Paul Tillich: Pemikiran dan Relevansinya bagi Teologi Digital

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)
Teologi.digital – Jakarta, Paul Johannes Tillich (1886-1965) adalah seorang teolog Jerman-Amerika dan filsuf eksistensialis Kristen terkemuka pada abad ke-20. Bersama Karl Barth, ia dianggap sebagai salah satu teolog sistematika Protestan paling berpengaruh di masanya. Pemikirannya yang mendalam tentang hubungan antara iman dan budaya, eksistensi manusia, serta hakikat Allah menawarkan relevansi yang signifikan ketika dikaitkan dengan lanskap teologi digital yang terus berkembang.
Lahir di Prusia dalam keluarga pendeta Lutheran, Tillich menempuh pendidikan di berbagai universitas di Jerman sebelum ditahbiskan menjadi pendeta. Kariernya sebagai profesor di berbagai universitas terhenti akibat penolakannya terhadap rezim Nazi, memaksanya berimigrasi ke Amerika Serikat atas undangan Reinhold Niebuhr. Di Union Theological Seminary dan kemudian Harvard dan Chicago, Tillich mengembangkan sintesis unik antara teologi Kristen Protestan dengan filsafat eksistensialisme, yang dirangkum dalam karya monumentalnya, Systematic Theology. Karyanya seperti The Courage to Be dan Dynamics of Faith juga meraih popularitas luas.
Pendekatan teologi Tillich bersifat sangat sistematik dan apologetik, menggunakan “metode korelasi” untuk menghubungkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia modern dengan jawaban-jawaban teologis Kristen. Ia berusaha agar iman tidak ditolak oleh kebudayaan kontemporer, begitu pula sebaliknya. Dalam metafisikanya, Tillich berakar kuat pada eksistensialisme, berfokus pada hakikat keberadaan (being). Ia memperkenalkan konsep kecemasan eksistensial yang timbul dari kesadaran akan kefanaan (finitude) dan ketidakberadaan (non-being). Bagi Tillich, yang mengatasi kecemasan ini adalah Being itself atau dasar keberadaan (ground of being), yang ia identifikasi sebagai Allah.
Konsepsi Tillich tentang Allah cukup radikal dari pandangan tradisional. Ia menyatakan, “Allah tidak eksis (ada). Ia adalah yang ada itu sendiri di luar esensi dan eksistensi.” Maksudnya, Allah bukanlah suatu “makhluk” di antara makhluk lain yang terbatas dalam ruang dan waktu, melainkan kuasa atau esensi dari keberadaan itu sendiri, yang melampaui kategori eksistensi dan esensi.

Konsep dosa, menurut Tillich, dipahami sebagai keterasingan (alienation) eksistensi yang fana dari esensi yang kekal. Kristus, dalam pandangannya, adalah “Keberadaan yang Baru” (New Being) yang memulihkan keterasingan ini. Tillich melihat Kristus bukan sebagai Allah dalam pengertian tradisional sepenuhnya, melainkan sebagai penyingkapan Allah yang penuh di dalam kefanaan manusia, yang secara prinsip memungkinkan setiap orang untuk semakin “menjadi seperti Kristus”.
Pandangan penting lainnya adalah bahwa segala sesuatu yang eksis bersifat korup dan ambigu. Tidak ada yang fana dapat mengada sebagai yang kekal dengan sendirinya. Yang fana hanya bisa menjadi sarana untuk menyingkapkan yang kekal melalui metafora dan simbol. Oleh karena itu, Alkitab dan pengetahuan rohani/teologis harus dipahami secara simbolik, yang seringkali menjadi antitesis terhadap fundamentalisme agama.
Relevansi Pemikiran Paul Tillich dengan Teologi Digital
Pemikiran Paul Tillich, meskipun dirumuskan jauh sebelum era digital matang, memiliki relevansi yang kuat dengan teologi digital ([2025-03-15] Teologi digital), yang menggumuli bagaimana iman dan praktik keagamaan berinteraksi dengan teknologi digital.
- Metode Korelasi dalam Konteks Digital: Metode korelasi Tillich adalah kunci. Di era digital, pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia sering kali diekspresikan dan dicari jawabannya melalui platform digital. Kecemasan, keterasingan, pencarian makna, dan hubungan antarmanusia dimanifestasikan dalam interaksi online, media sosial, dan ruang virtual. Teologi digital dapat menggunakan metode korelasi Tillich untuk menghubungkan pengalaman digital kontemporer ini dengan pesan Injil, menunjukkan bagaimana iman Kristen menawarkan respons terhadap pergumulan yang muncul di ruang digital.
- Eksistensialisme dan Pengalaman Digital: Tillich menekankan kecemasan eksistensial manusia di hadapan kefanaan. Pengalaman digital, meskipun menawarkan konektivitas, juga dapat memperdalam rasa keterasingan (misalnya, di balik layar), kecemasan akan identitas virtual, atau bahkan ketakutan akan “ketidakberadaan” digital (seperti kehilangan data atau jejak digital). Pemikiran Tillich memberikan kerangka untuk memahami pergumulan eksistensial ini dalam konteks digital dan mencari “Keberadaan yang Baru” atau dasar keberadaan di tengah kerapuhan digital.
- Allah sebagai Being itself di Era Digital: Konsepsi Tillich tentang Allah melampaui gambaran entitas terbatas. Di ruang digital yang serba terkoneksi namun juga sering kali terasa tanpa pusat dan fragmentaris, gagasan tentang Allah sebagai dasar dari segala yang ada dapat menawarkan perspektif yang menyatukan. Teologi digital dapat mengeksplorasi bagaimana kehadiran atau ketiadaan Being itself dirasakan atau dicari dalam ekosistem digital.
- Simbolisme dan Komunikasi Teologis Digital: Pandangan Tillich tentang simbolisme sangat relevan untuk komunikasi teologis di ranah digital. Platform digital sering kali mengandalkan simbol, metafora visual, dan narasi singkat. Memahami bahwa bahasa teologis, termasuk narasi Alkitab, bersifat simbolik memungkinkan teolog digital untuk kreatif dalam mengomunikasikan kebenaran iman melalui medium digital tanpa jatuh ke dalam literalisme kaku yang mungkin sulit diterima atau dipahami dalam budaya digital yang cair. Pesan iman dapat “diungkapkan” melalui berbagai bentuk konten digital, selama simbol-simbol tersebut secara otentik menunjuk pada yang Ilahi.
- “Keberadaan yang Baru” dan Komunitas Digital: Konsep “Keberadaan yang Baru” dalam Kristus dapat direfleksikan dalam upaya membangun komunitas digital yang sehat dan transformatif. Bagaimana ruang digital dapat menjadi tempat di mana keterasingan diatasi, belas kasih dipraktikkan, dan identitas yang otentik (semakin “seperti Kristus”) dibentuk? Teologi digital dapat mengeksplorasi potensi dan tantangan komunitas online dalam mewujudkan aspek-aspek “Keberadaan yang Baru”.
Bagi entitas seperti Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI), pemikiran Tillich dapat memberikan landasan teologis untuk aktivitas digital mereka. PWGI, dalam memberitakan isu-isu gereja dan keagamaan di ruang digital, dapat menggunakan metode korelasi Tillich untuk menjembatani pesan gereja dengan pertanyaan publik yang muncul secara online. Mereka juga dapat mengeksplorasi bagaimana pengalaman eksistensial jemaat di era digital dapat diberitakan dan direfleksikan secara teologis.
Relevansinya dengan Tokogereja.com, sebagai platform digital yang mungkin menyediakan sumber daya gerejawi, dapat mempertimbangkan bagaimana menyajikan materi teologis Tillich atau pemikiran teologis lainnya yang relevan dengan pergumulan digital, mungkin dalam format yang memanfaatkan sifat simbolik dan interaktif dari media digital.
Secara keseluruhan, Paul Tillich menawarkan kerangka pemikiran yang kaya dan mendalam yang sangat relevan untuk menggumuli tantangan dan peluang teologi di era digital. Pendekatannya yang apologetik, perhatiannya pada pengalaman eksistensial manusia, pemahamannya tentang hakikat Ilahi, dan penekanannya pada simbolisme memberikan modal konseptual yang kuat bagi teolog digital untuk menjembatani iman Kristen dan budaya digital kontemporer.
Penulis : Dharma Leksana, S.Th., M.Si. – Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI)