Memaknai Seruan “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani?” di Hari Jumat Agung : Suara dari Palung Penderitaan

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Teologi.digital – Jakarta, Jumat Agung membawa kita pada momen paling kelam dalam narasi penebusan. Di puncak penderitaan fisik dan spiritual, dari atas kayu salib, terdengar sebuah seruan yang menggema melintasi abad: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” – “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46; Markus 15:34).
Seruan ini, yang mungkin terasa mengganggu dan penuh tanya, justru menjadi kunci untuk memahami kedalaman kasih Allah dan realitas pengorbanan Kristus. Di tengah dunia yang bising dan sering kali penuh penderitaan—baik yang kita alami secara pribadi maupun yang kita saksikan melalui layar gawai—seruan Yesus ini menawarkan titik perenungan yang mendalam tentang iman, penderitaan, dan harapan.
Mengurai Makna Seruan di Kayu Salib
Memahami seruan Yesus membutuhkan pendekatan hermeneutika yang cermat, melihatnya dari berbagai sudut pandang:
- Perspektif Teologis: Beban Dosa dan Keterpisahan
Salah satu penafsiran utama melihat seruan ini sebagai ekspresi puncak dari tugas penebusan Yesus. Dalam menanggung dosa seluruh umat manusia (2 Korintus 5:21), Ia mengalami konsekuensi terberat dari dosa: keterpisahan rohani dari Bapa.
Ini bukanlah penolakan dari Bapa, melainkan cerminan kekudusan Allah yang absolut, yang tidak dapat bersanding dengan dosa. Yesus, dalam kemanusiaan-Nya, merasakan kepedihan tak terperi dari keterpisahan itu. Di sisi lain, seruan ini juga dilihat sebagai puncak solidaritas Yesus dengan umat manusia. Ia tidak hanya mati untuk kita, tetapi juga merasakan seperti kita pada titik terendah—perasaan ditinggalkan, kesepian, dan keputusasaan yang begitu akrab bagi banyak orang dalam penderitaan (Ibrani 4:15).
Seruan ini juga menyingkapkan paradoks ilahi-manusiawi Yesus: kemanusiaan-Nya menjerit dalam kepedihan nyata, sementara keilahian-Nya tetap teguh dalam tujuan penebusan bersama Bapa.
- Konteks Mazmur 22: Seruan yang Menunjuk pada Kemenangan
Sangat krusial untuk memahami bahwa “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” adalah kutipan langsung dari ayat pembuka Mazmur 22. Dalam tradisi Yahudi, mengutip ayat pertama seringkali berarti merujuk pada keseluruhan Mazmur.
Mazmur 22 memang dimulai dengan jeritan keputusasaan yang sama, diikuti dengan deskripsi penderitaan yang sangat mirip dengan penyaliban (ayat 7-8, 14-18). Namun, Mazmur ini tidak berakhir di sana. Mulai ayat 22, nadanya berubah drastis menjadi ungkapan keyakinan, pujian, proklamasi kemenangan Allah, dan nubuat tentang penyembahan universal (ayat 27-31).
Dengan mengutip ayat pertama, Yesus mungkin tidak hanya mengekspresikan penderitaan-Nya saat itu, tetapi juga secara profetis menunjuk pada keseluruhan narasi Mazmur: penderitaan-Nya nyata dan mengerikan, tetapi akan diikuti oleh pembenaran dan kemenangan ilahi. Ini adalah seruan iman di tengah kegelapan, yang memegang janji fajar yang akan datang.
- Perspektif Psikologis-Emosional: Kejujuran Iman di Tengah Badai
Seruan ini memperlihatkan kemanusiaan Yesus yang otentik. Ia tidak menutupi rasa sakit atau keputusasaan-Nya. Ini memberikan validasi bagi pengalaman kita saat merasa ditinggalkan atau mempertanyakan kehadiran Tuhan. Iman sejati bukanlah ketiadaan pertanyaan, melainkan keberanian untuk tetap berseru kepada Tuhan, bahkan dari kedalaman jurang. Setelah siksaan fisik dan pengkhianatan emosional, seruan ini menandai puncak beban rohani yang ditanggung-Nya demi kita.
- Reaksi Pendengar: Kesalahpahaman yang Ironis
Injil mencatat bahwa beberapa orang di sekitar salib salah mendengar, mengira Yesus memanggil Nabi Elia (Matius 27:47; Markus 15:35). Kesalahpahaman ini, entah karena kemiripan bunyi atau ekspektasi mesianik tertentu, secara ironis menyoroti ketidakmampuan banyak orang memahami siapa Yesus sebenarnya dan apa makna karya-Nya di kayu salib.
Gema Seruan Itu di Zaman Kita
Seruan Yesus dari salib menemukan gaungnya dalam pengalaman manusia modern. Di era digital, kita dibombardir dengan berita penderitaan global—perang, ketidakadilan, bencana alam—secara instan. Media sosial, meski menghubungkan, seringkali memicu perbandingan yang menyakitkan dan perasaan terisolasi yang mendalam. Pertanyaan “Mengapa?”—mengapa ada penderitaan, mengapa Tuhan seolah diam, mengapa dunia terasa begitu kacau—menjadi semakin relevan. Jeritan Yesus di kayu salib memberi kita izin untuk mengakui kerapuhan dan pertanyaan kita sendiri di hadapan Allah.
Seruan yang Multifaset
Jadi, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” bukanlah jeritan kekalahan final atau hilangnya iman. Ia adalah ungkapan kompleks yang merangkum:
- Realitas penderitaan fisik, emosional, dan spiritual yang ekstrem akibat menanggung dosa dunia.
- Solidaritas terdalam dengan kondisi manusia yang paling terpuruk dan merasa ditinggalkan.
- Sebuah kutipan dari Mazmur 22, yang dalam konteks penuhnya, adalah pernyataan iman yang menunjuk pada harapan dan kemenangan akhir.
- Ekspresi kejujuran iman yang otentik di tengah kegelapan terdalam.
Refleksi Jumat Agung: Menemukan Harapan dalam Kegelapan
Pada Jumat Agung ini, kita diajak untuk tidak berpaling dari salib dan seruan Yesus yang penuh kepedihan itu. Di dalamnya, kita menemukan Allah yang tidak jauh dari penderitaan kita, tetapi justru masuk ke dalamnya secara penuh. Kita menemukan Juruselamat yang memahami rasa sakit dan keterasingan kita. Dan melalui lensa Mazmur 22, kita melihat secercah harapan bahkan di momen tergelap: penderitaan ini bukanlah akhir cerita.
Seruan “Mengapa?” mungkin akan selalu ada dalam perjalanan iman kita, sebagaimana Yesus sendiri menyuarakannya. Namun, Jumat Agung mengajarkan kita bahwa bahkan dalam keterpisahan yang paling menyakitkan sekalipun, ada benang merah kesetiaan ilahi yang menenun jalan menuju kebangkitan.
Marilah kita merenungkan pengorbanan Kristus dengan hati yang hancur namun penuh syukur, menemukan penghiburan dalam solidaritas-Nya, dan memegang teguh janji kemenangan yang tersirat dalam seruan-Nya, yang akan dinyatakan sepenuhnya pada fajar Paskah.