TEOLOGI ALGORITMA: SEBUAH UPAYA KONTEKSTUALISASI TEOLOGI DI ERA DIGITAL

Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Abstrak (Bahasa Indonesia)
Era digital menandai perubahan mendasar dalam cara manusia berpikir, berkomunikasi, dan beriman. Algoritma kini bukan sekadar alat komputasional, melainkan struktur kuasa yang mengatur perhatian, perilaku, dan bahkan pengalaman keagamaan. Artikel ini menelaah Teologi Algoritma sebagai bentuk baru dari teologi kontekstual yang berupaya membaca realitas digital melalui terang iman Kristen. Dengan metode historis-kritis, pendekatan hermeneutik digital, dan analisis teologi kontekstual, tulisan ini memetakan pergeseran paradigma dari Logos menuju algoritma. Hasil kajian menunjukkan bahwa teologi perlu melakukan re-interpretasi terhadap tradisi dan praksis iman agar tetap relevan di bawah dominasi logika algoritmik. Teologi Algoritma diusulkan sebagai disiplin yang kritis, profetis, dan dialogis, yang mengembalikan Logos sebagai pusat makna dalam dunia yang dikuasai data.
Kata kunci: teologi algoritma, teologi kontekstual, hermeneutika digital, etika algoritma, spiritualitas digital
Abstract (English)
The digital age transforms how human beings think, communicate, and believe. Algorithms are no longer mere computational tools but powerful structures shaping human attention, behavior, and even religious experience. This article explores Algorithmic Theology as a new form of contextual theology that re-reads the digital reality in the light of Christian faith. Using historical-critical, digital-hermeneutical, and contextual-theological approaches, this study maps the paradigm shift from Logos to algorithm. The findings reveal that theology must reinterpret its tradition and praxis to remain meaningful amid algorithmic dominance. Algorithmic Theology is proposed as a critical, prophetic, and dialogical discipline that re-centers the Logos as the core of meaning in a data-driven world.
Keywords: algorithmic theology, contextual theology, digital hermeneutics, algorithmic ethics, digital spirituality
1. Pendahuluan
Peradaban digital telah melahirkan bentuk baru dari “ruang hidup” manusia. Algoritma menjadi arsitek tak terlihat yang menentukan apa yang kita baca, siapa yang kita kenal, bahkan bagaimana kita memahami kebenaran. Dalam konteks ini, iman Kristen dipanggil untuk menafsir ulang keberadaannya.
Sejak awal, teologi selalu bersifat kontekstual — fides quaerens intellectum yang berakar pada zaman tertentu. Jika gereja perdana berdialog dengan filsafat Yunani dan teologi modern berhadapan dengan sains, maka teologi masa kini dihadapkan pada hegemoni algoritma. Artikel ini mengusulkan Teologi Algoritma sebagai upaya kontekstualisasi teologi di era digital.
2. Kajian Pustaka
2.1 Teologi Kontekstual
Menurut Stephen B. Bevans (2002), teologi selalu lahir dalam konteks sosial, politik, dan budaya tertentu; tidak ada teologi universal tanpa konteks. David J. Bosch (1991) menegaskan bahwa inkarnasi Kristus menjadi paradigma kontekstualisasi: Firman menjadi manusia dan tinggal di tengah budaya.
Model-model Bevans — translasi, antropologis, praksis, sintetis, transendental, dan kontra-budaya — menunjukkan bahwa teologi berkembang melalui dialog antara Injil dan budaya. Dalam konteks digital, teologi menghadapi budaya algoritma: sistem yang mengatur persepsi dan interaksi manusia.
2.2 Dari Logos ke Algoritma
Dalam tradisi klasik, Logos adalah sabda Allah yang menata semesta (Yoh. 1:1). Namun, rasionalitas modern memersempitnya menjadi prinsip epistemologis. Kini, algoritma muncul sebagai “Logos baru” yang mengatur realitas sosial (Floridi, 2014). Shoshana Zuboff (2019) menyebutnya kapitalisme pengawasan: manusia direduksi menjadi data.
3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan:
- Pendekatan historis-kritis, untuk menelusuri perkembangan teologi dari era Patristik hingga digital.
- Hermeneutika digital, untuk menafsir hubungan Logos–algoritma sebagai teks dan konteks iman.
- Analisis teologi kontekstual, guna merumuskan bentuk praksis teologi yang relevan bagi masyarakat digital.
Data diambil dari literatur klasik (Aquinas, Luther, Barth) serta pemikiran kontemporer (Floridi, Zuboff, Harari).
4. Pembahasan
4.1 Tantangan Berteologi dari Gereja Perdana hingga Era Digital
Dari Origenes dan Agustinus hingga Schleiermacher dan Barth, teologi selalu merespons konteks intelektual zamannya. Reformasi Protestan menandai pergeseran besar akibat teknologi cetak; demikian pula, revolusi digital menuntut refleksi baru. Seperti mesin cetak abad ke-16, algoritma abad ke-21 juga mengubah struktur pengetahuan dan otoritas iman.
4.2 Teologi Algoritma sebagai Kelanjutan Teologi Kontekstual
Teologi Algoritma berangkat dari prinsip inkarnasi — Firman yang menjadi daging kini menuntut perwujudan dalam dunia digital. Ia menafsir algoritma bukan hanya sebagai alat, tetapi sebagai medan spiritual dan etis yang memerlukan kritik teologis.
Disiplin ini bertujuan:
- Membongkar bias ideologis di balik kode dan data.
- Menegaskan martabat manusia sebagai imago Dei, bukan imago data.
- Mengembalikan kasih, keadilan, dan belas kasih sebagai logika alternatif terhadap efisiensi algoritmik.
4.3 Hermeneutika Digital: Menafsir Firman di Era Kode
Algoritma kini memediasi bagaimana teks Alkitab dibaca—misalnya melalui aplikasi YouVersion atau konten rohani di TikTok. Hermeneutika digital mengajak umat menyadari bahwa setiap tafsir kini dimediasi oleh sistem yang menyeleksi informasi. Tantangannya ialah menjaga agar Logos tidak direduksi menjadi logaritma.
4.4 Krisis Otoritas dan Etika Digital
Otoritas rohani bergeser dari pendeta ke algoritma. “Pendeta YouTube” dan influencer rohani kini lebih berpengaruh daripada institusi gereja. Gereja perlu membangun etika algoritma Kristen—mengupayakan transparansi, keadilan digital, serta literasi rohani yang kritis terhadap logika platform (Castells, 1996; Foucault, 1978).
4.5 Spiritualitas Algoritmik: Menguduskan Teknologi
Spiritualitas baru diperlukan: disiplin digital, doa di tengah notifikasi, dan puasa media sosial sebagai bentuk digital asceticism. Rowan Williams (2014) menegaskan, berdoa berarti menempatkan diri agar Allah dapat menjangkau kita—termasuk di ruang digital.
5. Novelty dan Kontribusi Ilmiah
Artikel ini menawarkan konsep kebaruan teologis:
- Teologi Algoritma sebagai disiplin baru yang mempertemukan iman Kristen dan sistem algoritmik secara hermeneutik, bukan sekadar etis.
- Menyajikan paradigma teologi kontekstual digital, di mana Firman ditafsir ulang dalam struktur data dan jaringan.
- Memberikan kerangka profetis-dialogis untuk menghadapi bias, dehumanisasi, dan penyembahan terhadap dataisme.
Dengan demikian, Teologi Algoritma bukan hanya wacana etika teknologi, tetapi peta konseptual iman di tengah revolusi digital.
6. Kesimpulan
Teologi selalu lahir dari perjumpaan antara iman dan konteks. Di era algoritma, konteks itu adalah jaringan digital yang mengatur cara manusia hidup dan berpikir. Tantangan bagi gereja dan teolog bukan sekadar “menggunakan teknologi dengan bijak,” tetapi menafsir dan menebus struktur algoritmik itu sendiri.
Teologi Algoritma mengajak iman Kristen untuk tetap berpijak pada Logos — Firman yang hidup — sembari menavigasi kompleksitas algoritma dengan kasih, keadilan, dan martabat manusia sebagai pusatnya.
Daftar Pustaka (APA 7th Edition)
Barth, K. (1936). Church Dogmatics I/1. Edinburgh: T&T Clark.
Bevans, S. B. (2002). Models of Contextual Theology. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Bosch, D. J. (1991). Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Castells, M. (1996). The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell.
Foucault, M. (1978). The History of Sexuality, Vol. 1: An Introduction. New York: Pantheon.
Floridi, L. (2014). The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality. Oxford: Oxford University Press.
Harari, Y. N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. London: Harvill Secker.
Jonas, H. (1984). The Imperative of Responsibility. Chicago: University of Chicago Press.
Ruether, R. R. (1983). Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology. Boston: Beacon Press.
Tillich, P. (1951). Systematic Theology Vol. 1. Chicago: University of Chicago Press.
Williams, R. (2014). Being Christian: Baptism, Bible, Eucharist, Prayer. London: SPCK.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York: PublicAffairs.