Psikoanalisis Sigmund Freud dalam Masyarakat Digital

Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.

Teologi.digital – Jakarta, Kehidupan kontemporer tak terhindarkan lagi terjalin erat dengan teknologi digital. Internet, media sosial, dan perangkat pintar bukan lagi sekadar alat, melainkan telah menjadi lingkungan—ruang di mana sebagian besar interaksi sosial, ekspresi diri, dan bahkan pembentukan identitas terjadi. Pergeseran fundamental ini menimbulkan pertanyaan krusial tentang dampaknya pada psikologi manusia: Bagaimana era digital membentuk kepribadian kita? Bagaimana dorongan-dorongan tersembunyi kita bermanifestasi di ruang siber? Dan bagaimana kita dapat memahami dinamika masyarakat yang semakin hidup online?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, artikel ini kembali pada pemikiran Sigmund Freud (1856-1939), bapak psikoanalisis. Meskipun teorinya dikembangkan jauh sebelum munculnya internet, konsep-konsep fundamental Freud tentang struktur kepribadian (Id, Ego, Superego), peran dominan ketidaksadaran, mekanisme represi, dan konflik inheren antara hasrat individu dan tuntutan peradaban, menawarkan kerangka kerja yang sangat berharga. Psikoanalisis, dengan fokusnya pada kedalaman psikis dan motivasi tersembunyi, memungkinkan kita melihat melampaui permukaan perilaku digital dan menyelami dinamika intrapsikis dan interpersonal yang mendasarinya.

Artikel ini bertujuan untuk “membaca ulang” psikoanalisis Freud dalam konteks masyarakat digital. Fokusnya adalah bagaimana konsep-konsep kunci Freud dapat menerangi pemahaman kita tentang: (1) struktur kepribadian dan perilakunya di platform digital; (2) manifestasi ketidaksadaran dan materi yang direpresi di ruang siber; dan (3) pengaruh budaya digital pada dinamika psikososial, termasuk munculnya fenomena baru seperti narsisme digital dan kecemasan online.

Landasan Teoretis: Konsep Kunci Psikoanalisis Freud

Untuk menganalisis era digital melalui kacamata Freud, kita perlu memahami beberapa pilar teorinya:

  • Model Struktural Kepribadian:
    • Id: Bagian paling primitif dari kepribadian, beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). Id mencari kepuasan instingtual segera (libido, agresi) tanpa mempedulikan realitas atau moralitas. Ia sepenuhnya tidak sadar.
    • Ego: Berkembang dari Id untuk berurusan dengan dunia eksternal. Ego beroperasi berdasarkan prinsip realitas (reality principle), menengahi tuntutan Id, realitas dunia luar, dan batasan Superego. Ego berfungsi di tingkat sadar, prasadar, dan tidak sadar.
    • Superego: Mewakili internalisasi nilai-nilai moral, norma sosial, dan cita-cita yang dipelajari dari orang tua dan masyarakat. Superego adalah “hati nurani” dan “ego ideal,” seringkali bersifat menghukum dan menimbulkan rasa bersalah atau malu. Ia sebagian besar tidak sadar.
  • Ketidaksadaran (The Unconscious): Freud meyakini bahwa sebagian besar kehidupan mental kita (pikiran, ingatan, hasrat) berada di luar kesadaran. Materi yang tidak dapat diterima atau traumatis seringkali direpresi (ditekan secara aktif) ke dalam ketidaksadaran namun terus mempengaruhi perilaku, perasaan, dan pikiran kita secara tidak langsung.
  • Represi dan Mekanisme Pertahanan Diri (Defense Mechanisms): Represi adalah mekanisme pertahanan utama Ego untuk menjaga materi yang mengancam keluar dari kesadaran. Mekanisme lain (misalnya, proyeksi, sublimasi, rasionalisasi, displacement, denial) juga digunakan Ego secara tidak sadar untuk melindungi diri dari kecemasan dan konflik internal.
  • Mimpi: Freud menyebut mimpi sebagai “jalan utama menuju ketidaksadaran” (via regia), tempat di mana hasrat-hasrat terlarang dan konflik-konflik tersembunyi dapat muncul dalam bentuk simbolik yang tersamar.
  • Peradaban dan Ketidakpuasannya (Civilization and Its Discontents): Dalam karya ini, Freud berpendapat bahwa peradaban menuntut pengekangan dorongan-dorongan instingtual (terutama seksualitas dan agresi), yang penting untuk kehidupan komunal tetapi secara inheren menimbulkan ketidakpuasan dan neurosis pada individu.

Analisis Psikoanalitik Masyarakat dan Individu di Era Digital

Bagaimana konsep-konsep ini bermain dalam lanskap digital?

  • Manifestasi Id di Ruang Digital: Internet, dengan anonimitas semu dan akses instannya, dapat menjadi surga bagi Id.
    • Prinsip Kesenangan: Pencarian tanpa henti untuk gratifikasi instan (scroll tanpa akhir, binge-watching, pornografi online, belanja impulsif).
    • Agresi: Perilaku trolling, cyberbullying, penyebaran ujaran kebencian dapat dilihat sebagai pelepasan dorongan agresif Id yang kurang terkendali oleh norma sosial fisik.
    • Voyeurisme & Ekshibisionisme: Media sosial memfasilitasi pemuasan hasrat untuk mengintip kehidupan orang lain dan memamerkan diri sendiri, seringkali dalam bentuk yang diidealkan.
  • Ego dan Konstruksi Diri Digital: Ego menghadapi tugas kompleks dalam menavigasi realitas ganda (fisik dan virtual).
    • Manajemen Identitas: Membuat profil online (persona) adalah pekerjaan Ego, mencoba menyajikan citra diri yang koheren (seringkali ideal) kepada dunia, menyeimbangkan keinginan Id dengan harapan Superego (citra yang “baik” atau “sukses”). Avatar dalam game bisa menjadi representasi Ego Ideal.
    • Prinsip Realitas Digital: Ego harus belajar menavigasi aturan tak tertulis, risiko (penipuan, misinformasi), dan konsekuensi dari tindakan online. Kegagalan Ego dalam mengelola ini dapat menyebabkan kecemasan atau masalah psikologis.
  • Superego dalam Jaringan: Moralitas dan kontrol sosial juga beroperasi secara online, meskipun dengan cara yang berbeda.
    • Superego Kolektif: Fenomena cancel culture atau online shaming dapat dilihat sebagai manifestasi Superego kolektif yang keras, menghukum pelanggaran norma (yang terkadang baru dan cepat berubah) secara publik.
    • Internalisasi Norma Digital: Pengguna menginternalisasi apa yang “pantas” dan “tidak pantas” diposting, seringkali didorong oleh keinginan untuk diterima (oleh Superego/Ego Ideal) dan ketakutan akan penolakan atau kritik.
    • Pelemahan Superego: Di sisi lain, anonimitas dapat melemahkan kontrol Superego, memungkinkan perilaku yang tidak akan dilakukan di dunia nyata.
  • Ketidaksadaran yang Bocor Secara Online: Ruang digital bisa menjadi layar proyeksi bagi ketidaksadaran.
    • “Freudian Slips” Digital: Kesalahan ketik (typo) atau postingan yang tidak sengaja mengungkapkan pikiran atau perasaan tersembunyi.
    • Pola Perilaku: Keterikatan kompulsif pada media sosial, jenis konten yang dikonsumsi secara obsesif, atau pola hubungan online dapat mencerminkan konflik atau hasrat yang tidak disadari.
    • Ekspresi Simbolik: Pilihan avatar, nama pengguna, gambar profil, atau bahkan “like” dapat memiliki makna simbolik yang merujuk pada materi ketidaksadaran. Apakah dunia virtual bisa menjadi panggung baru bagi “mimpi” yang terjaga?
  • Mekanisme Pertahanan Diri di Era Digital:
    • Proyeksi: Menuduh orang lain secara online memiliki sifat atau niat negatif yang sebenarnya dimiliki oleh diri sendiri (misalnya, menuduh orang lain iri padahal diri sendiri yang merasa iri).
    • Sublimasi: Mengarahkan energi libidinal atau agresif ke dalam aktivitas online yang lebih diterima secara sosial (misalnya, menjadi influencer sebagai bentuk ekshibisionisme yang disublimasi, debat sengit di forum sebagai agresi yang disublimasi, membuat karya seni digital).
    • Narsisme Digital: Platform digital, terutama media sosial, sangat kondusif untuk memelihara kecenderungan narsistik. Pencarian validasi konstan (like, komentar, follower), kurasi citra diri yang sempurna, dan fokus pada penampilan dapat dilihat sebagai manifestasi narsisme, baik sebagai mekanisme pertahanan maupun struktur kepribadian. Ego menjadi terpaku pada pantulan digitalnya sendiri.
    • Denial (Penyangkalan): Menyangkal dampak negatif penggunaan teknologi digital (misalnya, kecanduan) atau menyangkal realitas yang tidak menyenangkan yang disajikan secara online.
  • Budaya Digital dan Ketidakpuasan Baru: Mengacu pada Civilization and Its Discontents, budaya digital menciptakan bentuk baru mediasi antara Id dan Superego.
    • Outlet Baru?: Apakah internet menyediakan katup pengaman baru bagi dorongan yang direpresi, sehingga mengurangi “ketidakpuasan” peradaban? Atau justru menciptakan ilusi kebebasan sambil tetap memberlakukan kontrol yang halus (misalnya, melalui algoritma)?
    • Ketidakpuasan Baru: Era digital juga melahirkan bentuk-bentuk kecemasan dan ketidakpuasan baru: FOMO (Fear of Missing Out), kecemasan perbandingan sosial, tekanan untuk selalu “online” dan responsif, kelelahan informasi, dan keterasingan meskipun terhubung secara superfisial. Ini adalah wajah baru dari konflik abadi yang diidentifikasi Freud.
Gambar : Screenshoot Google Search

Last but not least, Meskipun Sigmund Freud tidak pernah membayangkan dunia yang dijalin oleh jaringan digital, kerangka kerja psikoanalitiknya tetap menawarkan wawasan yang mendalam dan seringkali mengganggu tentang psikologi manusia di era ini. Dengan menerapkan konsep Id, Ego, Superego, ketidaksadaran, dan mekanisme pertahanan diri, kita dapat mulai memahami bagaimana individu berjuang untuk menyeimbangkan dorongan primitif, realitas yang termediasi, dan tuntutan moral dalam lanskap digital.

Platform online berfungsi sebagai panggung baru yang kompleks untuk drama intrapsikis dan interpersonal: tempat Id mencari kepuasan instan, Ego berjuang membangun dan mempertahankan persona digital, Superego menegakkan norma (terkadang dengan keras), dan ketidaksadaran menemukan cara-cara baru untuk membocorkan isinya. Fenomena seperti narsisme digital, agresi online, dan kecemasan spesifik era digital dapat dianalisis sebagai manifestasi kontemporer dari konflik dan mekanisme pertahanan yang telah diidentifikasi Freud seabad yang lalu.

Budaya digital, dalam kacamata Freud, tidak menghapuskan ketegangan antara hasrat individu dan tuntutan peradaban; ia hanya memodifikasi arena dan bentuk ekspresinya, menciptakan sumber kenikmatan sekaligus ketidakpuasan baru. Oleh karena itu, psikoanalisis Freud, dengan penekanannya pada kedalaman psikis yang tersembunyi di balik permukaan, tetap menjadi alat yang tak ternilai untuk memahami jiwa manusia—dan masyarakat—di jantung peradaban digital. Studi lebih lanjut yang menggabungkan analisis teoretis ini dengan penelitian empiris kualitatif dapat semakin memperkaya pemahaman kita tentang kehidupan psikis di era jaringan.

Daftar Pustaka

  • Freud, Sigmund. (1961). The Interpretation of Dreams (J. Strachey, Ed. & Trans.). Hogarth Press. (Original work published 1900)
  • Freud, Sigmund. (1964). An Outline of Psycho-Analysis (J. Strachey, Ed. & Trans.). Hogarth Press. (Original work published 1940 [1938])
  • Freud, Sigmund. (1961). Civilization and Its Discontents (J. Strachey, Ed. & Trans.). W. W. Norton & Company. (Original work published 1930)
  • Turkle, Sherry. (1995). Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet. Simon & Schuster.
  • Turkle, Sherry. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. Basic Books.
  • Žižek, Slavoj. (2008). The Plague of Fantasies. Verso. (Meskipun Lacanian, Žižek sering menerapkan lensa psikoanalitik pada budaya kontemporer, termasuk teknologi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!