Teologi Digital sebagai Upaya Menerjemahkan Misiologi Gereja di Era 5.0: Sebuah Kajian Teologis-Praktis

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.

I. Pendahuluan

Perkembangan pesat teknologi digital telah merasuki hampir setiap aspek kehidupan modern, dan agama serta gereja tidak terkecuali. Fenomena ini memunculkan bidang studi baru yang dikenal sebagai Teologi Digital atau cybertheology, yang secara fundamental meneliti hubungan antara teologi dan teknologi digital . Di sisi lain, Misiologi Gereja, sebagai disiplin teologis yang mapan, terus memegang peranan penting dalam memahami dan mengarahkan misi gereja berdasarkan fondasi teologisnya . Bersamaan dengan itu, dunia saat ini sedang bergerak menuju era baru yang dikenal sebagai Era 5.0, atau Masyarakat 5.0, yang digambarkan sebagai masyarakat yang berpusat pada manusia, berbasis data, dan sangat cerdas, di mana ruang siber dan ruang fisik terintegrasi secara mendalam .  

Pergeseran dari Industri 4.0, yang terutama berfokus pada otomatisasi industri, menuju Masyarakat 5.0 menandakan perubahan yang lebih luas di mana teknologi dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan penyelesaian tantangan sosial, dengan menempatkan manusia sebagai pusat perhatian . Transformasi ini membuka potensi bagi Teologi Digital untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendekatan misi gereja yang berpusat pada manusia di era ini.  

Namun, muncul tantangan krusial mengenai bagaimana prinsip-prinsip misiologi tradisional dapat diterjemahkan ke dalam konteks digital Era 5.0. Gereja dihadapkan pada pertanyaan tentang bagaimana secara efektif menjalankan misinya dalam masyarakat yang semakin dibentuk oleh interaksi dan nilai-nilai digital. Oleh karena itu, kebutuhan akan kerangka teologis yang menjembatani Teologi Digital dan Misiologi Gereja menjadi semakin mendesak untuk mengatasi tantangan ini.

Disertasi ini bertujuan untuk mengembangkan kerangka teologis-praktis untuk memahami dan melaksanakan misi gereja di Era 5.0 melalui lensa Teologi Digital. Lingkup penelitian ini akan mencakup pemeriksaan prinsip-prinsip inti Teologi Digital, fondasi Misiologi Gereja, karakteristik utama Era 5.0, dan implikasi praktis dari konvergensi ketiganya bagi misi gereja.

Untuk mencapai tujuan ini, disertasi ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut:

  • Apa prinsip dan konsep inti Teologi Digital, dan bagaimana kaitannya dengan disiplin teologis tradisional?  
  • Apa fondasi teologis dan pemahaman kontemporer tentang Misiologi Gereja?  
  • Apa karakteristik yang mendefinisikan dan dampak sosial dari Era 5.0?  
  • Bagaimana Teologi Digital dapat menyediakan kerangka teologis untuk memahami dan terlibat dalam misi dalam konteks digital Era 5.0?
  • Strategi praktis dan pendekatan inovatif apa yang dapat diadopsi gereja untuk menerjemahkan mandat misiologinya secara efektif dalam lingkup digital Era 5.0?
  • Pertimbangan dan tantangan etis apa yang muncul pada persimpangan Teologi Digital, Misiologi, dan Era 5.0?

Penelitian ini memiliki signifikansi penting dalam membekali gereja untuk menavigasi kompleksitas misi di era digital. Selain itu, disertasi ini berpotensi memberikan kontribusi yang berharga bagi bidang teologi, misiologi, dan studi budaya digital. Perkembangan teknologi yang pesat menuntut evaluasi ulang yang berkelanjutan terhadap pendekatan misiologis agar tetap relevan dan responsif terhadap isu-isu kontemporer . Disertasi ini berkontribusi pada proses berkelanjutan ini dengan fokus pada konteks spesifik Era 5.0.  

Disertasi ini akan disusun sebagai berikut: Bab II akan mengeksplorasi fondasi Teologi Digital, termasuk definisinya, akar sejarah, konsep inti, dan hubungannya dengan disiplin teologis tradisional. Bab III akan mengkaji Misiologi Gereja, termasuk dasar teologisnya, perkembangan sejarah, dan paradigma utama. Bab IV akan membahas kemunculan Era 5.0, karakteristik utamanya, dan dampaknya terhadap masyarakat. Bab V akan mengembangkan kerangka teologis untuk misi digital dengan menjembatani Teologi Digital dan Misiologi Gereja. Bab VI akan membahas strategi praktis untuk menerjemahkan misiologi ke dalam era digital. Bab VII akan menyajikan studi kasus dan contoh integrasi Teologi Digital dan Misiologi. Terakhir, Bab VIII akan membahas pertimbangan dan tantangan etis, diikuti oleh kesimpulan yang merangkum temuan utama dan menyarankan penelitian lebih lanjut.

II. Fondasi Teologi Digital

Teologi Digital, yang juga dikenal sebagai cybertheology, dapat didefinisikan sebagai studi tentang hubungan antara teologi dan teknologi digital . Hubungan ini memiliki berbagai dimensi, termasuk penggunaan teknologi digital sebagai alat pedagogis untuk mengajarkan konsep teologis, sebagai metode baru untuk penelitian teologis, sebagai subjek untuk refleksi teologis tentang digitalitas atau budaya digital, dan sebagai dasar untuk kritik etis terhadap digitalitas . Dalam wacana Katolik, istilah cybertheology lebih dominan, sementara dalam diskursus yang lebih baru terkait dengan humaniora digital dan agama digital, beberapa sarjana mulai menggunakan istilah “teologi digital” . Teologi Digital tidak hanya terbatas pada praktik keagamaan daring, tetapi lebih merupakan perluasan agama tradisional ke dalam budaya digital baru sebagai akibat dari digitalisasi masyarakat . Ini menunjukkan pergeseran mendasar dalam bagaimana iman dialami dan dipraktikkan.  

Keterlibatan teologi dengan teknologi dan media memiliki akar sejarah yang panjang . Gereja telah lama mengadopsi media seperti mesin cetak dan teknologi penyiaran untuk menyebarkan pesannya. Namun, kemunculan internet dan budaya digital telah memicu munculnya Teologi Digital sebagai bidang studi yang berbeda .  

Terdapat lima aspek inti dari Teologi Digital yang telah diidentifikasi . Pertama, teknologi digital sebagai alat pedagogis melibatkan penggunaan sumber daya digital untuk mengajarkan konsep teologis. Kedua, teknologi digital untuk penelitian teologis mengeksplorasi bagaimana alat dan metode digital dapat digunakan untuk melakukan penelitian teologis. Ketiga, refleksi teologis tentang digitalitas atau budaya digital berfokus pada analisis dan pemahaman dampak budaya digital dari perspektif teologis. Keempat, penilaian ulang dan kritik terhadap digitalitas berdasarkan etika teologis melibatkan evaluasi teknologi digital dan implikasinya melalui lensa etika teologis. Kelima, penggunaan teknologi digital yang terintegrasi dan kritis dalam teologi menyarankan pendekatan yang lebih komprehensif yang menggabungkan penggunaan teknologi digital dengan penyelidikan teologis yang kritis dalam studi tentang keyakinan dan praktik keagamaan. Selain itu, studi tentang “gereja digital” merupakan area signifikan dalam Teologi Digital, termasuk penelitian tentang komunitas gereja daring dan evolusi ibadah Kristen dalam format digital .  

Meskipun teknologi digital menawarkan jalan baru untuk studi dan praktik teologis, terdapat kebutuhan yang diakui untuk pendekatan kritis yang memahami baik teknologi maupun budaya digital secara mendalam . Ini menyoroti pentingnya etika teologis dalam mengevaluasi digitalitas. Teologi Digital berpotensi beririsan dan bahkan menantang area teologi tradisional seperti teologi sistematis, teologi praktis, dan teologi sejarah . Budaya digital juga berdampak pada antropologi teologis dan pemahaman tentang identitas manusia . Lebih lanjut, digitalitas menimbulkan implikasi bagi epistemologi teologis dan sumber-sumber pengetahuan teologis . Teologi Digital menuntut evaluasi ulang konsep teologis mendasar seperti kehadiran, komunitas, dan otoritas dalam terang mediasi digital . Ini menyerukan pendekatan teologis yang dinamis dan adaptif.  

III. Memahami Misiologi Gereja

Misiologi Gereja berakar pada dasar teologis yang kuat. Perintah alkitabiah untuk misi, terutama Amanat Agung dalam Matius 28:18-20, mendasari pemahaman gereja tentang panggilannya untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia . Konsep Missio Dei, atau misi Allah, menyediakan kerangka kerja yang lebih luas untuk memahami misi gereja sebagai partisipasi dalam pekerjaan penyelamatan Allah di dunia . Berbagai perspektif teologis tentang misi ada, termasuk evangelisme, keadilan sosial, dan transformasi holistik, yang mencerminkan cakupan luas dari mandat alkitabiah . Pemahaman kontemporer tentang misi menekankan bahwa misi pada dasarnya adalah aktivitas Allah di dunia, dan gereja memiliki hak istimewa untuk berpartisipasi dalam misi ini . Perspektif ini mengalihkan fokus dari gereja sebagai pelaku tunggal menjadi gereja sebagai instrumen pekerjaan Allah yang lebih luas.  

Pemikiran dan praktik misiologis telah mengalami perkembangan sejarah yang signifikan sejak gereja mula-mula hingga saat ini . Tokoh-tokoh kunci seperti Alexander Duff dan Gustav Warneck, bersama dengan gerakan-gerakan penting seperti Konferensi Misionaris Edinburgh tahun 1910 dan gerakan ekumenis, telah membentuk misiologi modern . Ada pergeseran yang nyata dari fokus pada misi Barat ke pemahaman misi yang lebih global dan kontekstual . Misiologi telah berkembang dari upaya yang didominasi Barat yang berfokus pada evangelisasi menjadi bidang interdisipliner yang lebih luas yang mempertimbangkan budaya secara serius dan menangani berbagai isu sosial . Evolusi ini memberikan landasan untuk mempertimbangkan bagaimana budaya digital membentuk misi kontemporer.  

Berbagai model dan pendekatan untuk misi telah muncul, seperti model tradisional “menanam gereja”, paradigma “misi sebagai pembebasan”, dan pendekatan “misi holistik” . Konsep kontekstualisasi, yang menekankan pentingnya mengadaptasi pesan Injil ke konteks budaya yang berbeda, sangat penting dalam misiologi . Selain itu, hubungan antara misi, evangelisme, pemuridan, dan pertumbuhan gereja merupakan pertimbangan sentral dalam studi misiologis . Pemahaman tentang misi telah meluas untuk mencakup tidak hanya pertobatan spiritual tetapi juga transformasi sosial dan menangani kebutuhan holistik individu dan komunitas . Pandangan holistik tentang misi ini perlu diterjemahkan ke dalam ranah digital.  

IV. Kemunculan Era 5.0

Era 5.0, atau Masyarakat 5.0, didefinisikan sebagai masyarakat yang berpusat pada manusia yang menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik . Konsep ini merupakan evolusi dari tahap masyarakat sebelumnya, dari Masyarakat 1.0 hingga 4.0, dan Industri 4.0, dengan menekankan kesejahteraan manusia dan keberlanjutan .  

Era 5.0 ditandai oleh beberapa karakteristik utama dan didorong oleh kemajuan teknologi. Ini termasuk integrasi teknologi dan manusia melalui Kecerdasan Buatan (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, dan robotika . Pendekatan yang berpusat pada manusia memprioritaskan kualitas hidup individu . Keberlanjutan dan penyelesaian tantangan sosial merupakan tujuan utama . Era ini juga ditandai oleh hiperkonektivitas dan fusi ruang siber dan ruang fisik , serta kolaborasi lintas sektor yang melibatkan pemerintah, industri, akademisi, dan warga negara . Era 5.0 membayangkan masa depan di mana teknologi meningkatkan kemampuan manusia dan memecahkan masalah masyarakat, bergerak melampaui efisiensi industri semata untuk memprioritaskan nilai dan kesejahteraan sosial . Ini selaras dengan pemahaman holistik tentang misi.  

Era 5.0 membawa dampak transformatif pada berbagai aspek masyarakat, termasuk pendidikan, perawatan kesehatan, ekonomi, transportasi, dan kehidupan sehari-hari . Teknologi digital membentuk kembali komunikasi, hubungan, dan komunitas manusia . Institusi, termasuk gereja, perlu beradaptasi dengan era baru ini . Peningkatan ketergantungan pada platform digital di Era 5.0 menghadirkan peluang dan tantangan bagi gereja untuk terhubung dan melayani individu dan komunitas . Ruang digital telah menjadi arena yang signifikan untuk interaksi manusia dan dengan demikian untuk misi.  

V. Kerangka Teologis untuk Misi Digital

Konsep inti Teologi Digital dapat menginformasikan dan membentuk pendekatan misiologis gereja di Era 5.0 . Refleksi teologis tentang budaya digital dapat mengarah pada pemahaman baru tentang misi dalam konteks ini . Etika teologis menjadi penting untuk mengevaluasi praktik misi digital .  

Terdapat preseden alkitabiah dan prinsip-prinsip teologis yang mendukung keterlibatan gereja dalam misi digital . Platform digital memungkinkan gereja untuk menjangkau audiens global, yang memiliki implikasi teologis yang signifikan . Ranah digital dapat dipandang sebagai ladang misi kontemporer di mana gereja dipanggil untuk pergi dan menjadikan murid, menggunakan alat dan platform yang tersedia . Ini membutuhkan pemahaman misiologis yang merangkul konteks digital.  

Kehadiran digital gereja memiliki signifikansi teologis sebagai perpanjangan dari kehadiran fisiknya . Komunitas Kristen daring terbentuk dan memainkan peran penting dalam membina persekutuan dan pemuridan . Platform digital dapat memediasi ibadah, pengajaran, dan perawatan pastoral . Platform digital dapat menumbuhkan rasa komunitas dan kepemilikan, menawarkan peluang untuk koneksi, dukungan, dan pertumbuhan spiritual yang melampaui batasan geografis . Namun, sifat dan keaslian komunitas daring ini memerlukan refleksi teologis.  

VI. Menerjemahkan Misiologi di Era Digital

Gereja dan pelayanan menggunakan berbagai teknologi digital untuk misi, termasuk media sosial, situs web, aplikasi, siaran langsung, podcast, dan platform pembelajaran daring . Pendekatan inovatif untuk evangelisme digital, pemuridan, dan pembangunan komunitas yang relevan dengan karakteristik Era 5.0 sedang dikembangkan . Penceritaan digital, konten multimedia, dan pengalaman interaktif memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan Injil . Teknologi digital menawarkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya untuk memperluas jangkauan Injil dan terlibat dengan beragam audiens di Era 5.0 . Gereja perlu secara strategis memanfaatkan alat-alat ini untuk terhubung dengan orang-orang di ruang digital mereka.  

Karakteristik Era 5.0, seperti hiperkonektivitas dan integrasi ruang siber dan fisik, berdampak pada strategi misi . Ada peluang untuk misi yang dipersonalisasi dan dikontekstualisasikan dalam masyarakat berbasis data . Namun, tantangan juga muncul, seperti kesenjangan digital, kelebihan informasi, dan potensi gangguan atau ketidakpedulian . Meskipun Era 5.0 menawarkan peluang besar untuk misi, ia juga menghadirkan tantangan terkait literasi digital, pertimbangan etis, dan kebutuhan untuk mempertahankan koneksi manusiawi yang otentik di samping keterlibatan digital . Gereja perlu menyadari kompleksitas ini dalam upaya misi digitalnya.  

Prinsip-prinsip kontekstualisasi berlaku untuk ranah digital, dengan mempertimbangkan budaya dan subkultur daring . Ada kebutuhan untuk mengadaptasi pesan Injil dan praktik misi agar selaras dengan penduduk asli digital dan berbagai komunitas daring . Media digital memainkan peran penting dalam misi lintas budaya dan jangkauan global . Misi digital yang efektif membutuhkan pemahaman tentang karakteristik unik dan gaya komunikasi komunitas daring, mengadaptasi pesan sambil tetap setia pada prinsip-prinsip inti Injil . Pendekatan satu ukuran untuk semua kemungkinan tidak akan efektif.  

VII. Studi Kasus dan Contoh

Banyak gereja dan pelayanan telah berhasil mengintegrasikan teknologi digital ke dalam praktik misi mereka . Strategi mereka mencakup penggunaan media sosial, ibadah daring, pembuatan konten digital, dan komunitas virtual . Ada contoh evangelisme digital yang mengarah pada pertobatan dan pertumbuhan spiritual . Banyak gereja berhasil memanfaatkan platform digital untuk memperluas jangkauan mereka, melibatkan jemaat mereka, dan terhubung dengan orang-orang baru . Studi kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi gereja-gereja lain.  

Komunitas gereja daring dan inisiatif pemuridan digital semakin lazim . Komunitas virtual ini menawarkan cara baru bagi orang untuk terlibat dengan iman dan terhubung dengan orang lain . Memahami dinamika mereka sangat penting untuk misiologi digital yang efektif.  

Strategi digital gereja-gereja besar seperti Hillsong Church, yang dikenal dengan kehadiran daringnya yang luas dan jangkauan global, menunjukkan potensi untuk memanfaatkan berbagai platform daring untuk membangun komunitas global dan menyebarkan pesan mereka . Penggunaan musik, media sosial, siaran langsung, dan sumber daya daring mereka menawarkan wawasan yang berharga tentang praktik misi digital yang efektif . Demikian pula, pelayanan digital inovatif dari Life.Church dan dampak luas dari Aplikasi Alkitab YouVersion menyoroti potensi platform digital untuk merevolusi akses ke kitab suci dan menumbuhkan keterlibatan spiritual dalam skala besar . Studi kasus ini menggambarkan kekuatan alat digital untuk pemuridan dan penjangkauan.  

VIII. Pertimbangan dan Tantangan Etis

Misi digital di Era 5.0 menimbulkan dilema etis seperti privasi, keamanan data, informasi yang salah, dan perilaku daring . Etika digital dan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dalam pelayanan sangat penting . Teknologi dapat memiliki dampak positif dan negatif pada individu dan komunitas . Kemudahan penyebaran informasi di era digital menuntut penekanan yang kuat pada kebenaran, akurasi, dan komunikasi etis dalam misi digital . Gereja harus menjadi sumber informasi yang andal dan terpercaya.  

Gereja menghadapi tantangan dalam beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan pergeseran masyarakat di Era 5.0 . Ini termasuk mengatasi kesenjangan digital, mempertahankan komunitas otentik di ruang virtual, dan potensi teknologi untuk mengalihkan perhatian dari keterlibatan spiritual yang tulus . Gereja perlu berhati-hati dalam menjembatani kesenjangan digital dan memastikan bahwa upaya misi digitalnya inklusif dan dapat diakses oleh semua orang . Ia juga perlu menemukan cara untuk menumbuhkan komunitas dan kedalaman spiritual yang tulus di lingkungan daring.  

IX. Kesimpulan

Disertasi ini telah mengeksplorasi Teologi Digital sebagai upaya untuk menerjemahkan Misiologi Gereja di Era 5.0. Temuan utama menunjukkan bahwa Teologi Digital menyediakan kerangka kerja yang relevan untuk memahami dan melibatkan diri dalam misi dalam konteks digital yang semakin dominan di Era 5.0. Era ini, dengan penekanannya pada integrasi teknologi dan kesejahteraan manusia, menghadirkan peluang dan tantangan unik bagi gereja.

Masa depan misi gereja di era digital akan membutuhkan adaptasi dan inovasi yang berkelanjutan. Gereja harus secara strategis memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas jangkauannya, menumbuhkan komunitas, dan menyampaikan pesan Injil secara efektif dalam berbagai konteks daring. Refleksi teologis yang berkelanjutan dan pengembangan praktik digital yang etis akan sangat penting untuk menavigasi kompleksitas ini.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi dampak jangka panjang misi digital terhadap pertumbuhan gereja dan pembentukan spiritual, untuk mengembangkan praktik terbaik untuk pelayanan digital yang etis, dan untuk memahami peran teknologi yang muncul dalam membentuk masa depan gereja. Bidang Teologi Digital dan penerapannya pada misiologi dalam konteks Era 5.0 masih terus berkembang, menghadirkan banyak peluang untuk penelitian dan eksplorasi lebih lanjut.

Potensi Tabel

Tabel 1: Perbandingan Paradigma Misiologis

Paradigma MisiologisAsumsi IntiFokus UtamaMetodeRelevansi untuk Misi Digital di Era 5.0
Tradisional (Menanam Gereja)Misi adalah perluasan gereja; pertobatan individu adalah tujuan utama.Memulai gereja-gereja baru di lokasi geografis baru.Evangelisme, pendirian gereja, pembaptisan.Dapat diadaptasi untuk “menanam gereja” daring dan membentuk komunitas virtual; penjangkauan digital untuk pertobatan.
PembebasanMisi melibatkan pembebasan dari penindasan sosial, politik, dan ekonomi.Keadilan sosial, advokasi, pemberdayaan yang tertindas.Aksi sosial, pengorganisasian komunitas, teologi kontekstual.Dapat diterjemahkan ke dalam advokasi daring untuk keadilan sosial, dukungan bagi komunitas yang terpinggirkan secara digital.
HolistikMisi menangani kebutuhan spiritual, fisik, sosial, dan emosional individu dan komunitas.Transformasi komprehensif, kesejahteraan holistik.Evangelisme, pelayanan sosial, pengembangan komunitas.Sangat relevan untuk Era 5.0; teknologi dapat digunakan untuk mengatasi berbagai kebutuhan (spiritual, informasi, koneksi, dukungan).

Ekspor ke Spreadsheet

Tabel 2: Contoh Strategi Misi Digital

Strategi Misi DigitalContoh ImplementasiFitur UtamaPotensi ManfaatPotensi Tantangan
Evangelisme Media SosialMemposting pesan Injil, kesaksian, dan konten yang menarik di platform seperti Facebook, Instagram, Twitter.Jangkauan luas, interaksi langsung, konten multimedia.Menjangkau audiens yang beragam, berbagi pesan secara cepat, membangun komunitas.Informasi yang salah, keterlibatan yang dangkal, kebutuhan akan konten yang menarik.
Ibadah DaringMenyiarkan langsung ibadah gereja melalui platform seperti YouTube, Zoom, Facebook Live.Aksesibilitas, partisipasi waktu nyata, fitur interaktif (obrolan, doa).Memungkinkan partisipasi dari mana saja, inklusif bagi mereka yang tidak dapat hadir secara fisik.Kurangnya rasa kehadiran fisik, potensi masalah teknis, mempertahankan rasa komunitas.
Komunitas VirtualMembentuk kelompok daring melalui platform seperti WhatsApp, Slack, grup Facebook untuk studi Alkitab, doa, dan persekutuan.Koneksi terfokus, dukungan sebaya, interaksi yang lebih dalam.Membangun hubungan, menyediakan ruang untuk diskusi dan dukungan, melampaui batasan geografis.Membutuhkan moderasi aktif, potensi untuk eksklusivitas, tantangan untuk membangun kepercayaan.
Pembuatan Konten DigitalMembuat blog, podcast, video, dan grafik yang menyampaikan ajaran Alkitab dan konten devosional.Akses sesuai permintaan, berbagai format, potensi untuk jangkauan yang luas.Menyediakan sumber daya untuk pertumbuhan spiritual, menjangkau audiens yang berbeda dengan format yang berbeda.Membutuhkan sumber daya untuk pembuatan, memastikan kualitas teologis, mempromosikan konten secara efektif.

Tabel 3: Pertimbangan Etis dalam Misi Digital

Pertimbangan EtisPotensi RisikoPrinsip Teologis yang RelevanPedoman yang Disarankan
Privasi dan Keamanan DataPelanggaran data, pengungkapan informasi pribadi tanpa izin.Martabat manusia, menghormati individu, kepercayaan.Menerapkan langkah-langkah keamanan yang kuat, mendapatkan persetujuan untuk pengumpulan data, bersikap transparan tentang praktik data.
Informasi yang SalahPenyebaran berita palsu, informasi yang menyesatkan, representasi yang tidak akurat.Kebenaran, integritas, tanggung jawab.Memverifikasi informasi sebelum berbagi, mengutip sumber dengan benar, mengakui dan memperbaiki kesalahan.
Perilaku DaringPerundungan siber, ujaran kebencian, perilaku tidak pantas.Kasih, menghormati orang lain, kesabaran.Mempromosikan interaksi daring yang positif dan hormat, memoderasi komunitas daring, mengatasi perilaku yang tidak pantas.
Kesenjangan DigitalMengecualikan individu tanpa akses ke teknologi atau keterampilan digital.Keadilan, inklusivitas, kesetaraan.Menyediakan opsi misi luring, menawarkan pelatihan literasi digital, memastikan aksesibilitas.

Note : Tulisan ini akan menjadi semacam abstrak untuk promosi program doktoral penulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!