Manifesto Hidup Warga Kerajaan Allah di Era Digital: Sebuah Telaah Mendalam atas Khotbah di Bukit

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M,Si.

Abstrak

Artikel ini mengeksplorasi Khotbah di Bukit (Matius 5-7) sebagai manifesto fundamental bagi kehidupan warga Kerajaan Allah, khususnya dalam konteks era digital.

Dimulai dengan analisis mendalam tentang latar belakang historis, moral, etis, dan teologis Khotbah di Bukit, tulisan ini menyoroti bagaimana ajaran Yesus berfungsi sebagai cetak biru untuk transformasi internal dan eksternal.

Kami mengkaji berbagai pandangan teolog terkemuka seperti John Stott, Dietrich Bonhoeffer, dan Agustinus, serta perspektif filosofis mengenai relevansi Khotbah di Bukit.

Bagian inti artikel ini adalah reinterpretasi Khotbah di Bukit di tengah tantangan dan peluang era digital, termasuk implikasinya terhadap etika Kristen, kepemimpinan, dan pendidikan karakter di ranah daring.

Artikel ini ditutup dengan refleksi teologis yang kuat, memberikan landasan moral, etis, teologis, dan historis yang kokoh bagi umat Kristen dan gereja dalam menjalani kehidupan iman yang otentik dan relevan di dunia yang semakin terhubung secara digital.

Tujuannya adalah mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang panggilan Kristen untuk menjadi “garam dan terang” di tengah kompleksitas modern.


Daftar Isi

I. Pendahuluan: Khotbah di Bukit sebagai Manifesto Kerajaan Allah

A. Urgensi Memaknai Khotbah di Bukit di Era Digital

B. Khotbah di Bukit: Sebuah Deklarasi Nilai dan Etika Kehidupan Kristen

II. Latar Belakang Konteks Khotbah di Bukit: Fondasi Moral, Etis, Teologis, dan Historis

A. Konteks Historis dan Sosio-Politik Abad Pertama

B. Landasan Moral dan Etis: Melampaui Taurat Lahiriah

C. Fondasi Teologis: Hakikat Kerajaan Allah dan Keadilan Ilahi

III. Pandangan Teolog dan Filsuf tentang Khotbah di Bukit

A. Perspektif Teologis Klasik dan Modern

1. John Stott: “Kontra-Budaya Kristen”

2. Dietrich Bonhoeffer: “Anugerah Berharga” dan Ketaatan Konkret

3. Agustinus dari Hippo: Standar Kehidupan Kristen yang Sempurna

4. Berbagai Aliran Interpretasi (Idealisme, Lutheran, Dispensasionalisme, dll.)

B. Refleksi Filosofis dan Etika Universal Khotbah di Bukit

IV. Memaknai Kembali Khotbah di Bukit di Era Digital

A. Tantangan dan Peluang Kekristenan di Ruang Digital

B. Etika Digital Berdasarkan Khotbah di Bukit: Kejujuran, Kasih, dan Integritas Online

C. Kepemimpinan Kristen dan Karakter Digital

D. Pendidikan Karakter Kristen dalam Konteks Digital

V. Refleksi Teologis: Hidup Kekristenan di Era Digital

A. Panggilan untuk Menjadi Garam dan Terang di Dunia Maya

B. Menjaga Keseimbangan Spiritual dan Realitas Digital

C. Implikasi bagi Individu Kristen dan Gereja dalam Menghadapi “Multikonfusi” Digital

D. Langkah Praktis dan Rekomendasi bagi Umat dan Gereja

VI. Kesimpulan


1. Pendahuluan: Khotbah di Bukit sebagai Cetak Biru Kehidupan Kerajaan Allah

Khotbah di Bukit (KdB), yang tercatat dalam Injil Matius pasal 5-7, diakui secara luas sebagai representasi etika Kristen yang paling mendalam dan ringkasan ajaran Yesus yang paling komprehensif.1 Pengaruhnya melampaui batas-batas kekristenan, bahkan menginspirasi tokoh-tokoh non-Kristen seperti Mahatma Gandhi dalam perjuangan anti-kekerasan.1 KdB berfungsi sebagai “manifesto” yang menantang pandangan dunia konvensional dan mengusulkan standar hidup yang jauh lebih tinggi.3

John Stott menggambarkan KdB sebagai “delineasi terlengkap di seluruh Perjanjian Baru tentang kontra-budaya Kristen,” menyajikan sistem nilai Kristen, standar etika, pengabdian religius, sikap terhadap uang, ambisi, gaya hidup, dan jaringan hubungan yang “sama sekali bertentangan dengan yang ada di dunia non-Kristen”.4 Kontra-budaya Kristen ini mewujudkan “kehidupan Kerajaan Allah, suatu kehidupan yang sepenuhnya manusiawi namun dijalani di bawah pemerintahan ilahi”.4

Ajaran-ajaran dalam KdB sering digambarkan sebagai “anti arus utama” dan sulit dicerna atau diimplementasikan, bahkan bagi orang Kristen itu sendiri.1 Hal ini menuntut pemuridan yang radikal yang secara jelas membedakan pengikut Kristus dari norma-norma masyarakat yang berlaku.5 Tema sentral KdB adalah Kerajaan Allah 4, yang menuntut transformasi fundamental dalam hidup dan pandangan dunia dari para penganutnya.6

Identifikasi KdB sebagai “manifesto” dan “kontra-budaya Kristen” secara konsisten menunjukkan bahwa tujuannya bukan sekadar mendeskripsikan suatu ideal, melainkan untuk menentukan dan mengubah. Ini menyerukan cara hidup yang aktif yang menantang dan menawarkan alternatif yang meyakinkan terhadap nilai-nilai budaya yang berlaku. Ini berarti bahwa KdB dirancang untuk menciptakan dampak sosial yang nyata melalui transformasi individu dan komunal, melampaui kesalehan pribadi semata. Pemahaman ini sangat penting untuk penerapannya di era digital, di mana norma-norma digital sering membentuk budaya arus utama, sehingga menuntut sikap kontra-budaya yang disengaja dari orang-orang percaya.

Persepsi tentang kesulitan atau sifat “tidak realistis” (seperti dalam pandangan idealistik 1) dari ajaran KdB bukanlah suatu kekurangan dalam desainnya. Sebaliknya, ini berfungsi sebagai mekanisme yang disengaja untuk mendorong orang-orang percaya melampaui kemampuan manusiawi alami dan ketergantungan pada diri sendiri.

Ketegangan yang melekat ini menunjukkan perlunya anugerah ilahi (seperti yang ditekankan oleh pandangan Lutheran 1) dan reorientasi nilai-nilai yang radikal. Ini menggarisbawahi bahwa hidup sebagai warga Kerajaan pada dasarnya adalah upaya supranatural, yang membutuhkan ketergantungan yang mendalam pada Allah, sehingga mempersiapkan panggung untuk memahami kedalaman spiritual yang diperlukan untuk menerapkan manifesto ini di era digital yang kompleks.

2. Latar Belakang Kontekstual Khotbah di Bukit (Matius 5-7)

Historis

Khotbah di Bukit merupakan kompilasi unik yang tercatat dalam Injil Matius pasal 5-7.1 Dinamakan demikian karena Yesus menyampaikannya di sebuah bukit dekat Kapernaum 7 kepada banyak orang yang mengikuti-Nya.6 Audiensnya tidak hanya mencakup murid-murid-Nya (Matius 5:1) tetapi juga orang banyak (Matius 4:25), yang semuanya dipersiapkan untuk hidup sebagai pengikut Kristus dan untuk mengajar orang lain.7

Konteks sosial-politik Yudea dan Galilea pada abad pertama didominasi oleh “kode kehormatan,” di mana kehormatan dianggap sebagai komoditas paling berharga dalam masyarakat, yang menentukan status keluarga.18 Yesus secara langsung menantang pandangan dunia yang berlaku ini, menawarkan sistem nilai yang melampaui ajaran etika dan agama yang ada.3

Para pemimpin agama pada masa itu, seperti orang Farisi dan ahli Taurat, sering dicirikan oleh kesombongan dan ketaatan legalistik mereka terhadap Hukum Taurat.6 Yesus secara eksplisit mengkonfrontasi kemunafikan mereka dalam ritual keagamaan seperti memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa (Matius 6:1-18), menekankan ketulusan di atas penampilan publik.6

Injil Matius ditulis terutama untuk orang Kristen Yahudi yang telah diusir dari sinagoge. Komunitas ini membentuk kelompok-kelompok baru untuk menyebarkan ajaran Yesus kepada orang-orang bukan Yahudi dan orang-orang berbahasa Yunani.7 Konteks historis ini menyoroti kebutuhan akan identitas dan praktik keagamaan baru yang berbeda dari struktur Yahudi tradisional.

Moral dan Etis

KdB membahas kekurangan etika orang Farisi, yang secara kaku berpegang pada hukum Taurat tetapi gagal memahami penggenapan maknanya yang lebih dalam.9 Yesus menyatakan bahwa kecuali kebenaran pengikut-Nya melampaui kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, mereka tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga (Matius 5:20).9

Yesus tidak datang untuk meniadakan Hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya, yang berarti mengungkapkan dan secara sempurna melaksanakan makna terdalamnya.6 Ini melibatkan reinterpretasi radikal Hukum Taurat, bergerak melampaui pemahaman literal ke semangat esensialnya.6 Contoh-contoh kunci meliputi:

  • Pembunuhan: Mengutuk tidak hanya tindakan membunuh tetapi juga memendam kemarahan atau kebencian dalam hati (Matius 5:21-22).6
  • Perzinahan: Meluas melampaui tindakan fisik hingga mencakup pikiran atau keinginan yang penuh nafsu (Matius 5:27-28).6
  • Sumpah Palsu: Menekankan kejujuran mutlak, di mana “ya” berarti ya dan “tidak” berarti tidak (Matius 5:33-37).6
  • Pembalasan: Melampaui “mata ganti mata,” mengajarkan ketahanan terhadap penderitaan dan tidak selalu bersikeras pada hak seseorang (Matius 5:38-42).6
  • Mengasihi Musuh: Meluaskan kasih bahkan kepada mereka yang menganiaya, mencerminkan kasih Allah yang tanpa syarat (Matius 5:43-48).6 Kasih
    agapao ini berusaha membebaskan musuh dari kebencian mereka sendiri.6

    Pembaruan ritual keagamaan (memberi sedekah, berdoa, berpuasa) harus berasal dari motivasi yang tulus, bukan keinginan untuk pengakuan publik (Matius 6:1-18).6

Teologis

Tema teologis sentral Khotbah di Bukit adalah Kerajaan Allah.4 Ini dianggap sebagai inti atau ringkasan ajaran Yesus, bahkan disebut sebagai “Kunci Kebahagiaan” atau “Magna Carta Kerajaan”.1 Konsep “transformasi” atau “pembaruan” adalah sangat penting.6 Transformasi ini mencakup kehidupan pribadi, interaksi sosial, serta spiritualitas individu dan komunal.6 Orang-orang percaya dipanggil untuk menjadi “garam dunia” dan “terang dunia” (Matius 5:13-16), memengaruhi masyarakat melalui perbuatan baik, keadilan, dan kehidupan yang benar, sehingga membawa kemuliaan bagi Allah.2 Niat teologis Injil Matius secara khusus ditujukan kepada orang Kristen Yahudi yang terpinggirkan dari sinagoge, menegaskan iman mereka dan membandingkan kehidupan doa mereka yang tulus dengan doa-doa performatif orang Farisi.7 Yesus mengajarkan doa yang tulus, bebas dari pengulangan kata-kata yang bertele-tele atau pamer diri (Matius 6:7-11).7

KdB secara langsung menantang kebenaran lahiriah dan legalistik yang lazim di kalangan orang Farisi.8 Sebaliknya, ia menekankan kebenaran yang berasal dari transformasi internal, tingkat hati.6

Ini bukan sekadar penambahan Hukum Musa tetapi reinterpretasi radikal yang mengungkapkan makna terdalamnya yang diilhami secara ilahi. Redefinisi kebenaran ini fundamental untuk memahami dan hidup sebagai warga Kerajaan. Ini menyatakan bahwa ketaatan sejati bukanlah daftar periksa tindakan eksternal, melainkan karakter yang diubah yang secara inheren menghasilkan perbuatan benar. Hal ini memiliki implikasi mendalam bagi cara orang Kristen menavigasi era digital, di mana penampilan luar, persona daring yang dikurasi, dan tampilan performatif (misalnya, “flexing” atau pamer kekayaan 19) dapat dengan mudah membayangi integritas internal yang sejati. “Kode kehormatan” abad pertama 18 yang ditentang Yesus, menemukan paralel modern yang mencolok dalam penekanan budaya digital pada “suka,” “pengikut,” dan validasi daring, membuat panggilan Yesus untuk kemurnian internal dan motivasi otentik menjadi lebih radikal dan kontra-budaya.

KdB disampaikan kepada kelompok inti murid dan kerumunan yang lebih besar dan beragam.6 Tujuan yang dinyatakan adalah untuk mempersiapkan mereka tidak hanya untuk hidup sebagai pengikut Kristus tetapi juga untuk mengajar orang lain.7 Audiens ganda dan tujuan eksplisit ini sangat signifikan.

Ini menunjukkan bahwa KdB bukan semata-mata panduan etika pribadi untuk pertumbuhan spiritual individu, tetapi juga membawa mandat misioner yang melekat. Transformasi internal yang dituntutnya pada individu (pemuridan) secara tak terpisahkan terkait dengan peran luar mereka sebagai “garam dan terang” 6, yang dimaksudkan untuk memengaruhi masyarakat dan menarik orang lain kepada Allah (penginjilan).

Oleh karena itu, menghidupi KdB di era digital bukan hanya tentang menjaga kemurnian moral pribadi secara daring; ini tentang secara aktif menunjukkan alternatif yang menarik dan seperti Kristus yang menarik orang lain ke dalam Kerajaan Allah, terutama di tengah tantangan yang meluas seperti berita palsu, hoaks, dan negativitas digital.2 Ini mengubah etika pribadi menjadi kesaksian publik.

3. Pandangan Teolog dan Filsuf tentang Khotbah di Bukit

Khotbah di Bukit telah memicu berbagai interpretasi teologis dan filosofis sepanjang sejarah, yang mencerminkan kedalaman dan tantangan ajarannya.

Pandangan Teologis

David Iman Santoso merangkum lima perspektif teologis yang berbeda tentang KdB 1:

  • Pandangan Idealistik: Menganggap ajaran-ajaran itu indah dan ideal, tetapi pada akhirnya tidak realistis atau tidak relevan untuk penerapan praktis.
  • Pandangan Lutheran: Menegaskan bahwa kemampuan untuk menghidupi ajaran-ajaran ini datang semata-mata melalui anugerah Allah, menekankan pemberdayaan ilahi di atas upaya manusia.
  • Pandangan Dispensasionalisme: Mengusulkan bahwa KdB tidak terutama dimaksudkan untuk era sekarang tetapi berfungsi sebagai etika eskatologis untuk era milenial di masa depan, meskipun mungkin masih memiliki relevansi moral di masa kini.
  • Pandangan Liberal: Menekankan perlunya upaya dan perjuangan manusia untuk menerapkan ajaran-ajaran KdB guna mewujudkan manfaatnya.
  • Pandangan Etika Interim: Berdasarkan keyakinan bahwa Yesus mengharapkan akhir dunia yang segera, sehingga menganjurkan ketaatan sementara waktu saat akhir zaman semakin dekat, membuat kekhawatiran materi menjadi kurang relevan.

John Stott memandang KdB sebagai gambaran paling komprehensif dari “kontra-budaya” Kristen, cara hidup yang “sama sekali bertentangan” dengan dunia non-Kristen.4 Ia menekankan dinamika teologis yang krusial: Hukum (termasuk KdB) mengarahkan orang berdosa kepada Kristus untuk pembenaran, dan Kristus kemudian mengarahkan orang percaya yang dibenarkan kembali kepada Hukum untuk pengudusan.4 Stott juga mengklarifikasi bahwa “makarios” (berbahagia) dalam Ucapan Bahagia menandakan penilaian dan perkenanan Allah yang objektif, bukan perasaan kebahagiaan yang subjektif.4

Stephen Tong mengkarakterisasi KdB sebagai “manifesto” yang secara mendalam mengguncang pemikiran manusia, mendahului bahkan Manifesto Komunis. Ia berpendapat bahwa ajaran Yesus di sini mengkonfrontasi pandangan dunia yang umum dan menetapkan standar hidup yang jauh lebih unggul daripada doktrin etika atau agama lainnya. Kedalaman ini menginspirasi bahkan non-Kristen seperti Mahatma Gandhi.3

Pandangan Filosofis/Etis

Agustinus dari Hippo menganggap KdB sebagai “standar sempurna kehidupan Kristen”.13 Dalam komentarnya, ia mengajukan pertanyaan mendasar: “Apakah secara manusiawi mungkin untuk mempraktikkan Ucapan Bahagia?”.13 Ia juga memberikan teologi doa yang ringkas dalam karyanya.13 Agustinus menafsirkan “berkabung” dalam Ucapan Bahagia sebagai kesedihan yang timbul dari hilangnya keterikatan duniawi, yang akan dihibur oleh Roh Kudus.20 Ia menyoroti bahwa orang yang berbelas kasihan akan memperoleh belas kasihan, dan pembawa damai akan disebut anak-anak Allah, karena mereka mencerminkan sifat Bapa, di mana tidak ada yang menawarkan perlawanan.20

Etika Dietrich Bonhoeffer sangat dibentuk oleh KdB, terutama dalam penentangannya yang awal dan tegas terhadap Hitler.21 Ia berpendapat bahwa mengikuti Kristus berarti secara aktif mengasihi dan beridentifikasi dengan “yang sakit, yang menderita, yang direndahkan dan dilecehkan, yang menderita ketidakadilan dan ditolak” 22, secara langsung menantang kebijakan Nazi. Ia terkenal mengkritik gereja-gereja yang mengabaikan KdB sebagai praktik “anugerah murah”.21 Namun, ada perdebatan ilmiah mengenai “ketidakhadiran yang aneh” dari tema eksplisit KdB dalam karyanya yang lebih baru, “Etika,” dengan beberapa menafsirkannya sebagai pergeseran dari non-kekerasan pasif menjadi secara aktif mengatasi kejahatan dengan kebaikan.21

McArthur mengidentifikasi 12 aliran pemikiran dasar mengenai KdB 15:

  • Pandangan Absolutis: Menafsirkan KdB sebagai penyampaian pesan yang tidak ambigu mengenai kesempurnaan moral dan ketahanan terhadap penganiayaan (misalnya, Anabaptis).
  • Modifikasi Teks: Secara historis, beberapa ahli Taurat mengubah teks untuk membuatnya lebih dapat diterima (misalnya, menambahkan “tanpa sebab” pada Matius 5:22).
  • Pandangan Hiperbola: Menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan tertentu dalam khotbah harus dipahami sebagai melebih-lebihkan yang tidak dimaksudkan secara harfiah (misalnya, mencungkil mata).
  • Pandangan Prinsip Umum: Yesus menawarkan pedoman perilaku yang luas daripada instruksi yang spesifik dan preskriptif.
  • Pandangan Standar Ganda: Populer di Abad Pertengahan, membagi ajaran menjadi ajaran umum (untuk semua) dan nasihat khusus (untuk kelompok terpilih, misalnya, klerus atau monastik).
  • Pandangan Dua Alam (Martin Luther): Memisahkan dunia menjadi alam religius dan sekuler; KdB berlaku secara eksklusif untuk alam spiritual, sementara alam sekuler mungkin memerlukan kompromi.
  • Pandangan Analogi Kitab Suci: Ajaran-ajaran KdB yang lebih ketat dimoderasi oleh bagian lain dari Perjanjian Baru (misalnya, “jadilah sempurna” tidak dapat literal karena semua orang berdosa).
  • Sikap, Bukan Tindakan: Berfokus pada sikap internal daripada tindakan eksternal, mengakui bahwa ketaatan penuh tidak dapat dicapai.
  • Pandangan Etika Interim (Albert Schweitzer): Yesus percaya bahwa dunia akan segera berakhir, sehingga kesejahteraan materi menjadi tidak relevan, dengan demikian kelangsungan hidup di dunia tidak penting.
  • Pandangan Kehendak Ilahi Tak Bersyarat (Martin Dibelius): Ajaran etika bersifat mutlak, tetapi keadaan dunia yang jatuh membuat manusia tidak mungkin sepenuhnya hidup sesuai dengannya; namun, manusia tetap terikat untuk berusaha mencapai ideal ini, dengan penggenapan ajaran ini diharapkan terjadi di dalam Kerajaan Surga.

Volume dan keragaman interpretasi yang luas, beberapa di antaranya tampaknya kontradiktif (misalnya, Idealistik vs. Lutheran 1, Absolutis vs. Hiperbola 15), merupakan bukti langsung dari sifat KdB yang mendalam dan menantang. Jika maknanya lugas atau mudah dicerna, upaya hermeneutis yang begitu luas untuk mendamaikan tuntutannya dengan realitas manusia tidak akan diperlukan. Spektrum interpretasi yang luas ini menunjukkan bahwa KdB bukanlah kode etik yang sederhana, melainkan tantangan teologis dan moral yang kompleks yang memaksa setiap generasi dan individu untuk secara aktif bergumul dengan tuntutan radikalnya.

Perdebatan ilmiah yang berkelanjutan tentang penerapan pastinya (misalnya, apakah itu hanya untuk era eskatologis di masa depan, atau membutuhkan upaya manusia segera, atau hanya dapat dicapai melalui anugerah ilahi) menggarisbawahi relevansinya yang abadi dan kebutuhan terus-menerus akan refleksi teologis yang mendalam dan kearifan spiritual dalam menerapkan prinsip-prinsipnya pada kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks baru seperti era digital. Ketegangan yang melekat antara anugerah ilahi dan tanggung jawab manusia, yang dicontohkan oleh pandangan Lutheran dan Liberal, muncul sebagai tantangan teologis sentral yang secara konsisten dibawa oleh KdB ke garis depan pemikiran Kristen.

Penerapan konkret prinsip-prinsip KdB oleh Dietrich Bonhoeffer untuk secara aktif menentang rezim Nazi 21 memberikan ilustrasi historis yang kuat. Kritik tajamnya terhadap “anugerah murah” 21 secara langsung menghubungkan pemahaman iman yang dangkal dengan kegagalan tindakan etis dalam menghadapi ketidakadilan. Ini menunjukkan bahwa ajaran KdB tidak terbatas pada kesalehan pribadi tetapi dapat (dan seharusnya) mendorong orang-orang percaya untuk menghadapi kejahatan dan ketidakadilan sistemik. Kehidupan dan teologi Bonhoeffer menunjukkan bahwa KdB, ketika dianut dengan komitmen sejati, dapat berfungsi sebagai katalisator yang kuat untuk mengembangkan hati nurani moral yang kuat yang diterjemahkan ke dalam tindakan sosial yang berani.

Di era digital, di mana ketidakadilan sosial, informasi yang salah yang meluas, cyberbullying, dan kebencian dapat menyebar dengan cepat dan global secara daring 19, contoh Bonhoeffer menyiratkan bahwa orang Kristen dipanggil tidak hanya untuk perilaku etis pribadi di ranah digital tetapi untuk secara aktif menantang dan melawan kekuatan negatif ini. Ini mungkin melibatkan pengambilan posisi yang tidak populer atau menghadapi dampak sosial, seperti yang dilakukan Bonhoeffer (“penjara dan kematian” 22). Ini menggeser penerapan KdB dari penghindaran pasif terhadap kejahatan digital menjadi keterlibatan aktif dan transformatif dalam mengatasi kejahatan dengan kebaikan di ranah daring.

Tabel 1: Perbandingan Pandangan Teolog dan Filsuf tentang Khotbah di Bukit

Nama Tokoh/AliranPandangan UtamaImplikasi Singkat
John StottKdB sebagai “kontra-budaya” Kristen; Hukum menuntun ke Kristus, Kristus ke Hukum untuk pengudusan.Menekankan perbedaan radikal gaya hidup Kristen; proses pembenaran dan pengudusan yang saling terkait. 4
David Iman Santoso (Idealistik)KdB indah dan ideal, tetapi tidak realistis/relevan.Ajaran yang inspiratif namun sulit diterapkan dalam praktik sehari-hari. 1
David Iman Santoso (Lutheran)Kemampuan menghidupi KdB hanya melalui anugerah Allah.Ketergantungan penuh pada kuasa ilahi untuk ketaatan. 1
David Iman Santoso (Dispensasionalisme)KdB tidak ditujukan untuk era ini, melainkan etika eskatologis masa depan, namun relevan secara moral.Relevansi moral yang terbatas untuk masa kini; penerapan penuh di masa depan. 1
David Iman Santoso (Liberal)Perlu usaha manusia untuk menjalankan KdB agar manfaatnya diperoleh.Penekanan pada tanggung jawab dan upaya manusia dalam ketaatan. 1
David Iman Santoso (Etika Interim)Berdasarkan kepercayaan ketaatan sementara waktu mendekati akhir zaman.Ketaatan yang didorong oleh ekspektasi akhir zaman yang dekat. 1
Augustine of HippoKdB adalah standar sempurna kehidupan Kristen; Ucapan Bahagia sebagai pedoman untuk praktik.Menekankan kemungkinan dan standar moral tinggi bagi pengikut Kristus. 13
Dietrich BonhoefferMenekankan ketaatan konkret pada KdB; melawan kejahatan sistemik; kritik “anugerah murah.”Mendorong ketaatan radikal yang berujung pada tindakan sosial melawan ketidakadilan. 21
McArthur (Absolutis)KdB sebagai pesan tak ambigu tentang kesempurnaan moral dan ketahanan terhadap penganiayaan.Tuntutan ketaatan literal dan tanpa kompromi. 15
McArthur (Dua Alam)KdB berlaku di ranah spiritual; kompromi mungkin diperlukan di ranah sekuler.Memisahkan etika spiritual dari tuntutan praktis duniawi. 15

4. Memaknai Kembali Khotbah di Bukit di Era Digital

Tantangan dan Peluang Era Digital

Era digital telah membawa perubahan signifikan di berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan interaksi sosial.11 Meskipun teknologi digital menawarkan kemudahan yang luar biasa, penggunaannya yang tidak bertanggung jawab dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang substansial.23

Disinformasi dan Misinformasi: Platform media sosial seringkali menyimpang dari fungsi yang dimaksudkan, menjadi saluran penyebaran kebencian, cyberbullying, isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), pornografi, berita palsu, hoaks, dan misinformasi umum.19 Penyalahgunaan yang meluas ini mengikis perilaku etis dan moral dalam interaksi daring.19 Tantangan yang ditimbulkan oleh berita palsu dan hoaks tersebar luas di media sosial.2

Hilangnya Fokus Ibadah: Penggunaan teknologi digital yang tidak bijaksana di dalam gereja seringkali mengalihkan fokus utama jemaat selama ibadah, menggeser perhatian dari Tuhan ke teknologi itu sendiri.23 Hal ini secara signifikan menghambat pertumbuhan rohani.23 Analogi yang tepat diambil dari dekadensi ibadah Israel dalam Kitab Hakim-hakim, di mana fokus ibadah bergeser dari Tuhan ke berhala.23

“Teknologifikasi Gereja”: Pandemi COVID-19 mempercepat migrasi gereja ke ruang virtual, memengaruhi spiritualitasnya dalam eksistensi ganda (fisik dan virtual).2 Teknologi telah menjadi jembatan antara dimensi material dan spiritual gereja, berfungsi sebagai alat yang ampuh untuk penginjilan.12 Namun, ada risiko signifikan spiritualitas menjadi dangkal atau “kosong” jika terlalu terserap oleh teknologi modern.12 Tren spiritualitas yang berafiliasi dengan teknologi di kalangan orang percaya kini sebagian besar tidak dapat dihindari.12

Dampak AI: Munculnya Kecerdasan Buatan (AI) semakin memperumit lanskap digital. Meskipun AI dapat membantu dalam berbagai aspek kehidupan, ia juga berpotensi berkontribusi pada misinformasi, konflik, penyebaran kebencian dan rasisme, serta perdebatan teologis negatif.19

Peluang: Dunia digital menghubungkan umat manusia dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, memungkinkan komunikasi pribadi kapan saja dan memfasilitasi penyebaran pesan Yesus Kristus yang cepat ke bagian-bagian dunia yang paling terpencil sekalipun melalui ponsel atau komputer.12 Hal ini menjadikan platform digital sebagai alat yang luar biasa untuk penginjilan.12

Penerapan Nilai-nilai Khotbah di Bukit

Prinsip-prinsip Khotbah di Bukit memberikan panduan yang kuat untuk menavigasi kompleksitas era digital:

  • Dimensi Spiritual: Yesus menasihati para pengikut-Nya untuk “mencari dahulu Kerajaan Allah” (Matius 6:33) dan memberkati mereka yang “miskin di hadapan Allah” (Matius 5:3).2 Di tengah gangguan digital, para pemimpin Kristen didorong untuk memprioritaskan spiritualitas mereka sendiri dan jemaat mereka.2 Internet, meskipun berpotensi mengganggu, juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk pengembangan spiritual melalui materi pengajaran yang mudah diakses dan layanan ibadah daring.2 Praktik spiritual yang konsisten, termasuk doa, telah terbukti secara signifikan memengaruhi kepuasan vokasional dan kebahagiaan secara keseluruhan dalam pelayanan.2
  • Dimensi Misioner: Kehidupan yang berorientasi kepada Allah mengarah pada kehidupan yang memuliakan Allah.2 Sebagai “garam dan terang” (Matius 5:13), orang Kristen dipanggil untuk memancarkan terang Allah.2 Di era digital, para pemimpin Kristen berada dalam persaingan konstan untuk memengaruhi kehidupan orang dan membagikan Kabar Baik.2 Mereka harus secara strategis memanfaatkan teknologi untuk mempromosikan Injil dan melawan proliferasi berita palsu.2 Misi gereja tetap tidak berubah, tetapi komunikasi Injil harus disesuaikan agar tetap relevan dalam lanskap digital baru.12
  • Dimensi Relasional: Berakar pada ajaran Yesus untuk “memperlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin mereka memperlakukanmu” (Matius 7:12).2 Ini melampaui interpretasi legalistik semata untuk mengatasi masalah hati, seperti kebencian dan kemarahan yang setara dengan pembunuhan (Matius 5:21-26).2 Di era media sosial, para pemimpin dan individu Kristen harus memilih kasih daripada kebencian dan memanfaatkan teknologi untuk membina hubungan yang tulus.2 Etika Kristen secara konsisten mengajarkan prinsip-prinsip moral berdasarkan nilai-nilai dan karakter Kristus, membimbing perilaku etis dalam teknologi dan informasi media.19 Ini termasuk secara aktif menghindari ekspresi kebencian, komentar rasis, dan perdebatan teologis negatif secara daring.19
  • Dimensi Pengembangan (Developmental): Terinspirasi oleh tantangan Yesus untuk “berjalan satu mil lagi” (Matius 5:38-41), dimensi ini menekankan pertumbuhan dan pengembangan berkelanjutan dalam kemampuan kepemimpinan dan karakter pribadi.2 Para pemimpin Kristen didorong untuk memperoleh keterampilan baru dan meningkatkan kemampuan mereka bahkan di tengah kesusahan dan tantangan.2 Internet menyediakan banyak peluang untuk pembelajaran berkelanjutan dan pertumbuhan pribadi.2
  • Dimensi Kekal (Eternal): Dimensi ini berkaitan dengan membangun sesuatu yang memiliki nilai abadi, sebagaimana Yesus menasihati murid-murid-Nya untuk memperhatikan dan mempraktikkan ajaran-ajaran-Nya (Matius 7:24-27).2 Ini mendorong para pemimpin dan orang percaya Kristen untuk mempertahankan perspektif kekal, berfokus pada realitas spiritual yang abadi daripada frustrasi saat ini.2 Pelayanan Kristen dipandang sebagai pembangunan fondasi yang langgeng untuk kekekalan.2

Analogi bukit fisik tempat Yesus menyampaikan KdB 7, yang berfungsi sebagai lokasi signifikan untuk pengajaran mendalam dan wahyu ilahi, menemukan padanan kontemporer dalam “ruang virtual” yang meresap 12 dan “lanskap baru” 12 untuk interaksi manusia, penyebaran informasi, dan bahkan ibadah. Ini menyiratkan bahwa prinsip-prinsip abadi KdB, yang secara tradisional diterapkan dalam komunitas fisik, kini harus secara sadar dan sengaja “dikhotbahkan” dan dihidupi dalam ranah digital. Ruang digital bukan sekadar alat netral tetapi “medan” atau “arena” baru untuk manifestasi Kerajaan Allah. Tantangan kritisnya adalah mencegah “kekosongan teknologi modern” 12 mengikis spiritualitas sejati. Sebaliknya, orang-orang percaya dipanggil untuk secara strategis memanfaatkan platform digital ini untuk menunjukkan kontra-budaya Kristus, secara efektif mengubah “ranah digital” menjadi “bukit” baru di mana nilai-nilai Allah diproklamasikan, diwujudkan, dan bersinar sebagai alternatif yang meyakinkan terhadap norma-norma digital duniawi.

Mandat Yesus bagi para pengikut-Nya untuk menjadi “garam dunia” dan “terang dunia” (Matius 5:13) menyiratkan fungsi ganda: untuk melestarikan dari kerusakan moral dan untuk menerangi kegelapan.2 Sumber-sumber penelitian secara ekstensif merinci bagaimana era digital dicirikan oleh “kerusakan” signifikan dalam bentuk berita palsu, ujaran kebencian, cyberbullying, misinformasi, dan relativisme moral.19

Metafora “garam dan terang” melampaui panggilan umum untuk kebaikan dan menjadi keharusan etis yang mendesak dan spesifik di era digital. Orang Kristen tidak hanya dipanggil untuk secara pasif menghindari jebakan dunia digital; mereka diamanatkan untuk secara aktif melawan “kerusakan” dan “kegelapan” yang merajalela secara daring. Ini menuntut keterlibatan kritis dengan konten digital, membedakan kebenaran dari kepalsuan, mempromosikan dialog yang positif dan konstruktif, dan secara konsisten menunjukkan karakter seperti Kristus dalam semua interaksi digital.

Dimensi misioner 2 dengan demikian diperluas untuk mencakup tidak hanya berbagi pesan Injil tetapi juga mewujudkan implikasi etisnya yang mendalam sebagai alternatif yang terlihat dan meyakinkan terhadap kekacauan digital dan erosi moral yang berlaku.

Tabel 2: Prinsip Etika Kristen dari Khotbah di Bukit dalam Konteks Digital

Prinsip Khotbah di BukitAjaran Kunci (Matius)Tantangan Era DigitalAplikasi di Era Digital
Integritas dalam IbadahMemberi sedekah, berdoa, dan berpuasa dengan motivasi tulus di hadapan Allah, bukan untuk pamer di hadapan manusia (Matius 6:1-18).Kehilangan fokus dan konsentrasi selama ibadah (baik offline maupun online) karena distraksi gadget; kecenderungan untuk memamerkan ibadah atau spiritualitas di media sosial (“flexing”). 6Menjaga kekudusan dan fokus total selama ibadah, baik di gereja fisik maupun melalui platform online; mempraktikkan doa pribadi yang otentik dan tersembunyi; menghindari pameran spiritualitas atau perbuatan baik di media sosial demi pujian manusia. 6
Kebenaran Hati vs. LegalistikKebenaran harus melampaui ahli Taurat dan Farisi; tidak hanya tindakan membunuh tetapi juga kemarahan; tidak hanya perzinahan tetapi juga nafsu (Matius 5:20-28).Kecenderungan untuk menciptakan persona online yang sempurna namun tidak merefleksikan hati yang tulus; kemudahan untuk menyebarkan kebencian atau gosip secara anonim. 6Menekankan transformasi hati sebagai dasar perilaku online; menghindari kemunafikan digital; mempraktikkan kejujuran dan integritas dalam setiap interaksi digital, termasuk dalam komentar dan konten yang dibagikan. 6
Kasih Melampaui BatasMengasihi musuh dan berdoa bagi mereka yang menganiaya, melampaui konsep pembalasan (Matius 5:43-48).Penyebaran cyberbullying, hate speech, komentar rasis, dan polarisasi ekstrem di platform online; kemudahan untuk menyerang atau memprovokasi tanpa konsekuensi langsung. 6Menanggapi kebencian atau serangan online dengan kasih dan kesabaran; menghindari komentar provokatif atau menghasut; mempromosikan dialog yang konstruktif dan rekonsiliasi; mempraktikkan pengampunan dan belas kasihan di ruang digital, bahkan terhadap “musuh” online. 6
Menjadi Garam dan TerangOrang percaya dipanggil untuk memengaruhi dunia dan memuliakan Allah melalui perbuatan baik dan hidup benar (Matius 5:13-16).Banjirnya misinformasi, hoaks, dan konten negatif; tantangan untuk membedakan kebenaran di tengah kebisingan digital. 2Secara aktif menyebarkan kebenaran dan kebaikan di ruang digital; melawan disinformasi dengan informasi yang akurat dan etis; menjadi teladan perilaku Kristen yang positif di media sosial, memancarkan nilai-nilai Kerajaan Allah. 2
Fokus pada Kerajaan AllahMencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, tidak khawatir akan kebutuhan materi (Matius 6:25-34).Materialisme dan konsumerisme yang didorong oleh iklan online dan gaya hidup yang dipamerkan di media sosial; kecemasan akan perbandingan sosial dan kebutuhan materi yang tak terbatas. 15Prioritaskan nilai-nilai spiritual dan kekal di atas kekayaan atau status online; berlatih kepuasan dan rasa syukur; menggunakan sumber daya digital untuk tujuan Kerajaan, bukan untuk pamer atau akumulasi kekayaan pribadi. 2

5. Refleksi Teologis Kuat untuk Kehidupan Kekristenan dan Gereja di Era Digital

Landasan Moral dan Etis

Etika Kristen secara konsisten mengajarkan prinsip-prinsip moral yang berakar pada nilai-nilai dan karakter Kristus, memungkinkan orang-orang percaya untuk berperilaku etis dalam penggunaan teknologi dan informasi media.19 Fondasi ini memberdayakan orang Kristen untuk bertindak bijaksana, akurat, dan jujur dalam penerapan teknologi digital.19 Etika Kristen bersifat mutlak, mencerminkan sifat Allah yang tidak berubah, dan dengan demikian tetap relevan secara universal dalam setiap situasi dan bagi setiap individu.19

Dasar etika Kristen adalah Wahyu Ilahi (melalui wahyu umum dalam alam dan Alkitab, dan wahyu khusus kehendak Allah bagi orang percaya). Ini bersifat preskriptif, menegaskan bahwa kebenaran moral ditetapkan oleh Allah yang moral, menyiratkan tidak ada hukum moral tanpa Pemberi Hukum.19

Pentingnya pendidikan etika Kristen, yang berlandaskan kebenaran alkitabiah, sangat krusial untuk memastikan perilaku selaras dengan firman Allah, mencegah penyimpangan. Pendidikan ini harus membekali individu untuk menyaring dan membagikan informasi secara bertanggung jawab, dipandu oleh Roh Kudus.19 Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) secara khusus dipanggil untuk menjadi teladan perilaku etis di ruang virtual, menjaga integritas, menghargai hak digital, dan mewujudkan nilai-nilai Kristen dalam semua aktivitas daring.11 Firman Allah (Roma 12:2, Kolose 3:17) berfungsi sebagai dasar utama untuk menumbuhkan kepekaan etis dan spiritual.11

Landasan Teologis

Teologi Keseimbangan: Sistem teologis dalam kekristenan adalah kerangka konseptual transformasional yang selalu segar, fleksibel, dan seimbang di berbagai dimensi kehidupan dan konteks.12 Gereja harus berusaha membangun spiritualitas jemaat melampaui pemahaman statis, menjadikannya dinamis dengan mengintegrasikan praktik spiritual offline dan online.12

Misi Gereja yang Tak Berubah Namun Adaptif: Misi gereja tetap konstan selama 2000 tahun: untuk mengkomunikasikan Injil.12 Teknologi berfungsi sebagai dukungan vital untuk memastikan gereja tetap relevan dalam mempersiapkan perjumpaan Kristus dengan dunia.12 Gereja harus mahir dalam memahami peran kritis teknologi informasi dalam memenuhi mandatnya sebagai “garam dan terang”.12

Menghindari Penyembahan Berhala Digital: Sama seperti Israel kehilangan fokus ibadahnya karena penyembahan berhala 23, orang Kristen modern berisiko mengalihkan perhatian utama mereka dari Allah ke teknologi itu sendiri.23 Meskipun teknologi adalah karunia dari Allah, ia dapat menjadi “berhala” jika menggantikan atau menutupi fokus pada Allah.12 Umat manusia harus mempertahankan sikap kritis terhadap teknologi untuk menghindari “terkonsumsi” oleh kekosongan spiritual yang dapat ditawarkannya.12

Landasan Historis

Pembelajaran dari dekadensi historis ibadah Israel dalam Kitab Hakim-hakim.23 Israel berulang kali berpaling dari Allah kepada dewa-dewi Kanaan (Baal, Asyera, Asytoret) karena toleransi tak terbatas terhadap penduduk Kanaan, yang mengarah pada sinkretisme dan hilangnya fokus ibadah.23

Analogi historis ini sangat relevan karena mencerminkan potensi pengalihan perhatian utama dari Allah di era digital.23 Sama seperti sulit bagi Israel untuk menghindari pencampuran budaya dengan Kanaan, sulit pula untuk menghindari teknologi digital dalam ibadah kontemporer.23 Oleh karena itu, kebijaksanaan dan pengendalian diri sangat penting dalam penggunaannya.23 Sejarah menunjukkan bahwa hambatan seringkali berfungsi untuk memperkuat kekristenan.12

Pandemi COVID-19, yang mengharuskan pergeseran gereja ke ruang virtual, dapat dipandang sebagai peluang untuk keseimbangan dan kebangkitan baru dalam komunitas Kristen.12

Peran Individu, Keluarga, dan Gereja

  • Pelayan Gereja (Church Ministers): Gereja tidak boleh anti-teknologi digital tetapi harus dengan cermat mengawasi penggunaannya.23 Para pelayan memikul tanggung jawab untuk mendidik jemaat tentang penggunaan teknologi yang bijaksana dan bertanggung jawab, terutama selama ibadah, dengan memberikan contoh pribadi.23 Mereka juga harus cukup berani untuk menasihati mereka yang mengganggu ibadah, bahkan jika itu membuat mereka tidak populer, menarik paralel dengan kompromi orang Lewi dalam kisah Mikha.23
  • Umat Kristen (Individual Christians): Harus memahami pentingnya kekudusan dan fokus dalam ibadah.23 Kekudusan mengacu pada penghormatan terhadap kehadiran Allah, yang sangat dipengaruhi oleh fokus total.23 Menjaga kekudusan dan fokus adalah komitmen yang ditunjukkan dengan menaati ketetapan ibadah Allah. Kaum muda, sebagai pengguna utama teknologi digital, membutuhkan perhatian khusus untuk mencegah penyalahgunaan smartphone selama ibadah, yang dapat mengalihkan fokus mereka dari Allah dan Firman-Nya.23
  • Keluarga (Families): Orang tua adalah figur utama yang bertanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai ibadah dan membina hubungan yang kuat dengan Allah pada anak-anak mereka.23 Mereka harus menjadi teladan dan secara aktif mengawasi penggunaan teknologi digital dalam keluarga untuk memastikan tidak menjauhkan anggota keluarga dari nilai-nilai ibadah yang telah ditetapkan Allah.23

Analogi dekadensi ibadah Israel dalam Kitab Hakim-hakim 23, yang disebabkan oleh sinkretisme dan gangguan, secara langsung diterapkan pada tantangan kontemporer terhadap fokus ibadah di era digital.23 Paralel ini menunjukkan bahwa lingkungan digital, dengan aliran gangguan dan godaan yang konstan menuju kedangkalan, berfungsi sebagai wadah pengujian keaslian dan kedalaman komitmen spiritual.

Era digital bukan hanya konteks baru untuk ibadah; ia, lebih mendalam, adalah ujian kedalaman kematangan spiritual seseorang dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap “ibadah sejati.” Kemampuan untuk mempertahankan fokus yang tidak terbagi pada Allah di tengah kebisingan digital yang meresap, untuk terlibat dalam praktik spiritual yang tulus daripada tampilan performatif, dan untuk secara aktif menolak “penyembahan berhala” teknologi (di mana alat atau platform digital secara implisit atau eksplisit dicari untuk kepuasan atau validasi tertinggi) menjadi karakteristik penentu iman Kristen yang matang. Ini menyiratkan panggilan yang lebih tinggi untuk disiplin spiritual, kearifan, dan kesengajaan di era digital, mungkin lebih dari era sebelumnya.

Pernyataan bahwa para pelayan gereja harus siap mengambil posisi “tidak populer” dalam menasihati penggunaan teknologi yang bertanggung jawab 23 dan bahwa guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) harus berfungsi sebagai “teladan di ruang virtual” 11 menunjukkan tanggung jawab proaktif, bukan sekadar reaktif, bagi kepemimpinan gereja dalam menavigasi lanskap digital.

Mandat gereja melampaui sekadar mengadopsi alat digital untuk kenyamanan; ia harus secara aktif terlibat dalam “pemuridan digital.” Ini melibatkan pembekalan anggotanya dengan kearifan etis dan spiritual yang diperlukan untuk tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dan bersaksi di lingkungan digital baru ini.

Ini menuntut para pemimpin untuk memiliki tidak hanya penguasaan teologis tetapi juga pemahaman mendalam tentang etika digital dan spiritualitas pribadi yang kuat.11 Ini adalah panggilan untuk bentuk kepemimpinan etis baru yang dapat secara efektif membimbing kawanan menjauh dari jebakan yang melekat pada dunia digital dan secara strategis memanfaatkan peluang misionarisnya.

Ini bergerak melampaui prinsip-prinsip moral umum untuk menganjurkan panduan yang spesifik, kontekstual, dan proaktif untuk kehidupan digital dalam komunitas Kristen.

6. Kesimpulan: Menghidupi Manifesto Kerajaan Allah yang Abadi

Khotbah di Bukit berdiri sebagai manifesto abadi untuk hidup dalam Kerajaan Allah, menuntut transformasi karakter internal yang mendalam dan ketaatan yang tulus yang melampaui legalisme dan kemunafikan semata.

Latar belakang historis, moral, etis, dan teologisnya yang kaya dengan tegas menetapkan ajaran Yesus sebagai redefinisi radikal kebenaran dan panggilan yang kuat bagi para pengikut-Nya untuk menjadi “garam dan terang” di dunia.

Berbagai interpretasi teologis dan filosofis menggarisbawahi kompleksitas yang melekat dan kedalaman KdB yang mendalam, yang terus menantang umat manusia untuk bergumul dengan tuntutan ilahinya lintas generasi.

Di era digital, tantangan seperti disinformasi yang merajalela, erosi fokus ibadah, dan “teknologifikasi” kehidupan menuntut penerapan kembali yang sadar akan dimensi spiritual, misioner, relasional, pengembangan, dan kekal KdB.

Hidup sebagai warga Kerajaan Allah di era digital secara fundamental berarti mewujudkan etika Kristen, yang bersifat mutlak dan berakar pada karakter Kristus serta Wahyu Ilahi.

Hal ini menuntut kebijaksanaan, integritas, dan kejujuran dalam setiap interaksi digital. Gereja, keluarga, dan individu Kristen memikul tanggung jawab krusial dalam menavigasi era digital. Mereka harus belajar dari kesalahan historis Israel untuk menghindari “penyembahan berhala digital” dan, sebaliknya, memanfaatkan teknologi sebagai alat yang ampuh untuk misi dan pertumbuhan spiritual yang seimbang.

Pada akhirnya, manifesto KdB di era digital adalah panggilan untuk ketaatan yang radikal dan transformatif yang membentuk tidak hanya perilaku daring tetapi juga inti hati seseorang. Ini adalah undangan untuk menjadi saksi Kristus yang otentik di tengah kebisingan dan kompleksitas dunia daring yang meresap, memancarkan nilai-nilai abadi Kerajaan Allah.

KdB secara eksplisit diidentifikasi sebagai pendorong “kontra-budaya Kristen” 4 yang nilai-nilainya “sama sekali bertentangan” dengan dunia non-Kristen. Mengingat bahwa lanskap digital dicirikan oleh evolusinya yang cepat dan berkelanjutan, yang terus-menerus memperkenalkan norma-norma baru, gaya komunikasi, dan dilema etika, konsep “kontra-budaya” tidak dapat statis. Sifat “kontra-budaya” KdB bukanlah konsep historis yang tetap, melainkan keharusan yang dinamis dan adaptif bagi orang-orang percaya kontemporer.

Seiring dengan pergeseran budaya digital dan redefinisi norma-norma masyarakat, cara-cara spesifik di mana warga Kerajaan hidup “bertentangan” dengan norma-norma ini juga harus berkembang. Ini menuntut kearifan spiritual yang berkelanjutan dan pilihan yang disengaja untuk menjunjung tinggi nilai-nilai inti Kerajaan (misalnya, kejujuran, kerendahan hati, kasih yang tulus, integritas yang tak tergoyahkan) dalam lingkungan digital yang seringkali mempromosikan kebalikannya (misalnya, misinformasi, promosi diri, kebencian, kedangkalan).

KdB menyediakan prinsip-prinsip yang tidak berubah untuk sikap kontra-budaya ini, tetapi penerapan menjadi kontra-budaya adalah proses yang berkelanjutan, adaptif, dan spesifik konteks di era digital.

KdB secara konsisten menekankan baik sikap dan karakter internal (misalnya, “miskin di hadapan Allah,” “murni hatinya,” “berbelas kasihan,” “pembawa damai” 4) maupun tindakan eksternal (misalnya, menjadi “garam dan terang,” mengasihi musuh, praktik etis dalam memberi, berdoa, berpuasa 2). Interaksi yang melekat antara transformasi internal dan manifestasi eksternal ini merupakan tema yang berulang.

Menghidupi manifesto KdB secara efektif di era digital menuntut pendekatan holistik dan terintegrasi yang menyintesis menjadi (mengembangkan karakter yang diubah, memupuk spiritualitas yang mendalam, dan menjaga kemurnian internal) dengan melakukan (terlibat dalam perilaku digital yang etis, berpartisipasi dalam penjangkauan misioner secara daring, dan menunjukkan interaksi seperti Kristus).

Tidak cukup hanya menghindari dosa-dosa digital; seseorang harus secara aktif mengembangkan karakter otentik yang secara tulus mencerminkan Kristus secara daring dan secara strategis memanfaatkan platform digital untuk memajukan nilai-nilai Kerajaan.

Sintesis ini memastikan bahwa kewarganegaraan digital tidak direduksi menjadi seperangkat aturan atau tampilan performatif, melainkan perwujudan otentik dari kehidupan Kristus, menjadikan kehadiran digital seseorang kesaksian yang kuat dan kredibel bagi Kerajaan Allah.

Karya yang dikutip

  1. Jurnal Abdiel: Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan … – Neliti, diakses Juli 14, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/442039-none-5db88cb4.pdf
  2. (PDF) Sermon on the Mount and Christian Leadership in the Era of …, diakses Juli 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/362005821_Sermon_on_the_Mount_and_Christian_Leadership_in_the_Era_of_the_Internet_of_Things
  3. Khotbah di Bukit | Reformed Evangelical, diakses Juli 14, 2025, https://www.rebuku.com/product-page/khotbah-di-bukit-1
  4. The Message of the Sermon on the Mount (The Bible Speaks Today | BST), diakses Juli 14, 2025, https://www.logos.com/product/47494/the-message-of-the-sermon-on-the-mount
  5. The Message of the Sermon on the Mount by John R.W. Stott – Goodreads, diakses Juli 14, 2025, https://www.goodreads.com/book/show/888876.The_Message_of_the_Sermon_on_the_Mount
  6. TEMA-TEMA THEOLOGIS KHOTBAH YESUS DI BUKIT DALAM …, diakses Juli 14, 2025, https://journal.sttsimpson.ac.id/index.php/EJTI/article/download/140/pdf/572
  7. “Hal Pengabulan Doa” Kajian Hermeneutik Kritik Historis Matius 7:7 …, diakses Juli 14, 2025, https://ejournal.teologi-ukit.ac.id/index.php/educatio-christi/article/download/44/37/
  8. Miskin di Hadapan Allah – Sinode Gereja Kristus Yesus, diakses Juli 14, 2025, http://www.gky.or.id/gema.jsp?gemaId=1854
  9. Kelompok 4 – Dasar-Dasar Etika Dan Moral Kristen Serta Prinsip-Prinsipnya | PDF – Scribd, diakses Juli 14, 2025, https://id.scribd.com/document/723104623/Kelompok-4-Dasar-dasar-etika-dan-moral-kristen-serta-Prinsip-prinsipnya
  10. Nanti Dampak Pendidikan Agama Kristen Terhadap Perubahan …, diakses Juli 14, 2025, https://journal.sttkerussoindonesia.ac.id/index.php/redominate/article/view/53
  11. Etika dan Spiritualitas Guru Pendidikan Agama Kristen di Era Digital …, diakses Juli 14, 2025, https://ojs.sttkmu.ac.id/index.php/philoxenia/article/view/50
  12. (PDF) Menuju Prinsip Teologi Keseimbangan Di Era Digital …, diakses Juli 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/357586890_Menuju_Prinsip_Teologi_Keseimbangan_Di_Era_Digital_Refleksi_Gereja_dalam_Transisi_Pandemi_Covid-19
  13. Our Lord’s Sermon on the Mount – Wikipedia, diakses Juli 14, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Our_Lord%27s_Sermon_on_the_Mount
  14. Sermon on the Mount | EBSCO Research Starters, diakses Juli 14, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/religion-and-philosophy/sermon-mount
  15. Sermon on the Mount – Wikipedia, diakses Juli 14, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Sermon_on_the_Mount
  16. (PDF) Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Kristen dalam Khotbah di …, diakses Juli 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/367718035_Nilai-Nilai_Pendidikan_Karakter_Kristen_dalam_Khotbah_di_Bukit_pada_Matius_5-7
  17. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Kristen dalam Khotbah di Bukit pada …, diakses Juli 14, 2025, https://journal.stt-abdiel.ac.id/JA/article/view/317
  18. “The Sermon on the Mount” from the Perspective of “First-Century Culture”, diakses Juli 14, 2025, https://perspectivecriticism.com/2017/11/30/the-sermon-on-the-mount-from-the-perspective-of-first-century-culture-gary-yamasaki/
  19. (PDF) ETIKA KRISTEN DI ERA DIGITAL BAGI ORANG PERCAYA …, diakses Juli 14, 2025, https://www.researchgate.net/publication/390881837_ETIKA_KRISTEN_DI_ERA_DIGITAL_BAGI_ORANG_PERCAYA_MASA_KINI
  20. CHURCH FATHERS: On the Sermon on the Mount, Book I (Augustine) – New Advent, diakses Juli 14, 2025, https://www.newadvent.org/fathers/16011.htm
  21. HEALING THE RIFT BETWEEN THE SERMON ON THE MOUNT AND CHRISTIAN ETHICS, diakses Juli 14, 2025, https://medium.com/@ry_pry/healing-the-rift-between-the-sermon-on-the-mount-and-christian-ethics-4405acb139d1
  22. Bonhoeffer, Just War, and Nonviolence Pt 2 – The Rebel God, diakses Juli 14, 2025, https://www.therebelgod.com/2006/09/bonhoeffer-just-war-and-nonviolence-pt_11.html
  23. Dekadensi Ibadah Israel di Kitab Hakim-Hakim: Refleksi pada …, diakses Juli 14, 2025, https://e-journal.stttransformasi-indonesia.ac.id/index.php/teleios/article/download/113/pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!