)

Partisipasi umat Kristen dalam Tokogereja.com dapat terwujud dalam beberapa bentuk, masing-masing dengan implikasi teologis dan praktisnya sendiri.

Sebagai Investor: Umat Kristen, termasuk individu dan institusi gereja, dapat mendukung Tokogereja.com melalui investasi. Ada pertumbuhan minat dari investor Kristen, termasuk angel investor dan perusahaan modal ventura, yang beroperasi di Indonesia.42 Investasi semacam ini tidak hanya mencari pengembalian finansial tetapi juga dampak Kerajaan Allah yang terukur.44 Gereja-gereja sendiri dapat mempertimbangkan untuk mengelola dana atau berinvestasi dalam bisnis dengan tujuan yang jelas, seperti yang disarankan oleh beberapa pemimpin gereja.40 Penting bagi investor Kristen untuk memastikan bahwa investasi mereka selaras dengan prinsip-prinsip biblika, seperti keadilan, transparansi, dan tanggung jawab sosial.43

Sebagai Penjual: Tokogereja.com menyediakan platform bagi umat Kristen untuk menjadi penjual, memungkinkan mereka untuk menggunakan talenta dan sumber daya mereka untuk menciptakan produk atau jasa. Ini adalah manifestasi langsung dari panggilan kerja dan penatalayanan, di mana individu dapat menghasilkan pendapatan secara mandiri, menciptakan lapangan kerja, dan bahkan menyalurkan sebagian keuntungan untuk mendukung pelayanan atau misi.2 Konsep “pembuatan tenda” yang dilakukan Rasul Paulus untuk menopang pelayanannya 9 memberikan preseden biblika yang kuat bagi umat Kristen untuk terlibat dalam kegiatan bisnis guna mendukung kehidupan dan misi mereka.

Sebagai Pembeli: Partisipasi sebagai pembeli di Tokogereja.com juga merupakan bentuk dukungan yang signifikan. Dengan membeli dari sesama penjual Kristen, pembeli tidak hanya memenuhi kebutuhan mereka tetapi juga secara langsung mendukung ekonomi komunitas Kristen. Ini mendorong konsumsi etis, di mana pilihan pembelian dapat mencerminkan nilai-nilai iman seperti keadilan, keberlanjutan, dan dukungan terhadap usaha yang berintegritas.13 Tindakan membeli ini menjadi bagian dari pembangunan komunitas yang saling mendukung dan membiayai inisiatif Kerajaan Allah.

Pasar sebagai komunitas yang saling memajukan. Partisipasi aktif umat Kristen sebagai investor, penjual, dan pembeli di platform seperti Tokogereja.com mendorong ekosistem yang mandiri. Dalam ekosistem ini, aktivitas ekonomi secara langsung mendukung tujuan misi dan memperkuat komunitas Kristen. Ini menciptakan lingkaran kebajikan di mana keuntungan finansial dan dampak sosial saling memperkuat, mewujudkan visi shalom dalam ranah ekonomi.

Studi Kasus dan Asosiasi Bisnis Kristen

Berbagai gereja dan organisasi telah mulai mendukung inisiatif ekonomi Kristen. Misalnya, ada diskusi tentang bagaimana gereja dapat berbisnis untuk kemandirian dan pelayanan.1 Beberapa studi kasus menunjukkan gereja-gereja yang berupaya mengembangkan perekonomian jemaatnya dengan konsep “Teologi Perut” atau dengan mendorong pendeta dan jemaat untuk berwirausaha secara kreatif dan inovatif.1

Selain itu, terdapat asosiasi bisnis Kristen yang berperan penting dalam memfasilitasi dan mendukung kewirausahaan di kalangan umat percaya. CBMC International, misalnya, adalah asosiasi pemimpin bisnis dan profesional Kristen di lebih dari 90 negara yang bertujuan untuk memengaruhi pasar global dengan Injil, berfungsi sebagai “utusan Injil” dan “pembuat murid” di ranah bisnis.46 Indopartners Agency adalah organisasi nirlaba berbasis iman yang berfokus pada misi di Indonesia, mengembangkan jaringan mitra pelayanan, dan memiliki nilai-nilai inti seperti teologi yang berpusat pada Kristus dan strategi inovatif.47 Jaringan-jaringan ini dapat memberikan bimbingan, sumber daya, dan akuntabilitas bagi pengusaha Kristen, membantu mereka menavigasi tantangan dan memaksimalkan dampak.

Jaringan ekonomi berbasis iman yang kuat dapat memperkuat dampak, memberikan dukungan, dan menskalakan upaya misi melampaui usaha individu. Ini menciptakan sinergi di mana pengetahuan, pengalaman, dan modal dapat dibagikan, memungkinkan pertumbuhan yang lebih cepat dan dampak yang lebih luas bagi Kerajaan Allah.

7. Urgensi Teologi Wirausaha di Era Digital sebagai Sebuah Gerakan

Teologi wirausaha di era digital bukan sekadar konsep teoretis atau tren sesaat, melainkan sebuah gerakan yang mendesak dan krusial bagi gereja dan umat Kristen di masa kini. Urgensi ini berakar pada beberapa dimensi penting.

Pergeseran Paradigma yang Mendesak

Ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi dikotomi sakral-sekuler yang telah lama membatasi keterlibatan Kristen dalam dunia bisnis.1 Teologi wirausaha mendorong integrasi iman ke dalam semua lingkup kehidupan, termasuk ekonomi, mengakui bahwa “Allah berdaulat atas setiap inci persegi” kehidupan. Laju transformasi digital yang cepat menuntut adaptasi gereja agar tetap relevan dan efektif dalam misinya.37 Jika gereja gagal berinovasi dan bertransformasi secara digital, penyebaran Injil dapat terhambat.37 Oleh karena itu, pergeseran paradigma ini bukan hanya pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan relevansi dan dampak kekristenan di dunia yang terus berubah.

Mewujudkan Syalom dan Keadilan Sosial

Kewirausahaan, ketika dijiwai oleh prinsip-prinsip Kristen, menjadi sarana yang ampuh untuk mewujudkan shalom—kesejahteraan holistik—dan keadilan sosial. Bisnis dapat menjadi instrumen untuk mengatasi masalah masyarakat, menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mempromosikan kemakmuran yang adil.2 Ini melampaui sekadar mencari keuntungan; ini tentang menggunakan kreativitas dan inovasi untuk menghadirkan karakter kerajaan Tuhan di bumi. Di era digital, ini juga berarti mengatasi ketimpangan digital dan mempromosikan keadilan dalam ekonomi digital, memastikan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang adil untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari alat dan sistem digital.32

Pengembangan Misiologi Holistik

Gerakan teologi wirausaha mendorong pemahaman misiologi yang lebih holistik. Misi tidak lagi terbatas pada evangelisme tradisional, tetapi mencakup transformasi ekonomi dan sosial.13 Ini adalah panggilan bagi “99 persen” umat Kristen—mereka yang tidak dalam pelayanan penuh waktu—untuk mengaktifkan keahlian mereka di pasar dan teknologi untuk tujuan Kerajaan Allah.37 Ini berarti bahwa bisnis itu sendiri dapat menjadi platform misi, tempat di mana orang-orang bertemu Yesus dan di mana nilai-nilai Kerajaan Allah diwujudkan dalam praktik sehari-hari.13

Membangun Kemandirian dan Keberlanjutan Gereja

Secara praktis, teologi wirausaha menawarkan jalur menuju kemandirian dan keberlanjutan finansial bagi gereja dan pelayanannya. Dengan mengembangkan sumber pendapatan “di luar persembahan” 3, gereja dapat mengurangi ketergantungan pada model pendanaan tradisional yang mungkin tidak lagi memadai di masa kini.1 Ini memungkinkan gereja untuk lebih fleksibel, inovatif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat tanpa terhambat oleh keterbatasan finansial.

Visi eskatologis dari pasar yang diubah adalah bahwa teologi wirausaha tidak hanya pragmatis tetapi berakar pada visi Kerajaan Allah yang memengaruhi seluruh ciptaan. Ini menjadikannya gerakan untuk transformasi masyarakat. Ini adalah panggilan bagi gereja untuk tidak hanya beradaptasi dengan perubahan zaman tetapi untuk secara aktif membentuknya, sehingga setiap aspek kehidupan, termasuk ekonomi, dapat mencerminkan kemuliaan Allah.

8. Kesimpulan

Analisis Tokogereja.com dalam perspektif teologi wirausaha menunjukkan bahwa platform ini merupakan model yang signifikan untuk integrasi iman dan praktik bisnis di era digital. Teologi wirausaha, yang berakar pada mandat penciptaan, panggilan kerja, dan kontribusi teolog-teolog terkemuka seperti Calvin, Kuyper, Sayers, dan Paus Yohanes Paulus II, memberikan landasan yang kokoh bagi umat Kristen untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi bukan hanya untuk keuntungan, tetapi untuk memuliakan Tuhan dan melayani sesama.

Penerapan prinsip-prinsip etika bisnis Kristen—terutama integritas, keadilan, penatalayanan data, dan tujuan yang melampaui laba—menjadi sangat krusial dalam lanskap digital yang kompleks. Tantangan privasi, keamanan data, dan keadilan algoritmik menuntut pendekatan proaktif untuk mewujudkan “shalom digital”, memastikan bahwa teknologi melayani kemanusiaan dan bukan sebaliknya. Tokogereja.com, dengan potensinya untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi etis dan misiologi digital, menjadi contoh bagaimana marketplace daring dapat menjadi sarana untuk pekerjaan Kerajaan Allah, memberdayakan umat Kristen sebagai penjual, pembeli, dan bahkan investor.

Dukungan gereja dan partisipasi aktif umat Kristen sangat penting untuk keberhasilan inisiatif semacam ini. Gereja perlu bertransformasi dari sikap “alergi” menjadi katalisator dan pendukung kewirausahaan, menyediakan bimbingan etis dan spiritual. Partisipasi umat Kristen, baik sebagai investor, penjual, maupun pembeli, akan membangun ekosistem ekonomi yang saling mendukung dan berkelanjutan, memperkuat komunitas iman.

Pada akhirnya, teologi wirausaha di era digital adalah gerakan yang mendesak karena ia menawarkan pergeseran paradigma yang krusial bagi gereja untuk tetap relevan dan berdampak. Ini adalah jalan untuk mewujudkan shalom dan keadilan sosial, mengembangkan misiologi yang holistik, dan membangun kemandirian gereja di tengah tantangan zaman. Dengan merangkul teologi wirausaha, umat Kristen dapat secara aktif berpartisipasi dalam transformasi dunia, menjadikan setiap aspek kehidupan sebagai arena untuk memuliakan Allah.

Karya yang dikutip

  1. GEREJA BERWIRAUSAHA Kajian tentang Pendekatan-Pendekatan Teologis Kewirausahaan (Entrepreneurship) Gereja Kristen Protestan di B – Repositori UKDW, diakses Juli 1, 2025, https://repository.ukdw.ac.id/4086/1/01160057_bab1_bab5_daftarpustaka.pdf
  2. Kajian Teologi Kewirausahaan terhadap Pemahaman Jemaat GPIB Jemaat Solo Utara Surakarta tentang Pembangunan Ekonomi Gereja Oleh, diakses Juli 1, 2025, https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/18183/2/T1_712014007_Full%20text.pdf
  3. Teologi Kewirausahaan Kewirausahaan | PDF – Scribd, diakses Juli 1, 2025, https://id.scribd.com/document/628862288/Teologi-Kewirausahaan-Kewirausahaan
  4. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Pengertian Wirausaha dan Kewirausahaan – Elibrary Unikom, diakses Juli 1, 2025, https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/3608/8/11.%20UNIKOM_Yudi%20S_Bab%20-II.pdf
  5. 25 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kewirausahaan Secara, diakses Juli 1, 2025, https://repository.uin-suska.ac.id/2782/4/BAB%20III.pdf
  6. Kel 2 Kewirausahaan | PDF – Scribd, diakses Juli 1, 2025, https://www.scribd.com/document/764341491/KEL-2-KEWIRAUSAHAAN
  7. Teologi Kewirausahan: Menumbuhkan Jiwa Kewirausahaan dengan Landasan Teologis | Hengki Irawan Setia – Kubuku, diakses Juli 1, 2025, https://kubuku.id/detail/teologi-kewirausahan-menumbuhkan-jiwa-kewirausahaan-dengan-landasan-teologis/86287
  8. menumbuhkan jiwa kewirausahaan dengan landasan teologis / Hengki Irawan Setia Budi | Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, diakses Juli 1, 2025, https://balaiyanpus.jogjaprov.go.id/opac/detail-opac?id=348014
  9. Teologi Kewirausahaan | PDF – Scribd, diakses Juli 1, 2025, https://id.scribd.com/document/501193643/TEOLOGI-KEWIRAUSAHAAN
  10. LANDASAN TEOLOGIS DAN PERILAKU ETIS BISNIS KRISTEN | Family First Indonesia, diakses Juli 1, 2025, https://www.familyfirstindonesia.org/artikel/landasan-teologis-dan-perilaku-etis-bisnis-kristen
  11. Why Work? (Comments on Dorothy Sayers’ Famous Essay), diakses Juli 1, 2025, https://faithandenterprise.org/why-work-dorothy-sayers
  12. To Labour Is to Love – Comment Magazine, diakses Juli 1, 2025, https://comment.org/to-labour-is-to-love/
  13. What Is a Missional Business? – Epic Life Creative, diakses Juli 1, 2025, https://www.epiclifecreative.com/what-is-a-missional-business/
  14. History of Work Ethic–4.Protestantism and the Protestant Ethic, diakses Juli 1, 2025, http://workethic.coe.uga.edu/hpro.html
  15. John Calvin’s Contribution to the Biblical Doctrine of Work, diakses Juli 1, 2025, https://tifwe.org/john-calvin-doctrine-of-work/
  16. Jean Calvin: the father of capitalism? – The Gospel Coalition, diakses Juli 1, 2025, https://www.thegospelcoalition.org/themelios/article/jean-calvin-the-father-of-capitalism/
  17. Abraham Kuyper and the Law – The Kirby Laing Centre, diakses Juli 1, 2025, https://kirbylaingcentre.co.uk/abraham-kuyper-and-the-law/
  18. Sphere sovereignty – Wikipedia, diakses Juli 1, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Sphere_sovereignty
  19. Sphere Sovereignty (eBook) – Monergism |, diakses Juli 1, 2025, https://www.monergism.com/sphere-sovereignty-ebook
  20. SPHERE SOVEREIGNTY (A public address delivered at the inauguration of the Free University, Oct. 20, 1880) by Dr. Abraham Kuyper, diakses Juli 1, 2025, https://media.thegospelcoalition.org/wp-content/uploads/2017/06/24130543/SphereSovereignty_English.pdf
  21. Pope John Paul II On Profit, Government And Charity – Forbes, diakses Juli 1, 2025, https://www.forbes.com/sites/stuartanderson/2015/09/22/pope-john-paul-ii-on-profit-government-and-charity/
  22. Centesimus Annus by John Paul II | EBSCO Research Starters, diakses Juli 1, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/literature-and-writing/centesimus-annus-john-paul-ii
  23. Business By The Book: Complete Guide of Biblical Principles for the Workplace by Larry Burkett | Goodreads, diakses Juli 1, 2025, https://www.goodreads.com/book/show/239683.Business_By_The_Book
  24. 8 Principles for Effective Christian Business Leadership | CCU Online, diakses Juli 1, 2025, https://www.ccu.edu/blogs/cags/2012/02/what-makes-a-good-christian-business-leader-8-principles-to-live-by/
  25. Christian and Technology | Hopelify Media, diakses Juli 1, 2025, https://hopelify.org/christian-and-technology/
  26. What biblical principles apply to privacy and data security? – Bible Chat AI, diakses Juli 1, 2025, https://biblechat.ai/knowledgebase/christian-living/modern-issues/what-biblical-principles-apply-privacy-data-security/
  27. How to Apply Christian Ethics to Business Practices – Bluefield University, diakses Juli 1, 2025, https://www.bluefield.edu/blog/importance-christian-ethics-business/
  28. (PDF) Biblical Foundations of Business Ethics – ResearchGate, diakses Juli 1, 2025, https://www.researchgate.net/publication/256068834_Biblical_Foundations_of_Business_Ethics
  29. Should Shopping Ethically Matter to Christians? – Crosswalk.com, diakses Juli 1, 2025, https://www.crosswalk.com/slideshows/should-shopping-ethically-matter-to-christians.html
  30. Ethical Challenges of Integrating Digital Technology into Church Leadership and Discipleship – International Journal of Research and Innovation in Social Science, diakses Juli 1, 2025, https://rsisinternational.org/journals/ijriss/articles/ethical-challenges-of-integrating-digital-technology-into-church-leadership-and-discipleship/
  31. Faith based e commerce: Faith in Business: Navigating the Challenges of Faith based E commerce – FasterCapital, diakses Juli 1, 2025, https://fastercapital.com/content/Faith-based-e-commerce–Faith-in-Business–Navigating-the-Challenges-of-Faith-based-E-commerce.html
  32. Digital Economy Justice → Term – Lifestyle → Sustainability Directory, diakses Juli 1, 2025, https://lifestyle.sustainability-directory.com/term/digital-economy-justice/
  33. Justice in the Global Digital Economy – Johannes Himmelreich, diakses Juli 1, 2025, https://johanneshimmelreich.net/papers/justice-in-the-global-digital-economy.pdf
  34. A Christian Ethic for Business, diakses Juli 1, 2025, https://hc.edu/center-for-christianity-in-business/2025/02/07/a-christian-ethic-for-business/
  35. State Data-Driven Pricing Bans Would Backfire on Consumers – Center for Data Innovation, diakses Juli 1, 2025, https://datainnovation.org/2025/06/state-bans-on-data-driven-pricing-would-hurt-the-consumers-they-aim-to-protect/
  36. Digital Mission: Fulfilling the Great Commission in the Digital Age with Ricky George, diakses Juli 1, 2025, https://lausanne.org/podcast/digital-mission-fulfilling-the-great-commission-in-the-digital-age-with-ricky-george
  37. The Need for Innovation and Digital Transformation – ChinaSource, diakses Juli 1, 2025, https://www.chinasource.org/resource-library/articles/the-need-for-innovation-and-digital-transformation/
  38. Missional Business – What Is A Missional Business? – Joshua Jarvis, diakses Juli 1, 2025, https://jrjarvis.com/missional-business/
  39. Tokogereja.com: Front Page, diakses Juli 1, 2025, https://tokogereja.com
  40. Bolehkah Gereja Berbisnis? Mari, Simak Kata Pendeta P. K. Rumambi – Arcus GPIB, diakses Juli 1, 2025, https://arcusgpib.com/bolehkah-gereja-berbisnis-mari-simak-kata-pendeta-p-k-rumambi/
  41. ANALISA PERAN ENTREPRENEURSHIP BAGI PELAYANAN GEREJAWI BERDASARKAN KISAH PARA RASUL, diakses Juli 1, 2025, https://ejurnal.stepsmg.ac.id/home/article/download/173/99/635
  42. C K – Agriculture Business Angel in Jakarta, Indonesia, diakses Juli 1, 2025, https://www.investmentnetwork.cn/angel-investors/christian-k-angel-investor-jakarta-indonesia-836145
  43. Angel Christian Investor, diakses Juli 1, 2025, http://www.invstor.com/information/angel-investors/angel-christian-investor
  44. Venture Capital – Faith Driven Investor, diakses Juli 1, 2025, https://www.faithdriveninvestor.org/venture-capital
  45. Henry Kaestner – Faith Driven Investor, diakses Juli 1, 2025, https://www.faithdriveninvestor.org/bios/henry-kaestner
  46. CBMC International: Transforming the Global Marketplace with the Gospel, diakses Juli 1, 2025, https://www.cbmcint.com/
  47. Who We Are – Indopartners, diakses Juli 1, 2025, https://www.indopartners.com/who-we-are/

About the CED Network, diakses Juli 1, 2025, https://www.cednetwork.org/about.html

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!