Liturgi Dalam Bayang Algoritma: Ibadah, Identitas, dan Iman Kristen di Era Digital

RESENSI BUKU

Liturgi Dalam Bayang Algoritma: Ibadah, Identitas, dan Iman Kristen di Era Digital
Karya: Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Penerbit: PT Dharma Leksana Media Group (2025)

Buku Liturgi Dalam Bayang Algoritma menghadirkan sebuah kajian visioner mengenai pergumulan teologi, liturgi, dan iman Kristen di tengah struktur digital yang membentuk hampir seluruh aspek kehidupan manusia modern. Di tengah arus percepatan teknologi, umat beriman dihadapkan pada realitas baru: liturgi kini tidak hanya berlangsung di altar batu, tetapi juga di ruang algoritmik yang dikendalikan oleh platform, data, dan atensi.

Dalam karya ini, Dr. Dharma Leksana memetakan secara tajam bagaimana transisi liturgi dari dunia fisik ke dunia digital bukan sekadar perubahan medium, tetapi perubahan ontologis atas cara manusia mengalami kehadiran, sakralitas, dan relasi dengan Allah. Dengan pendekatan yang memadukan teologi klasik, studi liturgi, teori media, fenomenologi, dan kritik budaya kontemporer, buku ini menawarkan analisis menyeluruh—terstruktur dan mendalam.

Dinamika Historis dan Teologis Liturgia

Bab-bab awal menelusuri akar liturgi sejak Gereja Perdana, ketika leitourgia dipahami sebagai “kerja bersama Allah dan umat.” Penulis memperlihatkan bagaimana liturgi mengandung dimensi simbolik, ritual, dan komunal yang tak tergantikan. Liturgi selalu memerlukan tubuh, waktu, kehadiran, dan komunitas sebagai medianya. Perspektif Schmemann, Guardini, dan tradisi liturgi Gereja Besar (Bizantium, Latin, Siria, Ambrosian) dibentangkan untuk menegaskan fondasi bahwa liturgi adalah praksis iman yang membentuk identitas gereja sepanjang sejarah.

Era Digital sebagai Ruang Ibadah Baru

Memasuki abad ke-21, penulis mengurai bagaimana dunia digital melahirkan ruang sakral baru: ruang yang tidak dibangun dengan batu, melainkan dengan layar, kode, dan jaringan. Pandemi COVID-19 menjadi titik balik historis yang memaksa gereja memasuki praktik ibadah daring, live-streaming, dan hybrid worship.

Dengan memahami teori “the medium is the message” dari McLuhan, analisis buku ini memaparkan bagaimana digitalisasi tidak hanya mengubah bentuk ibadah, tetapi juga memengaruhi pengalaman iman: doa menjadi konten, ibadah menjadi tontonan, dan kehadiran menjadi representasi virtual.

Liturgi Budaya Digital & Ritual-Ritual Baru

Pemaparan penulis mengenai “liturgi budaya digital” merupakan salah satu kekuatan terbesar buku ini. Mengacu pada James K.A. Smith, Baudrillard, dan Byung-Chul Han, penulis menegaskan bahwa scroll, swipe, dan klik merupakan ritus-ritus baru yang membentuk hasrat, perhatian, dan imajinasi rohani umat.

Notifikasi menjadi “lonceng liturgi,” timeline menjadi “altar,” influencer menjadi “imam baru,” dan algoritma bertindak sebagai “katekis digital” yang membentuk cara orang percaya memahami dunia. Dalam konteks ini, budaya digital beroperasi sebagai semacam pseudo-liturgi yang sering kali lebih berhasil membentuk karakter daripada liturgi gereja itu sendiri.

Krisis Liturgi di Tengah Algoritma

Bagian ini merupakan kritik teologis yang tajam dan relevan. Penulis mengidentifikasi tujuh krisis utama liturgi di era digital:

  1. Kehilangan embodied presence
  2. Pola sakramentalisme yang tak kompatibel dengan virtualitas
  3. Menurunnya rasa sakralitas
  4. Liturgi menjadi tontonan
  5. Fragmentasi atensi
  6. Politisasi dan tribalism digital
  7. Krisis formasi karakter

Analisis ini menunjukkan bahwa persoalan ibadah digital bukan persoalan teknis, melainkan persoalan teologis dan antropologis yang menyentuh inti pengalaman manusia.

Respons Gereja & Jalan Ke Depan

Dalam bagian konstruktifnya, penulis menawarkan prinsip-prinsip spiritualitas digital, estetika liturgi online, desain liturgi hybrid, serta kerangka teologis untuk memahami kehadiran, partisipasi, dan kontemplasi dalam konteks baru ini.

Prinsip seperti intentionality, ritme sabat, kontemplasi digital, rekonstruksi kehadiran, serta formasi karakter berbasis komunitas memberikan arah bagi pemimpin gereja untuk merancang liturgi digital yang tetap setia pada teologi klasik.

Pada akhirnya, bagian reimajinasi liturgi membuka horizon pembaca terhadap masa depan ibadah: pertanyaan tentang AI-liturgist, gereja metaverse, dan virtual sacrament dibahas dengan kehati-hatian teologis tanpa kehilangan imajinasi pastoral.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, Liturgi Dalam Bayang Algoritma adalah kontribusi penting dan mendalam bagi teologi digital Indonesia. Buku ini tidak hanya memberikan analisis kritis terhadap fenomena ibadah digital, tetapi juga menawarkan landasan teologis yang kokoh dan peta pastoral yang relevan.

Karya ini layak menjadi rujukan bagi teolog, pendeta, pelayan liturgi, jurnalis gereja, akademisi, dan siapa pun yang sedang menavigasi iman dalam lanskap digital yang terus bergerak. Buku ini sungguh menjadi jembatan refleksi antara tradisi Gereja dan dunia algoritmik abad ke-21.

KATA KUNCI
Liturgi digital,
Ibadah online Kristen,
Teologi digital Indonesia,
Liturgi gereja di era digital,
Ritual digital dan iman Kristen,
Hybrid worship,
Sakramen dan virtualitas,
Teologi dan algoritma,
Gereja dan media digital,
Spiritualitas digital Kristen,
Fenomenologi ibadah online,
Iman Kristen dan teknologi,
Cyber-liturgy,
Gereja metaverse dan AI,
Kebudayaan digital dan ibadah,

Hashtag

LiturgiDigital,

IbadahDiEraDigital,

TeologiDigital,

DigitalChristianity,

LiturgiGereja,

IbadahOnline,

SpiritualitasDigital,

EraAlgoritma,

FaithAndTechnology,

HybridWorship,

RenunganDigital,

GerejaMasaDepan,

CyberTheology,

DigitalCulture,

RitualDigital,

KehadiranVirtual,

KristenDiEraTeknologi,

MetaverseChurch,

AIAndFaith,

DigitalMinistry,

SOLI DEO GLORIA !!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!