Cybertheology: Ikut Arus Renaissance Humanisme atau Fundamentalisme Digital?

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Teologi.digital – Jakarta – Cybertheology, sebuah bidang kajian yang mencoba menjembatani teologi dengan dunia digital, belakangan ini menuai perdebatan. Sebagian pihak menilai bahwa Cybertheology hanyalah bentuk teologi yang mengikuti arus besar peradaban Renaissance-Humanisme non-teistik, melayani iman dan spiritualitas artifisial dan maya dengan euforia hedonistik-kapitalistik. Benarkah demikian?
Memahami Renaissance-Humanisme Non-Teistik
Renaissance-Humanisme adalah gerakan intelektual yang berkembang di Eropa pada periode Renaissance (abad ke-14 hingga ke-16). Gerakan ini menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan, rasionalitas, dan pencapaian manusia, seringkali dengan mengesampingkan peran agama. Dalam konteks non-teistik, gerakan ini cenderung mengutamakan kemampuan manusia dan dunia sekuler sebagai pusat perhatian, bukan Tuhan atau hal-hal yang bersifat transenden.
Pernyataan bahwa Cybertheology melayani iman dan spiritualitas artifisial dan maya dengan euforia hedonistik-kapitalistik mengindikasikan kekhawatiran bahwa Cybertheology lebih menekankan pada aspek-aspek duniawi dan pengalaman digital yang bersifat sementara, daripada nilai-nilai spiritualitas yang mendalam dan abadi.
Fundamentalisme Digital dalam Cybertheology
Namun, pandangan yang meragukan Cybertheology tersebut dapat pula dilihat sebagai bentuk fundamentalisme pemimpin gereja yang menolak perubahan. Untuk memahami hal ini, kita perlu melihat fenomena fundamentalisme secara lebih luas, seperti yang dijelaskan oleh Dharma Leksana, S.Th., M.Si., Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI). Lihat tautan berita : https://teologi.digital/2025/03/03/apa-itu-fundamentalisme-menelisik-akar-kepercayaan-literal-dalam-era-digital/
Fundamentalisme, menurut Dharma Leksana, bukan sekadar istilah usang. Di era digital, fundamentalisme justru menemukan lahan subur untuk bertransformasi dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk spiritualitas dan praktik keagamaan di dunia maya. Secara esensial, fundamentalisme merujuk pada keyakinan teguh terhadap interpretasi literal atau harfiah dari suatu doktrin atau teks suci, disertai dengan upaya aktif untuk kembali ke “dasar-dasar” (fundamenta) yang dianggap murni dan autentik dari kepercayaan tersebut.
Karakteristik Fundamentalisme yang Relevan dengan Cybertheology:
- Interpretasi Literal yang Mutlak:
- Dalam konteks digital, hal ini tercermin dalam perdebatan sengit di media sosial atau forum daring mengenai interpretasi ayat-ayat tertentu, di mana penafsiran harfiah dianggap sebagai satu-satunya yang valid.
- Reaksi Defensif terhadap Modernitas dan Sekularisasi:
- Di era digital, hal ini termanifestasi dalam penolakan terhadap nilai-nilai liberal seperti pluralisme, relativisme moral, dan kebebasan berekspresi tanpa batas di platform media sosial.
- Mentalitas “Hitam dan Putih” yang Eksklusif:
- Dalam konteks teologi digital, hal ini dapat menciptakan polarisasi dan permusuhan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda di platform daring.
Relevansi Fundamentalisme dengan Teologi Digital:
- Akses Tak Terbatas dan Interpretasi Tanpa Otoritas:
- Internet memungkinkan individu untuk mengakses berbagai interpretasi teks suci secara langsung, tanpa melalui mediasi otoritas tradisional.
- Komunitas Daring dan Penguatan Keyakinan:
- Platform media sosial dan forum daring memungkinkan fundamentalis untuk terhubung dengan individu lain yang memiliki pandangan serupa.
- Algoritma dan Polarisasi:
- Algoritma media sosial dapat secara tidak sengaja mempromosikan konten fundamentalis, menciptakan echo chamber dan memperdalam pandangan “hitam dan putih.”
Solusi dan Jalan Keluar
Menghadapi tantangan ini, diperlukan dialog yang konstruktif antara teolog, pemimpin agama, dan praktisi teknologi. Penting untuk mengembangkan Cybertheology yang:
- Mengakui dan menghargai nilai-nilai positif dari teknologi digital.
- Tetap berakar pada nilai-nilai teologis yang esensial.
- Mendorong interpretasi yang kontekstual dan inklusif.
- Membangun komunitas daring yang sehat dan bertanggung jawab.
Dengan demikian, Cybertheology dapat menjadi jembatan yang menghubungkan iman dengan dunia digital, tanpa terjebak dalam arus hedonisme-kapitalisme atau fundamentalisme digital.