Algoritma Kerusuhan: Membaca Ulang Indonesia di Zaman Algoritma

Penulis : Dr. Dharma Leksana, S.Th., M.Si., M.Th.

Teologi.digital – Jakarta, Menulis buku ini bagi saya bukan sekadar pekerjaan akademik, melainkan sebuah perjalanan batin. Setiap halaman yang saya susun terasa seperti membuka kembali luka-luka sejarah bangsa, sekaligus menemukan potensi harapan di tengah reruntuhannya.

https://online.fliphtml5.com/syony/cfxq/

Saya teringat pada satu peristiwa: kerusuhan Mei 1998. Saat itu, berita penuh dengan gambar-gambar mengerikan, dan masyarakat dicekam rasa takut. Namun di sela-sela kegelapan, saya melihat pula kisah-kisah kecil tentang solidaritas: tetangga yang berbeda agama saling menjaga rumah, pemuda-pemuda yang bahu-membahu melindungi orang asing yang menjadi sasaran massa. Dari situ saya belajar, bahwa kerusuhan memang merobek, tetapi di dalamnya selalu ada benih perdamaian yang bisa tumbuh.

Kini, di era algoritma, tantangannya berbeda. Kerusuhan tidak selalu meletup di jalan, melainkan bisa bermula dari jari yang menekan tombol share. Dunia digital membuat kita begitu cepat marah, begitu mudah saling menghakimi. Namun justru di ruang itu pula saya melihat peluang: ruang di mana gereja, masyarakat sipil, dan setiap orang bisa menjadi pembawa damai dengan cara yang sederhana—menulis kata yang menenangkan, membagikan berita yang benar, atau sekadar menolak ikut menyebarkan kebencian.

Buku ini saya persembahkan sebagai ajakan untuk tidak menyerah pada gelombang kekacauan. Saya percaya, iman Kristen bukan hanya tentang pengharapan eskatologis, melainkan juga tentang keberanian menghadirkan shalom di sini dan sekarang—di jalanan, di rumah, dan di layar ponsel kita.

Jika ada satu doa yang saya panjatkan setelah menutup buku ini, maka doa itu sederhana:

“Ya Tuhan, jangan biarkan jari-jari kami membakar rumah kami sendiri. Jadikanlah kami alat damai-Mu di era algoritma.”

Semoga refleksi kecil ini menjadi pengingat bahwa perdamaian bukan sekadar konsep, melainkan panggilan hidup yang nyata.

Resensi Buku

Judul: Algoritma Kerusuhan: Membaca Ulang Indonesia di Zaman Algoritma
Penulis: Dr. Dharma Leksana, S.Th., M.Si., M.Th.
Penerbit: PWGI.ORG––
Tahun: 2025

Membaca Kerusuhan di Jalanan dan di Layar

Buku ini berangkat dari satu kesadaran kritis: kerusuhan di Indonesia bukan hanya fenomena jalanan dengan api, asap, dan teriakan massa, tetapi juga fenomena digital yang digerakkan oleh algoritma media sosial. Dr. Dharma Leksana menyoroti bahwa di abad ke-21, kerusuhan tidak lagi hanya diciptakan oleh faktor ekonomi atau politik, melainkan juga oleh viralitas, echo chamber, dan polarisasi digital. Inilah yang menjadikan buku ini berbeda dari kajian klasik tentang kerusuhan.

Kerangka Interdisipliner

Penulis memadukan sosiologi, sejarah, ilmu politik, kajian budaya, teologi Kristen, hingga studi media digital. Dari teori Émile Durkheim tentang anomie hingga analisis Zeynep Tufekci tentang protes berbasis algoritma, semua ditenun menjadi kerangka analitis yang kaya. Bab demi bab membawa pembaca menelusuri jejak kerusuhan Batavia 1740, Ambon dan Poso, Mei 1998, sampai demonstrasi digital #DemoDPRJoged tahun 2025.

Keunggulan buku ini adalah keberaniannya melihat kerusuhan sebagai “spektrum aksi kolektif”: mulai dari protes damai, kontestasi politik jalanan, hingga kerusuhan destruktif. Dengan cara ini, penulis menghindari jebakan simplifikasi dan memberi ruang bagi pembaca untuk memahami kompleksitasnya.

Perspektif Agama dan Teologi Algoritmik

Sebagai teolog sekaligus wartawan, Dharma Leksana menempatkan iman Kristen sebagai bingkai refleksi. Kerusuhan bukan hanya problem sosial-politik, melainkan juga problem iman. Gereja dipanggil untuk tidak menutup mata terhadap “dosa struktural” berupa ketidakadilan sosial, diskriminasi etnis, maupun manipulasi digital. Ia memperkenalkan gagasan teologi algoritmik—sebuah upaya membaca dan merespons ruang publik digital yang kini lebih berpengaruh daripada mimbar-mimbar keagamaan.

Bagian ini menjadi pembeda penting dari buku-buku lain tentang konflik sosial di Indonesia: penulis tidak berhenti pada analisis akademis, tetapi juga menantang iman untuk bertindak, merebut ruang digital, dan menabur narasi damai di tengah polarisasi.

Relevansi Kontemporer

Kekuatan utama buku ini ada pada keterkaitannya dengan realitas terkini. Analisis tentang kerusuhan digital, meme politik, fenomena “demo berjoged”, hingga peran buzzer dan bot dalam memperkuat polarisasi menjadikan karya ini terasa segar dan aktual. Bagi generasi muda yang lebih akrab dengan TikTok daripada catatan sejarah, buku ini memberi jembatan: kerusuhan masa lalu dan kerusuhan algoritmik hari ini ternyata berkelindan.

Visi Perdamaian di Era Algoritma

Bagian akhir buku menawarkan peta jalan: budaya damai berbasis literasi digital, peran gereja dan jurnalisme damai, serta liturgi yang dirancang untuk dunia online. Penulis tidak sekadar membedah luka, tetapi juga menenun harapan. Ia mengajak pembaca melihat bahwa perdamaian di era algoritma membutuhkan kolaborasi: negara, masyarakat sipil, komunitas agama, dan ruang digital itu sendiri.

Nilai Penting Buku

  1. Kontribusi akademik: memberikan sintesis sejarah, teori sosial, dan kajian digital dalam satu bingkai.
  2. Kontribusi praktis: menawarkan toolkit perdamaian yang bisa dipakai gereja, jurnalis, dan masyarakat sipil.
  3. Kontribusi teologis: mengembangkan refleksi iman yang kontekstual dan relevan dengan tantangan zaman.

Penutup

Algoritma Kerusuhan bukan sekadar buku tentang konflik, melainkan undangan untuk membaca ulang Indonesia dengan kacamata baru: kacamata algoritma. Di tengah derasnya hoaks, polarisasi, dan kerentanan sosial, karya ini menghadirkan peta intelektual dan spiritual menuju budaya damai. Ia layak dibaca oleh akademisi, aktivis, jurnalis, pemuka agama, hingga generasi digital yang ingin memahami masa depan Indonesia.

SELAMAT MEMBACA

(Mas Dharma EL)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!